(4)

24.5K 2K 31
                                    

Pulang kuliah, gue langsung ngecek Lia yang sekarang memang lagi digendong sama Bunda, ngeliat Lia yang ngegemesin banget kaya gini rasanya mau gue cubitin itu pipi, kalau perlu gue gigit sekalian tapi kalau beneran gue gituin, jaminan Bapaknya mengibarkan benderan perang, diomelin abis-abisan tar gue.

Setelah ngecek Lia, gue juga minta tolong Bunda untuk ngejagain Lia sebentar lagi, berhubung Bunda juga setuju, gue langsung beralih nyiapin segala keperluan Lia untuk pindah seperti maunya Mas Arya tadi pagi.

Selesai beberes semua keperluan gue sama Lia, gue balik nemuin Bunda dan ngambil alih Lia untuk gue ajak main sambilan nunggu Ayahnya Lia pulang, ada sekitaran setengah jam lebih kita berdua nunggu, Mas Arya pulang.

"Assalamualaikum Lia, Ayah pulang." Ucap Mas Arya cukup keras nyariin anaknya.

"Lianya disini Ayah." Balas gue yang dihadiahi tatapan menusuk dari Mas Arya, kenapa Mas Arya natap gue harus kaya gitu? salah ngomongkah gue?

Mengabaikan tatapan menusuk yang dilayangkan Mas Arya ke gue sekarang, jantung gue mendadak juga gak beres begitu Mas Arya mendekat ke sisi gue dan ngecup kening Lia tetiba, ngebayangin mukanya Mas Arya yang sedekat ini malah ngebuat gue ngeri sendiri.

"Udah siap?" Tanya Mas Arya masih fokus dengan Lia dalam gendongan gue.

"Udah." Jawab gue singkat.

"Yaudah, Mas mandi dulu setelahnya kita langsung berangkat, nanti kalau kemaleman gak baik juga untuk Lia." Gue cuma mengiyakan dan Mas Arya melangkah naik masuk ke kamarnya, gue juga ikut ngebawa Lia naik sambilan ngecek barang bawaannya takut-takut ada yang ketinggalan.

Gak perlu nunggu lama, Mas Arya keluar dan langsung ngebawa semua barang bawaan gue sama Lia ke bagasi mobil, kita bertiga pamit sama Bunda dan keluarga lainnya.

"Baik-baik ya Dek!" Ucap Bunda yang gue angguki.

"Arya, kalian baik-baik ya, jangain Lia sama Bunda nitip Ayra juga ke kamu, jagain putri sama cucu Bunda baik-baik." Dan kali ini Mas Arya juga melakukan hal yang sama, mengangguki dan tersenyum tipis untuk ucapan Bunda.

Entah kenapa sekarang gue udah natap Bunda dengan mata berkaca-kaca, dari kecil sampe umur gue segini, ini pertama kalinya gue hidup jauh dari Bunda, perasaan sedih jelas ada, jangan lupain fakta kalau gue ini masih seorang gadis yang berusia 19 tahun jadi masih teramat wajar kalau gue belum terbiasa hidup berjauhan sama orang tua.

"Udah gak usah sedih, kaliankan bisa pulang kapan aja dan Bunda juga akan sering main ke rumah kalian." Ucap Bunda mengusap kepala gue.

"Yaudah kita pamit Bun." Mas Arya nyalim sama Bunda dan melangkah masuk ke mobil lebih dulu, jangan berharap kalau Mas Arya bakalan peduli sama perasaan gue sekarang, mimpi jangan ketinggian Ay, tar terima kenyataan jadi makin sakit.

.
.
.

Mengikuti Mas Arya, gue ikut melangkah masuk ke dalam rumah yang terkesan cukup minimalis menurut gue, rumah yang didominasi dengan warna hitam, putih dan abu-abu ini terlihat cukup nyaman, semua tertata cukup rapi, walaupun gak terlalu luas tapi ini lebih dari cukup untuk tempat tinggal kami bertiga.

"Kamar Lia mana?" Tanya gye karena kasihan ngeliat Lia yang udah tidur digendongan gue kaya gini.

Tanpa ngejawab pertanyaan gue, Mas Arya melangkah lebih dulu naik ke atas dan membuka salah satu pintu kamar masih dengan sikap dinginnya, udahlah Ay, apa yang mau lo harapin dari Ayahnya Lia?

Gue yang terlalu malas menanggapi sikap dingin Mas Arya cuma mengikuti dan masuk ke kamar yang barusan dibukain pintunya, ngeliat banyaknya pernak pernik yang ada disini dapat gue pastikan kalau kamar ini milik Lia.

Dear Mas Duda (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang