RENJANA 3

310 40 2
                                    

[CHAPTER 3 - SISI KELAM BASKARA]

Happy Reading

Motor sport berjalan pelan membelah jalanan yang lumayan ramai oleh anak-anak berseragam sekolah. Semilir angin menerpa wajah tegas Baskara, dengan pandangan fokus ke depan, dirinya memikirkan kejadian siang tadi ketika ditegur oleh Bu Dian karena nilai ulangan harian yang menurun. Baskara beberapa kali menghela nafasnya, ini akan menjadi hal yang tidak baik jika ayahnya tahu tentang nilainya yang turun.

Baskara menghentikan motornya, mengirup udara pantai pasir putih yang masih asri, netranya menelisik sekitar yang hanya ada beberapa keluarga yang berada di pinggir pantai. Dia berjalan melewati deretan warung warung penjual makanan, lalu duduk di salah satu kursi, sembari memesan kopi.

Baskara memilih mengunjungi tempat favoritenya ini, tempat yang menyimpan banyak nostalgia di masa lalunya. Indahnya pemandangan disini membuatnya sedikit tenang, apalagi datangnya warna jingga di antara matahari senja yang selalu di nantikan.

Ayahnya hari ini lembur dan pulang malam, kemarin ketika membersihkan tempat kerja ayahnya, tanpa sengaja dia melihat laptop yang menyala dengan tampilan layar yang menampilkan jadwal ayahnya sebulan ini. Hari ini memang kesempata yang di tunggu-tunggu, selain itu dirinya hari ini tak ada les dan kursus lain. Maka dari itu Baskara tak bisa menyiakan kesempatan ini dan bebas pulang terlambat. Mengistirahatkan raganya sejenak itu penting.

Mengenai Baskara dia tinggal bersama ayahnya, sudah lama semenjak ibu dan ayahnya bercerai dan pisah rumah, walau dia masih hidup diasuh oleh ayahnya, dengan harta yang serba kecukupan.

Sebenarnya bisa saja Baskara ikut bersama Ibunya, tinggal bersama dengan keluarga barunya, tapi dia memilih untuk hidup bersama ayahnya dengan alasan tertentu, walau ibunya masih mengirimkan uang yang lebih dari cukup, tetap saja uang tidak bisa mengubah apapun. Apalagi hubungan dengan ayahnya tak terlalu baik, membuat rumah yang semakin tidak bisa dikatakan baik-baik saja.

'Hah,' helaan berat dari Baskara, yang terdengar putus asa bagi orang yang mendengarnya.

Dia mengeluarkan sebatang rokok dari tasnya, saat bersamaan ibu penjual membawa secangkir kopi panas, yang terlihat jelas kepulannya.

"Ini nang Baskara," ujar ibu penjual, menyerahkan secangkir kopi. Baskara meletakan rokok dan koreknya di meja, mengangguk menerima cangkir itu.

"Iya makasih Bi Ijah," kata Baskara melihat ibu penjual yang bernama Bi Ijah duduk di sebelahnya.

Baskara dan Bi Ijah memang sudah saling kenal sejak dia kecil, selain membuka warung kecil, Bi Ijah juga orang kepercayaan ibu Baskara untuk membantu pekerjaan rumah tangga di keluarga baru ibunya.

Setiap saat kalau Baskara mengunjungi pantai, tak pernah lupa mampir ke warung kecil ini, meminum kopi atau sekedar menanyakan kabar Bi Ijah dan tentu saja juga keadaan ibunya.

"Kamu ini lo nang, kok ngerokok terus," timpal Bi Ijah sembari memukul lengan Baskara.

Baskara tersenyum tulus. "Biar tenang aja Bi. Dari tadi kepikiran yang aneh-aneh."

"Kepikiran apa lagi? cerita to sama Bibi, udah lama kamu gak curhat sama Bibi,"

Selain perhatian, Bi Ijah adalah tempat paling enak jika untuk mengobrolkan masalah hati, karena memang hanya Bi Ijah yang sering mendengar curhatanya. Jangan tanya orang tua Baskara, mana sempat ayahnya bertanya akan masalah yang di hadapi anaknya, paling juga tidak peduli sama sekali.

"Kalau di lihat-lihat masalah perempuan ini ya nang?" lanjut Bi Ijah menebak asal.

"Haha mana ada perempuan Bi," kekeh Baskara kaku, mana ada perempuan. Di pikiran Baskara itu hanya ada rumus dan hapalan.

RENJANATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang