Moonlove Sailing

189 17 5
                                    

~ Berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk dua insan saling jatuh cinta?

***

Bulan purnama di atas laut menyinari malam Mia. Dengan langit cerah dan diterangi bintang, kesendirian perempuan berusia delapan belas tahun itu semakin syahdu. Di tepi pantai, hatinya mengadu. Matanya lurus menatap lautan. Tubuhnya tak bergerak, seolah beku diterpa angin kencang. Tak ada seorang pun di sekitar Mia, membuat gadis itu semakin larut dalam pikirannya.

"Kamu sedang apa?" Tiba-tiba muncul suara. Mia mendongak, melihat siapa yang bicara. Seorang pemuda berkulit sawo matang berdiri kebingungan menatapnya. Mata Mia yang layu karena sembap langsung terbuka lebar. Ia buru-buru berdiri dan melangkah mundur.

"Eh, eh, tenang! Saya bukan penjahat," ujar pemuda tersebut.

"Mana ada penjahat yang mengaku penjahat?!" seru Mia. Pemuda itu mengerutkan dahinya.

"Saya itu khawatir kamu mau bunuh diri, makanya saya datangi," jelas sang pemuda. Mia menarik napasnya, lalu berpikir sejenak.

"Saya cuma sedang menjernihkan pikiran," kata Mia.

"Jangan berlarut-larut dalam pikiran yang kusut. Kalau ujungnya mau mati, kamu bisa kebingungan nanti."

"Kenapa bingung?"

Pemuda itu tersenyum, "Karena sekarang waktunya berlayar, bukan mati."

Ada sesuatu dalam senyum pemuda itu yang membuat Mia menarik ujung bibirnya juga. Ia tahu bahwa bertemu pria asing di tempat sepi pada malam hari bukanlah sesuatu yang dekat dengan kata 'aman', tapi senyum polos pemuda di hadapannya membuat rasa waspadanya seolah lepas dari genggaman.

"Saya juga mau berlayar!" seru Mia penuh semangat. Pemuda itu lantas menatap Mia dari bawah ke atas. Dahinya berkerut dalam, terlihat lucu sekali di mata Mia.

"Memangnya kamu nelayan?" tanya pemuda itu.

"Memang yang boleh berlayar hanya nelayan?" Mia malah bertanya balik.

Pemuda itu mengangguk, lalu menepuk dadanya yang membusung, "Saya kan nelayan."

Mia terkekeh geli melihat wajah bangga pemuda di depannya. Dia merentangkan tangannya, "Kalau saya Mia."

Pemuda itu menatap telapak tangan Mia yang terbuka lebar, menodongnya untuk menyambut. Ia menggaruki kepalanya sebentar. Meskipun ragu, akhirnya ia menyambut salam tadi dengan sebuah jabat tangan yang cukup kuat.

"Halo, Mia," kata pemuda itu kikuk. Mia merasakan keunikan yang menggelitik dari pemuda di hadapannya itu. Sudah tahu sedang berkenalan, mengapa tidak memberikan namanya balik?

"Perahumu mana?" tanya pemuda itu, memecahkan rencana Mia untuk menanyakan nama.

Mia menatap sekitarnya. Pantai yang luas dengan laut terbentang di hadapannya seolah hanya milik mereka berdua. Sepi, tanpa ada manusia dan hanya ada satu perahu yang tertanam tepat di perbatasan antara pasir dan air. Gelombang kecil menerpa bagian bawah perahu itu berkali-kali, seolah mengundang untuk masuk laut dan berpetualang.

"Saya ketinggalan rombongan," ujar Mia beralasan. Dia bahkan ragu bahwa "rombongan" adalah kata yang tepat untuk menggambarkan kelompok nelayan. Pikirnya, mungkin mereka punya sebutan sendiri, tapi dia hanya memakai sebutan yang ia tahu.

"Oh ... kasihan ...." Jawaban sang pemuda melegakannya. Sinar rembulan membuat wajah pemuda itu terlihat bercahaya. Bagai perahu yang digoda ombak kecil, Mia pun terpikat pada wajah bersih dan polos pemuda itu.

"Boleh menumpang berlayar di perahu kamu?" tanya Mia dengan semangat membara.

Pemuda itu kembali mengerutkan dahi. Alis tebalnya sampai menyatu saat ia bertanya balik, "Alat pancingmu mana?"

Grassy's FriendTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang