Bab 1. Ayu: Pertanyaan Ibu

1.2K 57 1
                                    


Sekali lagi aku memfokuskan tatapanku pada layar komputer di hadapanku, tapi tetap saja tulisan yang sama tertera di sana. Grey. Abu-abu. Lantas kenapa tim marketing setengah memaksa untuk segera meng acc ajuan pinjaman itu? Jelas-jelas ada temuan yang mengharuskan dilakukannya tinjauan ulang.

Memang sih hasilnya bukan black yang artinya ajuan pinjaman ditolak. Hasilnya hanya grey yang artinya perlu data tambahan untuk dianalisa. Secara sederhana begini, sistim memang menunjukkan permohonan pinjaman nasabah berada pada level abu-abu, tapi keputusan dari orang-orang yang berwenang tetap masih berlaku. Mereka masih berhak memutuskan apakah ajuan kredit  akan diterima atau ditolak. Sebetulnya ada satu warna lagi, yaitu white. Putih. Bersih. Nggak ada noda atau catatan yang mengharuskan dilakukannya tinjau ulang. Kalau ini sih sudah pasti disetujui.

Hanya saja kondisi luar biasa akibat covid membuat semua pengajuan secara otomatis dinyatakan grey oleh sistim. Efek Pandemi yang datang tanpa diundang dan entah kapan perginya, memang dahsyat banget. Membuat kondisi ekonomi menukik tajam hampir di semua aspek. Menyebabkan ada beberapa posisi nasabah yang mengalami penurunan grade.

Penurunan yang membuat pihak bank harus meninjau ulang ajuan pinjaman calon-calon nasabah. Suatu kondisi yang membuat para calon peminjam merasa dipermainkan oleh pihak bank. Sudah dijanjikan cair dalam waktu dekat, sudah semangat karena sebentar lagi suntikan dana untuk usaha  yang mulai lesu akan segera meluncur, eh tiba-tiba diminta bersabar bahkan diminta untuk menambah berkas. Siapa yang nggak kesal coba?

Andai mereka tahu, pihak bank juga mengalami hal yang sama. Yah, meskipun dalam konteks yang berbeda tentunya. Kalau nasabah merasa digantung, sementara pihak bank pusing karena ditanya-tanya terus kapan pinjaman mereka cair. Fuih, bikin perasaan nggak nyaman kalau sudah begini.

“Berkas oke. Riwayat nasabahnya juga baik,” gumamku sambil membalik lembar demi lembar kertas yang ada di sana. Setelah merapikan kembali berkas-berkas itu ke map aku menghubungi Ressy, staf marketing yang menangani berkas Restoran The Djawa.

“Res, ke ruanganku ya. Iya sekarang.  Kutunggu.” Aku meletakkan gagang interkom ke tempatnya semula. Sambil menunggu kedatangan Ressy, aku lanjut mengambil tumpukan map berisi ajuan pinjaman. Kemudian membaginya menjadi beberapa bagian lagi di hadapanku. Aku mengalihkan fokusku dari berkas-berkas saat mendengar suara ketukan pelan di pintu. Ressy masuk begitu melihat isyarat yang kuberikan.

“Ini.” Aku menyodorkan map biru begitu Ressy duduk di kursi di seberang mejaku.

“Wawancara?” tanyanya dengan kening berkerut begitu selesai memeriksa berkas di hadapannya.

“Iya.” Aku memandang sosok mungil di depanku, yang sedang menatapku dengan ekspresi tak percaya. “Hasil cek sistim menunjukkan grade restoran The Djawa pada posisi abu-abu. Jadi, kita perlu informasi tambahan untuk memperkuat ratingnya.”

“The Djawa ini nasabah lama. Bayar cicilannya juga enggak pernah telat. Berkasnya oke semua. Kenapa harus wawancara lagi?” tanya Ressy dengan nada tak percaya. “Ini namanya nambah-nambahin kerjaan. Wong tinggal sret-sret aja di lembar pengesahan ini.” Ressy menggerakkan tangannya seolah sedang menandatangani berkas. ”Dan, wuss semua beres.” Sekali lagi dia membuka map. Membuka lembar demi lembar berkas di dalamnya. “Pak Bowo juga sudah acc. Tinggal kamu saja yang belum.” Dia meletakkan map di meja lalu menatapku, menunggu dengan tak sabar aku menyetujui pernyataannya.

Tapi, gadis yang langsung klik denganku sejak pertama menjejakkan kaki di Bank ICA ini sepertinya harus menelan kecewaan mendengar ucapanku. Aku tidak akan mengubah keputusan yang kubuat. Apalagi semua yang kulakukan jelas-jelas sesuai aturan yang berlaku. Terserah, kalau staf yang lain, demi kemudahan dan nggak mau repot sedikit, memilih menggampangkan urusan. Tapi tidak dengan aku. Peraturan adalah peraturan. Mau tak mau siapapun yang terlibat di dalamnya harus mematuhinya. Dan memasuki bulan ke tiga berada di kantor pusat, untuk pertama kali aku melihat ekspresi tegang dari sosok yang biasanya selalu tenang dan tampak santai itu.

Dilihat dari sisi manapun, kami berdua memang bagai langit dan bumi. Perbedaan kami itu jauuuh... banget. Aku selalu memastikan semuanya serba sempurna, sesuai aturan, dan tepat waktu. Sementara Ressy? Jangan ditanya. Hidupnya santai. Suka asal. Menurutnya, melenceng sedikit dari koridor dan aturan yang sudah ditetapkan adalah seni ternikmat dalam menikmati hidup. Sampai ke kantor mepet waktu itu kesenangan yang menggetarkan dan meningkatkan adrenalin.

“Tidak telat bayar cicilan dipinjaman sebelumnya enggak cukup, Res. The Djawa ini mau buka restoran baru. Coba kamu pikir. Di saat banyak usaha makanan yang kolap karena covid, mereka malah buka cabang restoran baru. Kalau dipikir lagi, siapa coba yang bakalan datang untuk membeli makanan mereka.” Aku menatap Ressy sejenak sebelum akhirnya melanjutkan, “So, aku butuh alasan yang tepat untuk mendukung berkas-berkas yang sudah oke ini.”

Ressy menarik napas lalu mengembuskannya perlahan. “Kamu itu ribet banget, ya. Padahal semuanya bisa beres tanpa perlu repot-repot wawancara. Wong, The Djawa juga nasabah lama. Berdasarkan laporan yang dilampirkan di sini.” Ressy mengambil laporan penghasilan restoran The Djawa yang ada dalam map lalu menunjukkannya kepadaku. “Jelas-jelas kelihatan omzet dan profit yang dihasilkan restoran selama ini tetap stabil meskipun sedang pandemi. Jadi, nggak mungkinlah dia bakalan macet bayar.” Ressy tetap bersikukuh dengan pendapatnya.

“Aku akan mempertimbangkan berkas ini setelah mendapatkan hasil wawancaramu dengan pihak The Djawa,” ujarku tegas. Membuat Ressy mau tak mau harus beranjak dari duduknya.

Disambarnya map di meja namun sebelum melewati ambang pintu, dia berbalik menoleh ke arahku dan berucap, “Kata ‘saklek’ lebih tepat dibuat di belakang namamu daripada Thalita,” ujarnya dengan nada tajam. Kemudian berlalu dengan ekspresi kesal dan langkah berderap.
Aku hanya bisa mengembuskan napas perlahan melihat kekesalan yang terpancar jelas di wajah mulus Ressy. Tidak biasanya dia begitu. Meski terkadang suka asal, mengenalnya selama tiga bulan dan kami kerap bersama, aku tahu dia bukan jenis staf yang tidak bertanggung jawab terhadap pekerjaannya. Bukankah mewawancarai calon nasabah memang tugas divisi marketing, lantas kenapa pula dia terkesan kesal karena kuminta untuk wawancara? Ada-ada saja batinku. Aku membuka kembali map yang sempat terhenti. Aku harus cepat-cepat menyelesaikan pekerjaan ini sebelum pekerjaan lain datang menyusul.

Setengah jam berlalu, Nada Mamma Mia dari grup Abba terdengar nyaring menyentak kesunyian yang ada. Nada dering khusus yang kubuat untuk menandai panggilan ibu. Panggilan rutin yang selalu beliau lakukan kalau aku tak sempat menghubunginya pas malam hari karena lembur dan pulang larut.

“Baik. Ibu bagaimana? Pinggangnya masih sering sakit?” tanyaku. Setelah terjatuh di halaman belakang rumah, ibu mengeluh kalau pinggangnya sering sakit. Setelah dipaksa dengan berbagai cara, akhirnya ibu mau berobat ke spesialis tulang. Tapi sejak saat itu,  ibu tak pernah mengeluhkan lagi penyakitnya. Ibu memang malas kalau diajak berobat ke dokter. Dia lebih suka menggunakan obat-obat tradisional untuk menyembuhkan penyakitnya.

“Tapi tetap saja, ibu harus kontrol ke dokter Windy.” Aku menyebut nama dokter yang dulu sempat menangani ibu. “Kemarin Reni sempat bercerita kalau kaki ibu juga sering sakit.” Reni adalah sepupu jauh yang tinggal bersama ibu. Aku sering meneleponnya tanpa sepengetahuan ibu.

“Reni pasti melebih-lebihkan cerita. Ibu ini sudah tua, Yu. Wajar saja kalau kadang-kadang kaki ibu sakit. Kamu nggak usah khawatir. Ibu baik-baik saja di sini.” Ibu menjawab dari seberang sana.

Aku meletakkan ponsel  di telinga lalu menjepitnya dengan bahu. Sambil mengobrol dengan Ibu di seberang sana, aku melanjutkan pekerjaanku. “Iya, Bu. Ayu pasti makan. Istirahat juga. Iya.” Aku menyesap kopi yang tadi sempat kubuat namun belum kuminum sama sekali.

“Yu,” panggil ibu setelah terdiam cukup lama.

“Iya, Bu.”

“Kamu kapan menikah lagi?” Tanya ibu, serius.

Pertanyaan yang sukses membuat aku tersedak kopi yang baru kusesap.

Setelah mengingatkan aku untuk selalu menjaga kesehatan, ibu memutus sambungan. Namun, kalimat terakhir berisi pertanyaan, kapan aku menikah lagi sukses membuat mood-ku berantakan.

❤❤❤❤❤

Bab 1 sudah meluncur guys!

Bab ini ditulis oleh partner duet liilaRie.

Nantikan bab 2 nya besok ya. Atau mau hari ini?  Hahahahha

Bab 2 nanti akan ditulis oleh saya jeng jenggg...  Nantikan ya hihi (tertawa jahat)

Oh ya, seperti biasa mau mengingatkan kalau

Cerita ini akan kalian temukan sama persis di work aku dan liilaRie karena ini hasil karya duet.

Jadi jangan kaget ya 😁

Hany 😘

Jakarta, 22/10/20












Childfree (END) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang