Ours

105 13 5
                                    

Dalam gulita aku meraba
Mencari seberkas cahaya yang tersisa
Di antara puing kenangan aku mengais
Bayanganmu hilang tertelan gerimis
Apa benar aku sudah kehilangan?
Kumohon jangan ...

Seorang bocah perempuan dengan kostum Red Riding Hood berdiri di hadapanku. Di tangannya ada sebuah keranjang kecil dari bahan anyaman. "Trick or treat?" Dia menodongku, sesuai tradisi yang diwariskan turun-temurun setiap perayaan malam Halloween tanggal 31 Oktober.

"Maaf, Nak. Aku tidak mempunyai permen," kataku seraya membelai kepalanya yang tertutup hoodie berwarna merah.

Dia mendengus. "Tidak ada seorang pun di penginapan ini yang memiliki permen. Halloween yang buruk!" gerutunya dengan raut sedih memandangi keranjang di tangannya yang masih kosong melompong. Ternyata upayanya menodong permen dari satu kamar ke kamar yang lain tidak membuahkan hasil apa pun.

"Hai, jangan pergi dulu!" panggilku mencegah langkahnya. "Aku punya sebatang cokelat. Jika kamu mau, aku akan mengambilkannya."

Dia mengangguk cepat. "Aku mau!" pekiknya girang.

"Tunggu sebentar." Aku bergegas kembali memasuki kamar dan menyambar sebatang cokelat di atas nakas.

Dia mendongak, menatapku penuh harap saat aku sudah berdiri di hadapannya.

"Ini." Aku menunjukkan cokelat berbungkus merah padanya. "Hmm ... tapi kamu harus memberitahukan dulu siapa namamu," kataku menggoyangkan cokelat itu di depan wajahnya.

"Alexandra," katanya cepat seraya membuka tudung yang menutupi kepalanya. Rambutnya yang keemasan tampak berkilau tertempa cahaya lampu lorong yang berwarna putih terang. "Panggil saja Al." Bola mata hitamnya begitu jernih dan memancarkan keceriaan. Kulitnya yang berwarna kecokelatan sangat kontras dengan warna rambutnya. Namun, menjadikannya gadis mungil yang terlihat eksotis.

"Al?" Aku berjongkok, menyejajarkan tinggi tubuhku dengannya. "Namaku juga Al," ucapku takjub. Cokelat dalam genggaman, kuberikan padanya dengan seulas senyum.

"Thank you, Uncle Al." Dia menerima pemberianku dengan tangan kanan. Pipi tembamnya terlihat semakin menggemaskan akibat tarikan bibirnya yang begitu lebar.

"Kenapa kamu berkeliaran sendiri? Di mana orang tuamu?"

Wajahnya berubah sendu. "Mommy meninggal saat melahirkanku. Aku dan Grandma berencana mengunjungi makan Mommy besok pagi. Kami akan memborong bunga matahari untuknya," ungkapnya berusaha terdengar riang.

"Oh?" Aku terhenyak. "I'm sorry to hear that," ucapku tulus mengecup puncak kepalanya. Dia masih terlalu kecil untuk merasakan kehilangan.

"It's okey. Bukan salah Paman. Paman hanya tidak tahu." Dia mengedikkan bahu, seolah kejadian seperti ini sudah sering terjadi padanya.

"Uncle Al mau pergi melihat parade hantu di jalan?" tanyanya seraya memasukkan cokelat itu ke dalam keranjang.

Aku melihat jam yang melingkari pergelangan tangan kiri. "Yup!" jawabku mantap.

"Semoga malammu menyenangkan!"

Aku tersenyum seraya menganggukkan kepala. "Jangan terlalu jauh berburu permen, nanti kamu tersesat di penginapan ini," kataku mencubit gemas pipinya yang kemerahan. "Atau yang lebih buruk ... jika kamu diculik arwah. Karena konon katanya, malam ini gerbang pembatas antara orang mati dan orang hidup terbuka lebar. Mereka yang sudah mati bebas berkeliaran. Arwah baik, mungkin akan mengunjungi keluarga atau orang-orang yang mereka sayangi untuk melepas rindu. Tapi, arwah jahat yang berkeliaran suka sekali melakukan pengrusakan dan kejahatan. Awas saja jika mereka menculikmu. Kamu mungkin akan dibawa ke dunia mereka dan tidak akan bisa kembali ke dunia ini. Nenekmu pasti akan menangis sedih. Atau bisa juga terjadi sebaliknya, mereka mengambil nenekmu untuk membuatmu sedih dan menangis."

Grassy's FriendTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang