(5)

25K 1.9K 29
                                    

"Terus Mas pikir Ayra ini siapa? Baby sister Lia?" Bentak gue tak terima.

"Gila! Dikata gue siapanya bisa dibentak-bentak terus." Gumam gue menatap Mas Arya dengan tatapan membunuh, gue keluar kamar dengan nutup pintu cukup kasar.

Di luar isak tangis gue aslian pecah, gue bener-bener gak habis pikir, kenapa Mas Arya harus ngebentak-bentak gue kaya barusan? Salah gue apaan? Gue cuma ngeliatin foto mereka berdua tapi reaksinya kenapa udah kaya gue nyolong sesuatu? Ini untuk pertama kalinya ada yang ngebentak-bentak gue dan itu dilakuin oleh lelaki yang statusnya adalah suami gue sendiri, parah memang

Terlalu berlarut dengan isak tangis gue sendiri sampai gue gak sadar kalau dari tadi handphone gue terus berdering, gue merogoh saku baju yang gue pakai sekarang dan melihat nama Layreza tertera di layar handfhone udah cukup sukses untuk meredam isak tangis gue detik itu juga, mengusap kasar air mata gue sebelum ngangkat panggilan Mas Reza.

"Assalamualaikum Mas" Sapa gue keseberang.

"Waalaikumsalam, kamu dari mana aja Ay? Mas telfonin dari kemaren, kenapa handphone kamu gak aktif? Jangan ngebuat Mas khawatir."

"Maaf Mas, kenapa Mas telfon?"

"Akhir bulan ini Mas pulang ke Indonesia"

"Hmmmm?"

"Kamu kenapa? Kamu gak seneng Mas pulang?"

"Gak gitu Mas, Ayra seneng, cuma lagi banyak tugas aja, kalau memang Mas gak keberatan boleh gak kalau Ayra tutup sekarang? Sekalian mau ngecek Lia juga soalnya."

"Yaudah, kamu baik-baik, salam untuk Bunda sama keluarga di rumah."

"Iya, Mas juga baik-baik, insyaallah tar Ayra sampein."

Memutus sambungan Mas Reza, gue beralih masuk ke kamar Lia dan ngambil posisi berbaring di sebelah Lia tertidur sekarang, jujur gue memang gak terima di bentak kaya tadi tapi mau protes gue juga gak bisa, gimanapun Mas Arya itu suami, tapi gimanapun, umur gue yang masih terlalu muda kaya gini udah jelas ngebuat gue semakin terpukul dengan sikap seenak hatinya Mas Arya.

Andai gue salah bukankah tugas Mas Arya untuk mengingatkan? Cukup ngasih tahu baik-baik dan gue akan belajar berubah menjadi yang lebih baik bukan malah dibentak-bentak gak jelas kaya tadi, untuk malam ini lebih baik gue tidur bareng Lia, gue udah gak punya keberanian untuk natap Mas Arya sekarang, males juga.

Di saat gue mulai nyoba mejamin mata, suara pintu yang di buka membuat gue narik nafas gak karuan, palingan juga Ayahnya Lia yang masuk, dirumah ini kan cuma ada kita bertiga, gue, Lia sama Ayahnya.

Mengabaikan Mas Arya, gue milih tetap menutup mata dan pura-pura tidur, udah cukup dia ngebentak-bentak gue untuk hari ini tapi mendapati hembusan nafas Mas Arya terasa begitu dekat jantung gue udah maraton gak jelas, jangan sampai Ayahnya Lia tahu kalau gue belum tidur.

Masih dengan mata terpejam, gue ngerasa ada yang memperbaiki selimut gue dan berselang beberapa detik terdengar suara pintu yang ditutup balik menbuat gue bisa bernafas lega, ya setidaknya gue gak harus pura-pura tidur disaat pemikiran gue sendiri melayang entah kemana.

Gak cuma masalah sama Mas Arya, kabar kepulangan Mas Reza juga ambil andil untuk pemikiran gue sekarang, gue harus bilang apa sama Mas Reza nanti? Apa gue harus jujur ngomong kalau gue udah nikah? Sama Mas Arya, Kakak ipar gue sendiri.

Andai gue jujur apa Mas Reza akan terima gitu aja? Tapi bagaimanapun, cepat atau lambat masalah gue udah menikah juga pasti akan ketahuan sama Mas Reza, percuma kalau gue nyembunyiin masalah ini, mending jujur dari sekarang, gue gak mau Mas Reza naruh harapan sama gue lebih lama lagi.

Dear Mas Duda (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang