BAB 3

69 5 0
                                    

Pesawat mendarat dengan selamat, segera kurapikan kerudungku dan bersiap turun dari pesawat. Ilham, em ralat Om Ilham membantuku membawakan koper. Keadaan bandara cukup ramai, setelah berhasil mengambil tasku di pengecekan barang seketika itu aku juga kehilangan jejak om Ilham, benar-benar tidak lucu jika aku tersesat di kota orang. Tak banyak yang bisa kulakukan selain berdiri diam di dekat pintu arrival. Jika kalian menyarankanku untuk menelponnya itu salah sebab, pertama, aku tidak memiliki ponsel, kedua aku juga tidak tau nomornya. Mendatangi ke bagian ruang informasi bukanlah iden yang baik, yang benar saja, aku bukan bocah yang menangis sebab terpisah dengan orangtuanya di bandara.

Sudah hampir 15 menit berlalu aku masih tak melihat tanda-tanda keberadaan om Ilham. Perasaanku mulai tak karuan, dominan cemas, yang benar saja aku tersesat di bandara, ohh ayolah ini tidak lucu. Mataku mulai berkaca-kaca, ini akan benar-benar tidak lucu jika aku menangis sekarang.

"Elvira?" seru seseorang dari arah sampingku. Aku masih terdiam, seperti sebuah keajaiban saja

"Lho, mas Zidan? Sama siapa?" tanyaku. Mas Zidan adalah salah satu seniorku di pesantren, juga di sekolah, bahkan ia sempat mengajar di pondok putri meski hanya sebagai guru pengganti. Mas Zidan adalah panutanku, melihatnya sering di bahas di mading bahkan majalah pondok sebab keaktifannya dalam dunia perlombaan Alfiyah.

"Aku sendiri, kamu sama siapa? Mau kemana?"

"Em... a..aku sama ooomm, iya sama om" ucapku terbata, mas Zidan tersenyum menimpali jawabanku. Ya Allah kenapa diciptakan manusia setampan mas Zidan sementara aku tak bisa memilikinya.

"Trus om kamu dimana?" inilah pertanyaan yang ingin kuhindari. Aku hanya menunduk kemudian menggeleng tanda tak tau.

"Lho? Maksudnya terpisah gitu?"

"Iya, tadi pas ambil tas aku udah gak lihat lagi" jelasku tanpa mendongakkan kepalaku. Tiba-tiba kepalaku mendapat usapan halus, aku mengangkat pandanganku, mas Zidan lah pelakunya, ia pun masih sempat tersenyum.

"Elvira..." tukas seseorang dari arah kejauhan, sontak saja aku menoleh ke arah sumber suara. Itu om Ilham, seketika saja perasaanku menghangat dan aku berlari kearahnya. Tatapannya tak bisa di artikan, setelah jarak kami semakin dekat ia malah melewati kan menghampiri mas Zidan. Aku melihatnya dari kejauhan sepertinya ia memberi tahu sesuatu kepada mas Zidan dan kemudian kembali kearahku seraya melepas jaketnya.

"Tadi kemana?" tanyanya sambil memakaikan jaketnya kearahku lalu mengikat tangan jaket itu dan menyeretku berjalan semakin menjauh dari mas Zidan

"Aku ambil tas, trus pas putar balik om udah gak ada" jelasku, seketika ia berhenti

"Om? Saya bukan adik abi kamu atau umi kamu, saya menantunya, calon suami kamu" jelasnya kemudian kembali berjalan menarik tangan jaketnya dan menyeret koperku menuju tempat parkir mobilnya

"Jangan hilang lagi," ujarnya kemudian

"Makanya digandeng" gerutuku pelan

"Makanya cepet nikah" timpalnya, aku diam seketika.

Perjalanan kami cukup hening, tak ada percakapan spesial darinya, entah sekedar membahas pernikahan atau mencoba untuk mengetahui lebih dekat satu sama lain. Jujur saja ini kali pertama aku datang ke Malang. Jelas sekali udaranya lebih sejuk ketimbang di Jakarta, Pemandangannya pun tak kalah menarik. Sampai akhirnya mobil berhenti di depan sebuah rumah di kawasan elit. Gerbang seketika dibuka oleh seorang satpam, bahkan sempat menunduk ramah kearah mas Ilham. Setelah menurunkan barang ia mengajakku masuk kerumah besar itu.

Ilham JungTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang