Fifth day

146 33 0
                                    

Pernahkah kau berlari tak tentu arah? Langkah kakimu akan mengarah kemana jika kau tidak memiliki pelarian?

Jika kau ingin mengakhiri rasa lapar, kau bisa pergi makan.
Jika kau lelah dengan tugas yang menumpuk, kau bisa pergi beristirahat.
Jika kau benci suara berisik, kau bisa pergi ke tempat sepi.

Tapi aku sudah lelah bertahan hidup, lalu aku harus kemana?

×××



"Hey, apa kau sudah membaca artikel ini?" telingaku tidak sengaja menangkap kalimat yang dilontarkan Mashiho untuk Junkyu.

Ternyata bukan hanya aku, beberapa teman lain pun ikut menaruh rasa penasaran. "Artikel apa?" tanya salah satu dari mereka.

"Minggir kau, ini sempit tahu." kudengar Junkyu mengoceh karena tubuhnya dihimpit oleh mereka yang tadi mencondongkan badannya ke arah Mashiho —untuk membaca artikel itu tentunya.

Omong-omong, kami sedang mengerjakan tugas kelompok.

"Self-harm akibat Broken-home, judulnya, sih, begitu." Mashiho membacakan judulnya dengan lantang, yang tanpa sadar membuat kudukku meremang.

"Aku bingung dengan orang-orang itu, untuk apa melakukan self-harm? Agar dikasihani begitu?" jawab Asahi tak acuh dan kini kembali mengetik sesuatu di laptopnya.

Agar dikasihani katanya?

"Mereka hanya membesar-besarkan masalahnya, yah, mungkin benar untuk mencari perhatian. Memang seburuk apa, sih, broken-home?"

Mencari perhatian, katanya?

"Aku tidak tahu dan tidak mau tahu. Menurutku mereka memang sengaja mencari masalah. Membuatku jijik saja."

Jijik?

"Kalau menurutmu bagaimana?" aku tersentak ketika punggungku ditepuk cukup keras oleh Hyunsuk, mungkin karena aku diam saja.

"Ah, aku.." ucapanku menggantung, seketika aku kehilangan kata dan itu membuatku bingung. Untung saja ponselku berbunyi sedetik kemudian.

"Ada panggilan masuk, sebentar, ya." buru-buru aku pamit meninggalkan mereka, untuk menerima panggilan masuk.


Meski sebenarnya itu bukan panggilan masuk. Itu memang alarm yang ku atur. Agar terlihat seperti anak yang dihubungi dan dikhawatirkan orang tuanya.


"Teman-teman, sepertinya aku harus pulang." aku memutuskan untuk pulang saja ketimbang mendengarkan ocehan mereka. Sayup-sayup kudengar tadi mereka masih menggunjingkan anak broken-home yang melakukan self harm.

Mereka bicara begitu memangnya mereka tahu rasanya?

"Kenapa begitu cepat? Ah, kau dijemput ayahmu lagi, ya?"

Aku hanya mengangguk membenarkan.

"Aku iri sekali, orang tuamu nampak amat peduli padamu. Ayahmu sangat perhatian dan ibumu sangat ahli memasak, kau juga memiliki adik yang gemas."

Sungguh. Ingin sekali aku berteriak dan mengatakan kebenarannya.

Tapi tidak apa-apa. Itu artinya topengku cukup bagus, kan?

"Ah, biasa saja. Aku pamit ya!!" aku mengambil tasku dan melambaikan tanganku ke arah mereka, tak lupa juga menampilkan gerakan senyum gigi seperti anak kecil.

Aku benci diriku sendiri.




























Aku merebahkan diriku di kasur —bukan, ini hanyalah tumpukan karpet yang kujadikan alas tidur.

Entah mengapa rasanya hari ini lebih melelahkan daripada sebelumnya. Apa karena aku baru saja disebut jijik oleh temanku? Atau karena fakta bahwa mereka mungkin tidak ingin berteman denganku jika mengetahui jati diriku.

Ah, apa itu jati diri?

Sampai sekarang pun aku masih tidak mengetahui tujuan hidupku, dan mungkin tidak akan pernah tahu.



Karena aku sudah mulai menyerah pada harapan akan datangnya malaikat penyelamat.








W

ednesday,
Nov 11th, 2020
[06.44 PM]

Seven DaysTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang