(20)

23.3K 1.8K 33
                                    

"Lebih baik lepasin Ayra dan biarin Ayra bahagia dengan orang lain." Lirih gue sangat.

Gue gak mau nangis tapi apa yang gue rasain sekarang juga bukan pekara mudah, sampai kapan gue harus hidup hanya untuk membahagiakan orang lain? Sampai kapan gue harus hidup hanya untuk berkorban demi orang lain, apa gue gak boleh egois dan memikirkan kebahagian gue sendiri juga?

Gue bukan mengeluh tapi gue juga perempuan, gue mau dihargai dan dibahagiakan, selama ini gue berkorban apa mereka sadar? Mending kalau perngorbanan gue itu di hargai tapi nyatanya, gak ada satu orangpun yang peduli dengan apa yang udah gue lakuin selama ini, mereka semua bersikap seolah memperlakukan gue kaya gini terus-menerus itu adalah cara terbaik mereka.

Mengikuti semuanya seperti ucapan Bunda, diam ketika Mas Dikta ngomong kalau gue selalu melakukan kesalahan yang sama, apa mereka pikir gue gak terbebani dengan semua kritikan mereka? Mereka gak pernah tahu seperti apa usaha gue untuk terlihat benar di mata keluarga, gak ada yang mau tahu.

Gue pikir, pindah dan hidup bareng Mas Arya bisa membuat beban gue sedikit berkurang karena setidaknya gak akan ada yang memberikan gue kritikan tajam tapi Mas Arya juga sama, bersikap baik seolah sangat peduli tapi kembali menjadikan gue tameng ketika pertanyaan keluarga mulai nyerang kita berdua, apa salah gue?

Sekarang gue bahkan juga udah gak sanggup untuk menghadapi sifat dan kelakuan Mas Arya, dua tahun lamanya, dua tahun gue bersabar hanya dengan satu harapan, akan ada saat di mana Mas Arya beneran tulus menerima kehadiran gue dalam hidupnya, dalam hidup Lia.

Tapi harapan gue seolah kembali menjadi angan, dua tahun berlalu gue pikir Mas Arya bisa berubah tapi ternyata, apa yang selama ini Mas Arya lakuin, semua perubahan sikapnya, itu semua cuma cara Mas Arya mem-backup dirinya sendiri, Mas Arya hanya ingin terlihat baik di depan keluarga terutama di depan Bunda.

Semuanya ucapannya selama ini itu cuma omong kosong, apa Mas Arya pikir gue akan terus bersabar dan diam selamanya? Gue juga mau membahagiakan diri gue sendiri, gue gak akan lagi menggantungkan kebahagiaan gue kepada orang lain.

Kalau semua orang gak ada yang mau memikirkan kebahagian gue, setidaknya biarin gue nyari kebahagian gue yang lain, walaupun itu mungkin harus dengan orang lain, gue gak akan nuntut apapun lagi dari mereka semua, entah itu dari keluarga gue sendiri atau itu dari Mas Arya.

Yang gue mau sekarang itu cuma satu permintaan, permintaan gue sangat sederhana, kalau memang Mas Arya belum bisa melupakan Kak Airin, kasih alasan yang lebih bagusam sedikit tanpa perlu menyudutkan gue di depan Bunda dan keluarga.

Jangan memaksa bertahan dalam hubungan rumah tangga kita berdua kalau memang ternyata Mas Arya gak bisa, jangan terus nyiksa gue dengan berpura-pura mempertahankan gue disaat Mas Arya belum bisa membuka hati dan menerima kehadiran gue dalam hidupanya, itu bukan hanya nyiksa Mas Arya, tapi itu juga sangat menyiksa gue.

"Selama ini Mas anggap Ayra ini siapa?" Tanya gue mengusap air mata gue cepat, selama ini apa Mas Arya menganggap gue istrinya? Atau Mas Arya masih menganggap kalau gue ini hanya Adik dari mendiang Istrinya yang terpaksa di nikahi untuk memberikan keluarga yang lengkap untuk Lia?

"Kamu itu istri Mas." Ck! Istri? Berhenti nyiksa gue kalau Mas Arya sendiri belum bisa lepas dari bayang-bayang istri pertamanya? Kenyataan kalau mendiang istri Mas Arya itu adalah Kakak gue sendiri beneran nyiksa, gue tersiksa dengan satu kenyataan itu.

"Kalau Ayra istri Mas, kenapa Mas gak bisa memperlakukan Ayra sama seperti Mas memperlakukan Kak Airin dulu?" Apa yang gue terima sekarang itu adil? Mas Arya terus memperkenalkan gue sebagai istrinya di hadapan orang lain tapi memperlakukan gue seperti orang lain disaat siapapun gak ada.

"Kurangnya Ayra dimana? Apa Ayra bukan istri yang baik?" Walaupun gue bukan istri yang baik tapi gue berusaha keras untuk mendekati kalimat itu, gue berusaha keras.

Apa selama ini gue bukan istri yang baik? Gue bahkan merelakan semuanya demi menjadi istri seorang Arya dan Ibu untuk Lia, gue bahkan mengorbankan orang yang gue cinta, orang yang menunggu lama, apa itu belum cukup? Gue harus berkorban sebanyak apa lagi untuk bisa membuat Mas Arya mandang gue? Sesulit itukah?

"Mas sama sekali gak bermaksud kaya gitu Ay, Mas cuma__"

"Cuma apa?" Potong gue kembali menitikan air mata, cuma, cuma cuma dan selalu cuma, ada aja alasan Mas Arya,  menatap gue sekarang, Mas Arya mendekat dan mencoba menghapus air mata gue, gue yang beneran udah gak bisa mikir tanpa sadar nepis kasar tangan Mas Arya gitu aja, ini kesalahan gue.

"Mas! Lebih Mas keluar dari kamar Ayra sekarang, Ayra takut kalau Ayra bakalan bersikap makin kasar aama Mas jadi tolong, tinggalin Ayra sendiri." Pinta gue masih mencoba sesopan mungkin, gue takut kalau pembicaraan gue sama Mas Arya dilanjutin, gue gak akan bisa nahan emosi gue lagi.

"Ay! Kamu cuma salah paham, kamu gak punya kekurangan apapun di mata Mas, kamu cukup baik tapi andai kata kamu punya kekurangam, Mas akan tetap menerima semua kekurangan kamu karena Mas juga gak sesempurna itu." Ucap Mas Arya memgusap kepala gue yang masih gue abaikan, gue bahkan gak bisa natap Mas Arya sekarang.

Belum mendapatkan respon apapun dari gue, Mas Arya masih mencoba menenangkan dengan terus mengusap kepala gue, membiarkan gue menangis dan ikut duduk di tempat dalam diamnya, gue gak tahu apa yang ada dalam pikiran Mas Arya tapi gue juga gak bisa nolak perlakuannya sekarang, ini juga kebodohan gue.

Setiap kali gue kesal, kecewa bahkan marah ke Mas Arya, sentuhan Mas Arya ketika menenangkan juga berhasil membuat gue beneran menjadi lebih tenang, amarah gue seakan berkurang cepat, gue bodoh karena terus merasakan hal yang sama.

"Ayra butuh waktu sendiri." Ulang gue, gue gak akan menghindar, itu gak akan gue lakuin cuma sekarang gue mau menenangkan pikiran gue lebih dulu, gue harus memikirkan semuanya sebelum balik ngomong sama Mas Arya.

"Okey, Mas akan keluar sekarang tapi kamu harus tahu, kamu salah paham, kalau suatu saat kamu tahu alasan Mas bersikap seperti ini apa? Kamu gak akan menangis kaya gini."

"Cukup sekali Mas kehilangan jadi jangan pernah minta Mas melepaskan kamu juga, Mas gak mau kalau harus balik merasakan kehilangan untuk kedua kalinya."

Dear Mas Duda (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang