Selepas Maghrib keluarga kami berkumpul lengkap, bahkan kakak ipar dan keponakanku turut hadir disini. Firasatku berkata lain aku bisa menjamin setelah ini bahasan mereka pasti menyudutkan ku perihal hafalan. Abi menyeruput teh hangat di hadapannya kemudian ia menyandarkan tubuhnya pada sofa lalu menatapku.
"Jadi begini, Elvira sekarang kelas berapa? Udah lulus ya?" ujar abi membuka percakapan kami.
"Iya... Elvira mau kuliah ya bii," aku memohon
"Dimana? UI, UGM, ITB?" inilah pertanyaan yang ku tunggu
"UI bagus kayaknya, boleh bii?" ujarku memohon lagi, semoga saja...
"Banyak lah mau mu vir, selesai in dulu Alfiyahmu sana" mas Wildan bersuara, dan ini lah yang paling aku hindari, seperti yang ku duga, satu ucapan mas Wildan akan menimbulkan percekcokkan dengan ku lebih dari 10 menit.
"Pokoknya Elvira mau kuliah" tukasku mantap
"Gini-gini, Elvira gak mau kan setoran muhafadzoh terus ke mas Wildan? Abi punya cara lain," ujar abi memberi solusi
"Boleh bii, kalo bisa Elvira kuliah yang jauh, gak usah ketemu mas Wildan lagi."
"Nikah yaa..." ungkap abi santai.
"HAAAAAAAAA..... nikah? Abi gak salah?" dan kali ini solusi abi menjauhkan ku dari mas Wildan cukup mebuatku resah. Yang benar saja aku di suruh menikah? Padahal aku sudah merencanakan mendaftar kampus yang sama dengan Aisyah, ah... kenapa kacau begini, jika saja mulut licin milik mas Wildan itu tidak berulah.
"Mau ya? Sama pria kemarin yang jemput Elvira di pesantren kemarin itu lhoo?" jelas abi. Aku masih terdiam, ini pembahasan yang tidak sepele, ini juga melibatkan masa depanku, ini bukan jangka pendek.
"Kalau Elvira gak mau gimana?" tanyaku
"Ya seperti yang sudah-sudah saja Vir, kamu setoran hafalanmu ke mas Wildan" dia berulah lagi kan.
"Biii.... mas Wildan itu loohh nyebelin sekali" rengekku pada abi
"Sudah mas, suka sekali bikin kesel adiknya" bela abi, alasanku tidak suka setoran ke mas Wildan adalah, mula-mula ia memarahiku sebab tidak lancar atau kurang fasih, lalu ia mengejekku hingga aku merasa buruk. Sungguhlah ia amat menyebalkan
"Gimana? Vira mau pake cara abi?" tanya abi sekali lagi
"Kalo tetep gak mau gimana?" elakku, yang benar saja hanya demi menghindari setoran aku harus menikah
"Kalo Vira tetep gak mau, abi udah terlanjur menyetujui pernikahan kalian" jelas abi, skak mat sudah jika begini
"Issshhh abiiii, kalo gak sesuai ekspetasi gimana?" keluhku, sementara abi hanya tersenyum kemudian kembali meminum tehnya. Tak ada yang yang menyanggah perjodohanku, kurasa memang semua telah setuju dengan keputusan ini, toh abi gak mungkin jodohin aku sama lelaki yang buruk perangai dan akhlaknya kan.
***
"Iya Om... sebelum bulan puasa dimulai saya pastikan persyaratannya selesai,"
"......."
"Waalaikumsalam" panggilan berakhir, aku mulai menyiapkan semua persyaratan yang aku butuhkan untuk menikah. Ah iya tiket pesawat, bagaimana mungkin aku tak mengajak calon istriku menghadap atasan. Aku kembali meraih ponselku dan segera memesan tiket pesawat via online.
Selesai mengurus persiapanku aku segera pamit pada papa untuk menjemput Elvira, dan kemudian segera menuju bandara Abdurrahman Saleh. Setelah pesawat lepas landas menuju Jakarta, baru aku menyadari, bagaimana jika Elvira tak menyukaiku, bagaimana jika Elvira tak bisa bertahan denganku, bagaimana jika Elvira tak mampu melewari masa-masa sulit bersamaku, ah..... yang terpenting bagaimana jika aku tak mampu memahaminya dan membuatnya bahagia, sudah jelas aku gagal menjadi imam yang seharusnya menuntunnya menuju surga dan membahagiakannya di dunia, ahh... aku ini siap atau tidak?!. Ya Allah, bukakan lah pikiranku dan kuatkanlah aku dalam menghadapi hal-hal yang sebelumnya belum pernah kuhadapi, Aamiin.
Sesampainya di Jakarta aku menelpon seseorang dan segera menuju rumah Elvira. Tak butuh waktu lama akhirnya aku sampai dirumahnya. Segera saja ku perjelas lagi percakapan di telpon tadi pagi, sehingga abinya mengizinkanku untuk membawanya ke Malang. Kurasa dari sinilah aku harus mulai bertanggung jawab.
Malam harinya abi Elvira memaksaku untuk bermalam disana. Jam menunjukkan pukul 02.15 mataku masih enggan terpejam setelah aku terjaga pada pukul 22.00 tadi. Kuputuskan untuk berwudhu dan menunaikan sholat malam di tempat sholat keluarga Elvira.
"Ya Allah, tolong berilah hamba petunjuk sebagai imam dalam rumah tangga, kuatkanlah hamba untuk menghadapi segala persoalan yang akan muncul di kemudian hari, serta mudahkanlah segala urusan kami, Aamiin" aku mengusapkan tengadahku pada wajah, lalu kembali menuju kamar tamu dan memaksa mataku untuk terpejam.
07.00
Aku dan Elvira berpamitan pada abi umi dan kedua kakak laki-lakinya, jujur saja, keluarganya tidak menyulitkanku, mereka menerimaku dengan senang hati, bahkan abinya melarangku untuk memamnggil om, lagi pula sebentar lagi beliau juga akan jadi abi ku.
"Ilham, nanti di pesawat minta tolong perhatikan Vira yaa, soalnya dia gak pernah naik pesawat sebelumya, takutnya mabuk perjalanan" ppesan abi Elvira
"Baik bii, kalau begitu kami pamit bii, assalamualaikum"
"Waalaikumsalam..." setelah berpisah dengan keluarganya Elvira mengikuti langkahku menuju mobil dan kami segera menuju bandara. Tepat 20 menit sebelum lepas landas kami sudah duduk di kursi penumpang. Dapat kulihat dari raut wajahnya, Elvira tampak gelisah, sebab ini penerbangan pertamanya. Bahkan ia memejamkan matanya rapat-rapat.
Pengumuman pesawat akan lepas landas menambah kecemasannya, dan ketika pesawat lepas landas ia segera menarik lenganku dan mencengkramnya. Aku tak tau harus menenanngkannya bagaimana.
"Bukannya saya gak mau membantumu, tapi kita belum menikah, semoga ketakutanmu cukup berkurang meski harus merobek jaket saya" ujarku, dia mengangguk tanda paham tanpa membuka matanya
"Doakan saya" ujarku lagi
"Untuk?" timpalnya dengan mata masih terpejam
"Bisa mencintaimu secepatnya" jawabku dalam hati.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ilham Jung
Romance"Sementara aku hanya lulusan SMA pesantren. Bukan perawat atau pramugari lagi yang buat aku cemburu, tapi negara kita, iya negara kita yang dengan seenaknya bisa mengambil kamu dari aku kapan pun negara kita mau," cerca Elvira "Kamu Gak lupa kan? Ka...