Pernahkah kamu merasa lelah menghadapi seseorang tidak melakukan apa-apa bahkan ketika ia bisa?
Pernahkah kamu ingin berteriak menyuarakan lelahmu, namun sadar bahwa tidak akan ada yang berubah meski kamu bicara sampai suaramu habis?
Tidak akan ada yang mendengar bahkan ketika aku bicara.
Maka dari itu aku menyimpannya sendiri.
×××
Gelap. Cuaca hari ini teramat tidak mendukung, terlebih lagi aku tidak membawa payung. Sudah terlambat untuk pulang karena tetesan langit itu perlahan membesar, mungkin saja sedang menimbun banjir di suatu tempat.
Sebagian besar dari kami telah pulang bersama kendaraan yang dikemudikan oleh ayah atau ibunya. Kulihat orang tua mereka berjalan mendekat serta membawa payung dan menjemput anak mereka agar tidak terkena satupun tetesan hujan.
"Aku pergi dulu, ya!" ucap salah satu teman ku dari balik kaca mobil. Aku hanya mengangguk dan mengucapkan sederet kalimat agar mereka berhati-hati sampai tujuan.
"Kau mau pulang bersama kami?" pria tua di balik kemudi itu mengajakku untuk pulang bersama mereka. Namun aku dengan sopan menjawab, "tidak usah, sebentar lagi aku pun akan di jemput."
Kemudian kendaraan itu melaju membelah jalan raya.
Aku berbohong lagi.
Aku sudah menggerutu akibat kesal, kendaraan online yang kupesan terus membatalkan kedatangannya, mungkin akibat hujan.
Akhirnya aku kembali ke dalam kelas, duduk di bangku paling ujung dan menyumpal telingaku dengan lagu seraya menunggu hujan reda.
Namun aku masih bisa mendengar percakapan mereka.
"Ayah cepat datang aku bosan."
"Ibu, hari ini ibu memasak apa?"
"Aku ingin makan sup buatan ibu."
"Ah, ini sedang hujan, bagaimana jika kita menonton di ruang keluarga."
Suara pembicaraan telepon yang menurutku amat keras dan menyebalkan telah mengganggu pendengaranku. Aku mengeraskan volume dari ponselku berharap tak lagi mendengar apapun.
Demi Tuhan, aku iri.
Apakah sarafku hanya diciptakan untuk menerima rangsangan berupa dengki dan iri hati?
Mereka tidak melakukan apapun padaku, namun entah mengapa aku membencinya. Aku membenci dunia yang membuat mereka hidup lebih baik dariku.
Padahal kita semua lahir dengan cara yang sama. Mengapa kita harus menjalani hidup dengan cara yang berbeda?
Hingga sebuah pesan masuk menginterupsi kekesalanku.
082x-xxxx-xxxx
Kau sengaja pulang terlambat?
Supaya terhindar dari tugas rumahmu?
Apa kau sengaja membiarkan cucian menumpuk?Ya, sebentar.
Manikku kembali menatap tetesan air yang menghantam jendela. Berharap agar hujan segera reda. Banyak sekali tugas sekolahku hari ini, ditambah hafalan, ulangan, dan presentasi.
Aku juga lapar.
Namun aku harus segera pulang untuk membersihkan rumah sebelum ayahku datang.
Dan aku yakin tidak ada sisa makanan untukku.
Hanya akan ada satu porsi nasi dan lauk tersisa untuk ayahku, kemudian wanita itu akan mengatakan, "ia sudah makan banyak sepulang sekolah tadi, kemudian langsung masuk ke kamarnya, ia bahkan tidak membantuku untuk sekadar mencuci piring."
Aku muak.
Aku benar-benar muak.
Tapi aku tidak tahu harus bagaimana.
Sunday,
Nov 8th, 2020
[07.35 PM]
![](https://img.wattpad.com/cover/246762462-288-k565404.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Seven Days
Historia CortaTujuh hari setelah hari ini, aku harap aku masih ada disini. This isn't a mystery/thriller story, this is just-story about someone who's trying his best to survive, to stay alive. [A N G S T] ⚠Warning Including : suicidal thought, broken home, sel...