[24] The End of Day ✨

1K 135 34
                                    

Kembali, Jisung mendudukkan tubuhnya di sebuah meja pada cafe langganannya. Mata bulat itu memandang kearah pohon mapple yang kini daunnya berubah menjadi warna kecokelatan juga mulai berjatuhan ke jalan. Musim gugur sudah datang, dan ini ketiga kalinya Jisung melewati musim kesukaannya tanpa kehadiran kekasihnya. 

"Oh, Jisung! Kau datang lagi!" 

Sang pemilik café dengan mole dibawah mata itu menyapa Jisung. Dengan lap yang tadinya ia pakai untuk membersihkan etalase masih ditangan, pria itu mendekati Jisung yang duduk di meja dekat jendela. 

"Kau selalu mengatakan itu setiap kali aku datang." Jisung memberikan senyum manisnya kepada Hyunjin, "Apa kau tidak bosan menanyakan itu tiga tahun belakangan ini, Hyunjin?" 

"Bosan? Tunggu, seharusnya aku yang bertanya seperti itu. Apa kau tidak bosan mengunjungi café-ku setiap tanggal 25 selama tiga tahun belakangan ini?" 

"Kau tahu jawabannya." Jisung menatap sang pemilik café dengan penuh arti. Manik pria dengan rupa mirip tupai itu terlihat sendu, itu yang selalu Hyunjin lihat tiga tahun belakangan ini. Dan terkadang, Hyunjin merasa miris begitu tahu apa penyebab manik pria tupai ini selalu terlihat sendu. 

"Jisung –" 

"Diam. Tolong buatkan pesananku seperti biasa." 

Lelaki Hwang itu memutar bola matanya malas sebelum pada akhirnya dia bergerak kembali ke dapur untuk menyiapkan pesanan Jisung. "Baiklah, akan siap dalam 5 menit." 

Sepeninggal Hyunjin dari hadapannya, pandangan Jisung kembali jatuh pada jalan di sebrang sana. Tangannya ia gunakan sebagai tumpuan dagu, sedangkan satu tangan lainnya bergerak mengetuk-ngetuk pelan meja. 

Ini masih jam 11 siang, café baru saja di buka sehingga pengunjung yang ada hanya Jisung saja. Mata bulat itu kembali memperhatikan pohon mapple tua yang selalu menjadi perhatiannya setiap datang kesini, pohon itu adalah saksi bisu akan janji yang dulu kekasihnya pernah ucapkan. Janji yang berisi bahwa kekasihnya itu akan kembali pada tanggal 25 Desember. Sayangnya sampai tiga tahun berlalu pun kekasihnya itu tidak pernah terlihat lagi. 

Kekasihnya itu seakan hilang tertelan bumi. Tidak ada kabar, bahkan keluarga kekasihnya itu pun tidak tahu keberadaan anak tunggal mereka dimana dan memilih untuk pindah ke negara tetangga. Mereka menganggap bahwa anak mereka telah mati, namun Jisung tidak seperti itu.
Satu pergerakan, Jisung membuka dompetnya. Matanya menelisik sebuah foto yang terpajang pada dompetnya selama 7 tahun belakangan ini. Itu foto dirinya bersama sang terkasih – Lee Minho. 

"Kau akan datang kan Minho?" Bisiknya pelan, sangat pelan sampai-sampai hanya Jisung saja yang dapat mendengarnya. Jari-jemari itu mengelus foto sang terkasih, senyum tipis masih terpajang pada wajah manisnya. 

"Aku harap kau datang hari ini, Minho. Sejujurnya aku sudah sangat lelah menunggu-mu pulang." Satu tetes air mata mulai menuruni pipi mulus itu, dengan segera Jisung menghapusnya. 

"Aku yakin kau akan pulang hari ini. Seorang pangeran tidak akan membohongi tuan putrinya bukan? Dulu kau pernah mengatakan itu Minho, maka aku akan percaya." 

❉❉❉

Satu helaan nafas terdengar pada ruang hampa tersebut. Lelaki mungil itu merebahkan tubuhnya pada kasur yang ada di apartement-nya. Jam sudah menunjukkan pukul 10 malam, dibandingkan untuk membersihkan tubuh dan tidur, Jisung malah melamun menatap kosong langit-langit kamarnya. 

Sebelum masuk kedalam dunia mimpinya, Jisung menyempatkan diri mengambil sebuah buku yang berada diatas nakas sebelah tempat tidurnya. Berpikir untuk menumpahkan seluruh perasaan hari ini ke dalam buku diary yang menjadi tempatnya berkeluh kesah semenjak sang terkasih meninggalkannya. 

First Meet✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang