"Jaemin udah berapa lama kerja part time di sini?" Baru saja mereka mendudukan diri Haechan sudah membuka percakapan dengan pertanyaan basa-basinya. Ia bertanya seraya mencermati setiap sudut cafe yang bisa dilihatnya. Terakhir ia melabuhkan matanya pada Jeno yang duduk tepat di hadapannya.
"Lo nanya ke gue?" Jeno refleks mengangkat pandangannya yang sejak tadi melekat pada layar ponsel karena merasakan tatapan Haechan yang menyasarnya.
"Nanya ke tembok belakang lo!" timpal Haechan ketus. Bisa-bisanya ia sempat melupakan fakta kalau Jeno itu salah satu manusia menyebalkan yang pernah ia kenal, menyesal ia menujukan pertanyaan basa-basinya pada Jeno.
"Oh," balas Jeno dengan jengitan bahu tak peduli.
"Gue nanya ke elo, Jen. Kita baru duduk, jangan rese dulu deh," omel Haechan yang melihat Jeno sepertinya ingin kembali bercengkrama dengan ponselnya. Haechan mencibir, memangnya apa yang lebih bagus dalam benda tipis persegi panjang itu daripada mengobrol dan memandangi wajah tampannya.
"Kenapa nanya ke gue? Gue bukan manajer di sini," sahut Jeno yang tak berusaha menyembunyikan ekspresi wajahnya yang terganggu. Jelas saja ia kesal karena kekhusyukannya bermain game terpecah akibat suara cempreng Haechan. Oke, ia tahu suara Haechan bagus ketika bernyanyi namun ia tak mau mengakuinya.
"Gue nanya lo karna lo kan sodara kembar tapi gak sekandung-nya Jaemin, jadi pasti taulah tentang Jaemin." Walaupun kesal, Haechan tak mau menyerah untuk menagih jawaban yang harus tetap ia dapatkan dari Jeno. Ia sudah capek-capek bertanya, maka harus dijawab. Lagi pula Jeno yang memancingnya duluan untuk bertikai dan bukan Haechan namanya bila mundur dari konfrontasi.
"Jaemin udah lumayan lama part time di sini, kalo gak salah katanya sih abis lulus SMA. Berarti udah setahun lebih." Siapa yang ditanya, siapa yang menjawab, Yeji memilih membuka suara untuk menggantikan Jeno yang sudah pasti sengaja ingin membuat Haechan gondok. Yeji sedang tidak minat melihat orang ribut di depannya karena sekarang sudah lumayan larut malam dan ia butuh sedikit ketenangan. Mumpung Yeji juga tahu banyak tentang Jaemin hasil dari mereka yang dulu pernah dekat saat Jaemin mengincarnya untuk dijadikan pacar.
"Jaemin mah sama tempat kerja aja bisa setia, kalo sama cewek bisa tahan sebulan aja untung-untungan," sambar Ryujin sembari melirik pada Jaemin di kejauhan yang sedang menyiapkan minuman pesanan mereka di balik counter.
Malam ini, Jeno, Yeji, Haechan dan Ryujin datang ke kafe tempat Jaemin bekerja part time atas undangan Jaemin yang ingin menraktir mereka. Sebagai bentuk rasa terima kasih Jaemin kepada mereka karena telah berhasil mempertemukan Jaemin dan Lia secara langsung sore tadi. Jaemin sengaja menyuruh mereka datang mendekati jam tutup kafe karena pengunjung sudah mulai sepi dan mereka akan lebih bebas untuk nongkrong sepuasnya. Manajer kafe tersebut sangat baik, ia mengizinkan karyawannya menggunakan kafe bahkan saat sudah tutup dengan syarat kafe harus kembali bersih dan rapi setelah digunakan.
"Jujur deh gue heran kenapa Jaemin mesti jadi playboy. Apa susahnya setia sama satu cewek?" lanjut Ryujin yang masih belum selesai dengan penghakimannya terhadap sikap Jaemin yang masih tak dimengerti olehnya. Jaemin itu baik, sangat baik malahan, kekurangannya hanya satu yaitu ia tak bisa jaga hati dan jaga mata, ia bergonta-ganti pacar seenaknya sudah seperti mengganti baju.
"Kalo bisa jadi playboy kenapa mesti setia? Apa susahnya gonta-ganti cewek?" sahut Jeno yang tiba-tiba tertarik menimbrung walau fokus utama tangan dan matanya tetap pada ponselnya. Kalimat tersebut keluar dengan lancar dari mulutnya seakan tanpa beban dan tak ada kesalahan di baliknya.
"Mulut lo tuh gak sopan, ada Ryujin sama Yeji di sini." Haechan sontak berdiri dari kursinya dan tangan terulur untuk menggeplak kepala Jeno. Laki-laki kurang ajar pantas mendapatkannya untuk meluruskan otak mereka yang rusak dan membungkam mulut mereka yang tak diberkahi filter.
KAMU SEDANG MEMBACA
Wobble ❝Jaemin Lia❞ ☑
FanfictionFrom a playboy like me, to the special one like you. ©bananaorenji, 2020.