Bab 16. Bayu: Rasa Tak Rela

344 27 0
                                    


Setelah mendengar saran Dion akhirnya aku memberanikan diri mendekati Bu Ayu. Ketika dia pamit pulang di cafe kemarin, aku menggunakan kesempatan itu untuk mengatakan sekali lagi kepadanya mengenai penawaranku belajar memasak pempek bersama chef di restoranku.  Syukurlah dia terlihat tertarik.

Barusan saja aku bahkan meneleponnya untuk menanyakan kesediaannya belajar masak pada Kamis malam. Dia langsung menyanggupi. Aku jadi tertawa sendiri mengingat tingkah konyolku. Jantungku bergemuruh, tanganku berkeringat dingin saat ingin meneleponnya. Aku bahkan berulang kali mencari kontak namanya, membatalkan, lalu mencari lagi, membatalkan, dan begitu seterusnya hingga entah berapa kali sebelum aku akhirnya berani memencet tombol telepon. Sungguh perbuatan bodoh.

Padahal aku bukan ingin mengajak pacaran atau melamar lho, hanya menawarkan pelajaran memasak pempek bersama chef yang merupakan salah satu sahabatku sejak kuliah. Dan dengan kurang ajarnya Janu, sahabatku, itu mengejek saat aku meminta kesediannya untuk mengajari Bu Ayu membuat pempek.

“Siapa dia, Bay? Tumben banget minta aku mengajari orang memasak. Masakannya pun hanya pempek. Seorang chef serba bisa, hanya disuruh mengajari pempek? Aduh, hatiku terluka jadinya,” ejek Janu sambil memegang dadanya dengan kedua tangan dan ekspresi wajah seperti terluka.

“Berlebihan kamu, Jan.”

“Jadi siapa orangnya?”

“Aku berhutang budi padanya, Jan. Berkat dia, pinjamanku pada Bank ICA bisa segera disetujui. Jadi yah sebagai balas budi aku menawarkannya membuat pempek yang sangat disukainya. Apalagi pempek buatanmu salah satu yang terenak di Jakarta.”

“Aku sungguh tersanjung mendengar pujianmu, hanya saja aku tidak memercayai hanya itu alasannya. Jadi dia pasti wanita kan?”

Aku hanya diam saja mendengar pertanyaan Janu.

“Apa dia secantik itu, Bay?” Janu menaikkan alisnya untuk menggodaku.

“Aku belum mengatakan dia seorang wanita. Bagaimana kamu bisa menyimpulkan begitu?”

“Sudahlah. Wajahmu sudah menunjukkan segalanya. Jadi siapa namanya?” todong Janu. Melihatku yang hanya diam saja, Janu melanjutkan kata-katanya. “Kalau kamu tidak mau mengatakannya maka aku juga tidak bisa mengajarinya.”

“Oke, oke. Namanya Ayu,” sahutku cepat.

Well, nama yang bagus. Pasti rupanya secantik namanya. Kalau tidak, pasti temanku ini tidak akan tergoda.”

“Sial! Dikira aku seperti Dion, seorang predator bagi wanita cantik?” Aku menunjukkan kekesalanku.

“Jadi  apa yang membuatmu menyukainya?”

Tiba-tiba terbayang wajah Bu Ayu dan kilas balik pertemuan-pertemuan kami. Aku tersenyum sendiri ketika menyadari sesungguhnya Bu Ayu ini berbeda dari wanita kebanyakan. Jika selama ini semua wanita yang mengejarku menunjukkan kegenitan, tubuh seksi dan pakaian minim, maka berbeda dengan Bu Ayu. Dia bahkan menunjukkan perlawanan sengit saat aku menawarinya imbalan. Ekspresinya saat memakan pempek pun tidak terlihat anggun sama sekali. Tapi mungkin justru itu adalah pesonanya. Sikapnya yang apa adanya membuatku nyaman.

Akhirnya setelah godaan bertubi-tubi yang dilancarkan oleh Janu, dia bersedia meluangkan waktunya pada Kamis malam, di saat restoran tidak terlalu ramai. Bu Ayu juga langsung menyetujui waktu pilihan Janu tadi. Aku rasanya sudah tidak sabar menunggu hari Kamis.

**

Hari yang dinanti pun tiba. Hari ini adalah hari Kamis. Sejak pagi aku sudah merasakan ketegangan yang begitu luar biasa. Joko sampai meledekku. Entah bagaimana dia tahu kalau hari ini Bu Ayu akan datang kemari. Rasanya tidak ada rahasia di sini.

Sudah sejak sore aku duduk di meja favoritku dan setiap ada tamu yang datang, aku langsung refleks menoleh ke arah pintu dengan hati berdebar. Bila bukan Bu Ayu yang datang maka aku akan merasa kecewa. Aku sampai tidak bisa melakukan hal yang lain selain melihat layar ponselku seharian dan ke arah pintu masuk restoran.

Aku sempat berpikir apa mungkin Bu Ayu batal untuk datang kemari, tapi menilik sikapnya yang selalu profesional, dia pasti mengabari jika urung datang, kan. Ini nyatanya tidak ada pesan masuk seharian ini darinya. Tiba-tiba suara sambutan diberikan oleh resepsionis. Aku yang sedang menunduk memeriksa ponselku langsung mengangkat kepala.

Kulihat Bu Ayu datang sendiri dengan mengenakan blus berwarna coklat dan celana jins panjang. Sebuah pakaian sederhana, tapi tidak mengurangi kecantikannya. Aku berdiri dan berjalan menghampirinya dengan jantungku yang berdebar kuat. Dia langsung melemparkan sebuah senyum dan melambaikan tangan saat melihatku melangkah mendekatinya.

“Selamat malam, Bu. Siap untuk belajar?” Duh semoga suara gugupku tidak terdengar olehnya.

“Sadar Bay, kamu itu duda, bukannya anak baru gede yang belum pernah mengenal cinta,” ejek pikiranku.

Bu Ayu tertawa mendengar pertanyaanku. “Saya siap tempur, Pak,” ujarnya berseloroh.

Kami berdua langsung tertawa bersama-sama.

“Mari ikut saya, Bu. Sebelah sini,” ujarku sambil memimpin jalan.

Saat memasuki dapur, kulihat Janu sudah menyiapkan bahan-bahan yang dibutuhkan untuk membuat pempek.

“Perkenalkan Bu Ayu. Ini Janu, chef sekaligus sahabat saya yang akan mengajari Ibu membuat pempek pada hari ini.”

“Oh jadi ini yang namanya Bu Ayu. Cantik seperti namanya.” Janu melirikku sambil tersenyum ramah. Aku yakin dia sengaja memuji Bu Ayu unuk melihat ekspresiku. “Perkenalkan saya Janu.” Janu mengulurkan tangannya ke arah Bu Ayu.

“Selamat malam, Chef Janu. Maaf kalau saya merepotkan.” Bu Ayu menyambut uluran tangan Janu. “Terima kasih karena sudah berkenan meluangkan waktunya untuk mengajari saya membuat pempek. Kebetulan pempek adalah makanan kesukaan saya dan pempek buatan chef rasanya juara.” Kulihat Bu Ayu mengangkat kedua jempolnya dengan wajah berbinar-binar bahagia. Dia tampaknya sangat menyukai pempek.

Aku yang merasa terganggu melihat keakraban mereka langsung mengeluarkan pertanyaan, “Ini kenapa tepung terigunya dibagi menjadi 2 di wadah yang berbeda, ya?”

Janu langsung melihat ke arahku dengan tatapan mengejek yang menandakan sebenarnya dia tahu aku bertanya hanya untuk menghentikan keakraban mereka.

“Bahannya membutuhkan 2 macam tepung, Bay. Jadi yang ini tepung terigu dan ini tepung tapioka.”

Aku menganggukkan kepalaku mendengar penjelasannya seakan aku mengerti, padahal aku sejujurnya tidak bisa membedakan keduanya. Warnanya sama-sama putih, apa bedanya?

“Jadi bagaimana kalau kita mulai saja? Ini apron yang harus dipakai.” Janu menyerahkan apron berwarna merah dengan motif bunga-bunga ke arah Bu Ayu yang langsung diambil.

“Sini biar saya yang bantu ikatkan talinya,” ujarku cepat saat melihat Bu Ayu sedang memakai apronnya. Ada perasaan tak rela membayangkan jika Janu yang melakukannya.

Bu Ayu terlihat salah tingkah mendengar tawaranku, sedangkan Janu berusaha menahan tawanya.

“Jadi Pak Bayu mau ikut memasak pempek bersama kami atau bagaimana, Pak?” tanya Janu sambil tersenyum lebar yang dibuat-buat.

Sial! Janu berani-beraninya mengusirku dari dapur restoranku sendiri!

Karena rasa tidak rela melihat interaksi mereka berdua yang terlihat begitu akrab, aku pun mengucapkan sesuatu yang langsung kusesali. “Aku akan ikut membuat pempek bersama kalian.”

Aku mengerang dalam hati. Aku tidak bisa memasak. Rasanya sejak mengenal Bu Ayu, aku mendadak jadi orang yang spontan alias impulsif dalam memutuskan sesuatu dan aku tidak suka itu. Aku lebih suka melakukan perencanaan sebelum mengucapkan atau melakukan sesuatu. Segala sesuatu harus dipikirkan terlebih dahulu baik dan buruknya.

Kulihat wajah Janu yang dengan susah payah menahan tawa melihat ulahku. Aku yakin jika hanya ada aku dan Janu, maka bisa dipastikan dia akan langsung tertawa terpingkal-pingkal. Tapi bagaimana lagi? Aku tak rela jika Bu Ayu hanya berduaan dengannya. Bagaimana jika nanti mereka tidak sengaja berpegangan tangan atau yang lainnya? Aku tahu Janu itu playboy seperti Dion. Aku takut Bu Ayu akan menjadi korbannya.

Hanya itu!

❤❤❤❤❤

Ya. Denial aja terus, Bay. Mamak cape 😑😑😑

Hany

Jakarta, 14/11/20

Childfree (END) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang