Jika aku bertanya, apakah kau percaya musim gugur bisa menurunkan salju?
Kusarankan kau menjawab tidak.
Jangan mempercayai tipuan yang bersembunyi dibalik kata 'keajaiban'
Tidak pernah ada yang namanya keajaiban. Apalagi jika itu datang dari manusia.
Karena tidak ada jaminan apakah dirimu aman atau sekadar dipermainkan.
×××
Aku tidak menyangka hari ini akan tiba.
Sungguh, katakanlah aku berdosa. Tapi aku benar-benar bahagia.
Pagi ini, pada jam kedua di pelajaran matematika. Tiba-tiba saja aku mendapat panggilan dari lobby, katanya aku harus pulang.
Tebak apa yang terjadi? Arus listrik rumahku mengalami konslet. Dan hasilnya, terjadi kebakaran.
Sekali lagi, silakan katakan aku berdosa.
Rumah dan seluruh penghuninya kini berada dirumah sakit. Kau tahu apa yang aku ucapkan dalam doa sedari tadi?
Kuharap mereka semua mati.
Karena jika itu terjadi, sepertinya aku bisa sedikit menunda hasratku yang makin hari makin membuncah.
Namun sepertinya itu agak sulit.
Kulihat ayahku berlari tergesa menghampiriku. Ya, tentu saja ayahku tidak ada di rumah, ia sedang bekerja tadi.
"Ayo cepat, kita harus menemui ibumu di rumah sakit."
"Ibuku yang mana?"
Entahlah, aku hanya ingin melihat reaksinya.
"Kau pikir ibumu ada berapa? Tentu saja hanya ada satu, cepat—"
"Aku tidak mau."
Apa aku tidak salah dengar? Ibuku hanya ada satu, katanya. Apa ayah bahkan tidak mengerti bahwa setiap hari aku ingin bertemu ibu kandungku? Meski hanya untuk sekadar memastikan perasaanku sudah berkurang berapa banyak.
"Apa yang baru saja kau katakan? Kita harus cepat."
"Biar saja." kulihat ayahku mengerutkan keningnya dan memasang wajah marah, "biar saja dia mati."
Plak
Sentuhan fisik pertama yang kuharapkan dari seorang ayah adalah elusan lembut atau pelukan hangat. Namun ketika aku bahkan belum pernah merasakannya, aku malah mendapatkan sebuah tamparan.
"Anak tidak tahu diri. Mengapa kini kau malah tersenyum?"
Ah, aku bahkan tidak sadar aku tersenyum. Tamparan ayahku mungkin terdengar menyakitkan, tapi percayalah rasanya tidak sakit.
"Siapa yang tidak tahu diri?" ini pertama kalinya aku menjawab penyataannya. Biasanya aku akan diam dan membiarkannya melakukan apa saja yang diinginkannya.
Tapi kali ini berbeda, ayah baru saja membuang ibu kandungku secara terang terangan. Dan setelah sekian lama akhirnya aku merasa ini waktunya aku berbicara.
"Apa ayah pikir aku menyayangi wanita itu? Tidak, tidak pernah sekalipun."
Plak
Aku berdecih, ekor mataku menatap sekitar dan rupanya ada beberapa temanku juga disana. Setelah pipiku menerima tamparan kedua, rasanya aku makin muak.
"Apa ayah pernah bertanya bagaimana perasaanku? Apa ayah pernah sekalipun peduli apa keinginanku? Tidak, tidak pernah." aku menghela napas sebelum melanjutkan, "apa ayah tahu aku menderita gangguan kecemasan dan juga melakukan self-harm? Aku yakin seratus persen ayah tidak tahu, kan?"
Kulihat beberapa pasang mata membelalak dan sisanya melakukan refleks terkejut, begitu pula dengan sepasang bola mata di depanku. Nampaknya ia mulai memerhatikan tubuhku dari atas sampai bawah.
"Kita bicara di tempat lain, disini—"
"Kenapa, ayah malu?" Ah, ternyata begini rasanya memotong ucapan orang tua. Ini yang terakhir, aku tidak berniat mencobanya lain kali, karena mungkin tidak akan pernah ada lain kali, lagi.
"Aku sudah lelah, aku muak bertingkah seolah baik-baik saja. Aku juga ingin memakan masakan buatan ibu, ingin dibuatkan bekal ke sekolah, ingin dipuji jika mendapat nilai bagus, ingin mengobrol hangat di sela makan malam keluarga. Semua temanku pernah merasakan itu, lalu mengapa aku tidak?,"
"Omong-omong soal wanita itu, apa ayah tahu bagaimana ia memperlakukanku jika ayah tidak ada? Apa ayah tahu bagaimana aku menjalani hari-hariku hingga menjadi remaja perempuan?,"
"Terakhir. Jika ayah akan menjawab dengan kalimat 'semua itu dilakukan untuk kebaikanmu' dan sejenisnya, aku akan bertanya lebih dulu. Mengapa ayah tidak pernah menanyai pendapatku? Apa ayah pikir aku bahagia selama ini? Tidak. Tidak sekalipun."
Tenggorokanku rasanya kering setelah mengatakan semua ini. Hal yang menumpuk dalam diriku akhirnya menguar ke permukaan. Aku juga tidak menyadari sejak kapan air mataku turun. Ah, aku masih bisa menangis rupanya.
"A-ayah minta maaf, ayah tidak tahu karena kau tidak mengatakannya. Sekarang kau mau bagaimana?"
"Aku ingin pergi."
"Pergi kemana?" bisa kurasakan ada nada harap-harap cemas dalam pertanyaanya. Namun aku sudah mati rasa.
"Aku ingin mati, ayah."
Thursday,
Nov 12th, 2020
[08.31 PM]
KAMU SEDANG MEMBACA
Seven Days
Cerita PendekTujuh hari setelah hari ini, aku harap aku masih ada disini. This isn't a mystery/thriller story, this is just-story about someone who's trying his best to survive, to stay alive. [A N G S T] ⚠Warning Including : suicidal thought, broken home, sel...