Sudah hampir satu jam Lia berdiri sendirian di sana, di depan kelas yang pintunya tertutup rapat karena proses perkuliahan masih berlangsung di dalamnya. Beberapa menit sekali ia mengecek jam untuk memastikan berapa lama lagi ia harus menunggu. Selama menunggu ia lebih banyak menunduk memperhatikan ujung sepatunya atau lekukan jemari tangannya yang saling bertaut, seakan pemandangan dari anggota tubuhnya jauh lebih menarik daripada orang-orang yang berlalu-lalang melewatinya. Ia tak ingin keberadaannya yang tak kunjung beranjak dari sana menjadi terlalu mencolok dan menarik keingintahuan orang-orang. Walaupun tetap saja ada beberapa orang yang dikenalnya melewati koridor itu dan menyadari keberadaannya. Tanpa bisa dihindari mereka pasti menyapanya atau yang lebih parah bertanya untuk basa-basi dengannya. Jika terpaksa ditanyai ia akan menjawab seadanya bahwa ia sedang menunggu seseorang, tanpa ada lanjutan atau pertanyaan balik darinya karena ia sedang tak ingin memberikan umpan untuk obrolan yang panjang.
Semakin lama menunggu, pikiran Lia makin semerawut dilanda kegelisahan dan kegugupan sampai ia tidak bisa lagi berpikir dengan tenang. Berbagai kemungkinan buruk bergantian mampir dalam otaknya yang mulai tidak rasional. Sejak Yeji membantunya mencari jalan putus dengan Mark, Lia tak ada habisnya memikirkan keadaan Mark. Terlebih saat Mark membalas pesannya yang dengan singkat mengatakan bahwa ia setuju dengan keputusan Lia yang menginginkan akhir dari hubungan mereka. Namun bukannya lega, Lia malah dirundung rasa bersalah karena Mark menolak bertemu dengannya. Mereka putus begitu saja, tanpa pembicaraan langsung secara baik-baik seperti yang Lia inginkan. Lia bahkan tak diberikan kesempatan untuk memberikan penjelasan dan alasannya.
Lia cepat-cepat bangkit dari posisinya yang bersandar di tembok ketika menyadari pintu kelas yang ditungguinya akhirnya membuka dan memuntahkan para mahasiswa yang berbondong-bondong keluar secara berkelompok. Ia tak beranjak dari tempatnya berdiri sebab tak mungkin ia menyelonong begitu saja di antara penghuni kelas yang seluruhnya diisi oleh kakak tingkat itu untuk mencari sosok yang dinantikannya sejak tadi. Ia harus sedikit bersabar sampai Mark sendiri yang keluar dari kelas dan menampakan diri padanya. Lia hanya balas tersenyum ketika beberapa dari kakak tingkatnya lewat dan menyapanya. Berterima kasih pada Mark, karena berpacaran dengan ketua BEM FEB, ia dikenal dan mengenal banyak senior dalam fakultasnya.
"Kak Lucas!" seru Lia pada salah seorang seniornya yang baru saja keluar sendirian dari dalam kelas. Sang senior tampak berhenti sejenak di depan pintu karena terlalu sibuk berkutat dengan ponsel di tangannya. Ia baru menanggalkan tatapannya dari layar ponsel begitu mendengar suara Lia.
"Eh, Lia? Nungguin Mark?" balas Lucas yang dikenal Lia sebagai salah satu teman terdekat Mark.
"Iya."
"Tumben, gak biasanya liat lo nyamperin Mark sampe ke kelasnya," ujar Lucas sembari berjalan mendekat ke arah Lia.
Sementara Lia hanya tersenyum paksa mendengar penuturan Lucas yang secara tak langsung menyindirnya. Ia tahu dirinya bukan seorang pacar yang baik selama bersama Mark, tapi ia tak membutuhkan Lucas untuk mengekspos keburukannya seperti itu.
"Kak Mark mana?" alih Lia pada pembicaraan lain yang merupakan tujuan utamanya menunggu di sana.
"Ada tuh, masih di dalem kayaknya, tunggu aja paling bentar lagi keluar," jawab Lucas yang juga sama dengan Lia, ia menunggu Mark dan temannya yang lain keluar dari kelas. Tadinya ia duluan keluar karena ada urusan dengan seseorang lewat ponselnya.
"Eh, pas banget, tuh orangnya," tunjuk Lucas yang bertepatan melihat Mark keluar dari kelas saat perkataannya usai.
"Mark! Lo ditungguin cewek lo nih!" seru Lucas pada Mark yang membuat Lia meringis. Jarak mereka dari pintu terlampau dekat dan Lucas tak perlu berseru dengan suara lantangnya untuk mendapatkan perhatian Mark dan kelima teman yang jalan bersamanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Wobble ❝Jaemin Lia❞ ☑
FanficFrom a playboy like me, to the special one like you. ©bananaorenji, 2020.