Bab 3. Ayu: Seperti itu Mereka Menganggapku

585 39 0
                                    


Kapan kamu menikah lagi?

Gila! Kenapa pertanyaan itu mesti muncul di tengah-tengah pekerjaan sedang menuntut konsentrasi tinggi begini, sih? Membuat suasana hatiku yang sudah jelek akibat ulah staf marketing, yang ngotot banget mengenai ajuan pinjaman restoran The Djawa semkain jelek. Kalau yang bertanya orang lain biasanya aku santai saja menanggapinya. Istilah trennya masuk telinga kanan keluar lagi dari telinga kanan alias membal.

Berbeda rasanya kalau yang bertanya itu adalah wanita yang selalu memahami, mendukung, bahkan menjadi garda terdepan membela apa pun keputusan yang kubuat. Termasuk pilihan hidup yang dianggap orang lain adalah sebuah pilihan yang enggak masuk akal dan menyalahi kodrat. Pilihan yang membuat kisah rumah tanggaku tamat dalam waktu singkat. Yah, meskipun tak sesingkat umur jagung juga tapi tetap saja efeknya dahsyat banget untukku.

Saking dahsyatnya sampai-sampai aku bersumpah tidak akan menikah lagi apalagi dengan laki-laki sejenis mantan suamiku. No,thanks. Terima kasih banyak. Jangan sampai aku ketemu pria tipe anak mami begitu lagi. Tipe anak tunggal yang kalau sedang bersama pasangan gombalnya setinggi langit, yang katanya siap menerima kekasihnya apa adanya lengkap dengan semua prinsip hidupnya, tetapi langsung kicep saat berhadapan dengan kedua orang tuanya. Huh, dasar cemen!

Hal itu pernah kuungkapkan kepada ibuku, tapi beliau mengingatkan aku untuk tidak sembarangan bersumpah. “Hati-hati dengan ucapanmu, Nak. Jodoh itu rahasia Tuhan. Tidak semua orang memandang remeh pilihan hidupmu. Tidak adil rasanya menyamakan semua anak tunggal dengan mantan suamimu.” Ah, Ibu. Bagaimana mungkin aku tidak menyamakan semua laki-laki terutama yang anak tunggal ditambah lagi dari keluarga ningrat, kalau aku mengalami sendiri kejadian menyakitkan itu?

Bila ada yang bertanya, apakah aku akan menikah lagi? Kalau untuk kepentingan diriku sendiri, jujur sampai sekarang keinginan itu tidak pernah terbersit di kepalaku. Saat ini pekerjaan dan karir adalah prioritasku. Namun, kalau itu menyangkut Ibu, sepertinya aku harus memikir ulang keputusanku itu.

Bagiku, menikah adalah menerima pasangan apa adanya, menghargai pilihan dan prinsip hidup masing-masing. Termasuk prinsip dan keinginan untuk tidak memiliki anak dan memilih berkarir. Namun, pengalaman masa lalu pernikahanku, membuat aku berpikir bahwa tidak akan ada laki-laki yang sudi menikahi perempuan dengan pilihan hidup, yang mungkin menurut mereka tidak masuk akal apalagi saat berhadapan dengan orang tua, yang jelas-jelas menginginkan cucu.

Hidup sendiri tanpa keberadaan suami dan kehadiran seorang anak bukanlah masalah besar untukku. Aku cukup bahagia dengan keadaanku sekarang. Itulah sebabnya untuk saat ini aku tidak menjadikan pernikahan sebagai tujuan utama hidupku. Menikah kembali itu adalah  pilihan. Aku berhak memilih mau manikah lagi atau tidak. Nilaiku sebagai perempuan seharusnya tidak akan berkurang hanya karena aku memutuskan tidak menikah atau tidak memiliki anak.

Aku tahu Ibu begitu ingin aku menikah lagi. Beliau juga berharap aku segera bertemu pasangan yang mau menerima dan menghargai pilihan hidupku. Keinginan Ibu yang selalu beliau sampaikan di setiap obrolan kami dalam telepon rutin yang selalu dia lakukan, mau tak mau membuat aku harus memikirkannya dan tentu saja membuat aku tak nyaman. Apalagi kalau habis ditanya seperti tadi, huah, butuh waktu berjam-jam untuk bisa mengembalikan moodku yang berantakan.

Dan akibatnya selalu berefek terhadap suasana hati dan semangat kerjaku. Seperti saat ini, hampir mendekati jam istirahat dan aku belum selesai memeriksa berkas usulan kredit beberapa nasabah. Padahal rencananya nanti selepas waktu istirahat  berkas-berkas itu akan dipersentasikan tim marketing di hadapan tim pemutus. Huh, sepertinya aku butuh kopi untuk kembali memanggil fokusku yang sedang berlarian entah kemana. Aku mengambil tumbler-ku dan berniat menyeduh kopi ke pantry. Namun, baru saja aku berdiri dari kursiku dan belum sempat beranjak meninggalkan ruanganku saat Ressy muncul.

“Ini,” ujarnya menyerahkan map yang tadi dibawanya untuk mewawancarai pihak restoran The Djawa. “Semua keteranga yang kamu inginkan sudah tertera di dalam map ini.”

Aku duduk kembali dan membuka berkas yang dibawa Ressy. Tercatat di sana bahwa pihak restoran The Djawa ingin membuka cabang  yang  berbeda dengan jenis restoran yang sedang dikelolanya sekarang. Menu makanan sehat akan menjadi prioritas restoran mereka yang baru. Alasannya, di masa pandemi seperti saat ini, masyarakat butuh menu-menu sehat. Sistem pelayanannya juga dilakukan secara online. Meskipun tetap membuka peluang bagi pelanggan yang ingin berkunjungan langsung. Selesai membaca sekilas, aku merapikan berkas-berkas itu lalu memasukkannya ke dalam map. “Aku akan memeriksanya  kembali secepatnya.”

“Kapan?” tanya Ressy.

“Segera. Setelah tim marketing selesai melakukan persentasi di hadapan tim pemutus untuk beberapa berkas nasabah yang barusan aku acc.” Aku berdiri berniat melanjutkan keinginanku yang tertunda untuk menyesap kopi. “Aku mau buat kopi. Kamu mau?” tanyaku mencoba menawarkan.

No, Thanks.” Ressy berdiri. Dia seperti ingin mengatakan sesuatu dan aku menunggu. Tapi entah apa yang membuatnya batal mengungkapkannya dan memilih keluar dari ruanganku dengan ekspresi datar dan kesal yang berusaha dia sembunyikan. Tak ingin berlarut-larut dalam kebingungan dan keinginan yang menggebu untuk menyesap munuman pahit dan pekat itu, aku memilih beranjak ke pantry.

Begitu sampai  di sana aku urung masuk saat mendengar obrolan Neta dan Tiara, staf marketing dari pantry yang pintunya terbuka sedikit. Jantungku berdebar kencang saat mendengar namaku disebut-sebut dalam obrolan mereka.

“Sok taat aturan sih, menurutku.” Kalau dari suaranya aku tahu itu Neta. Gadis yang tampak sinis sejak aku bergabung di kantor ini. “Tadi saja Ressy harus melakukan wawancara lagi ke restoran The Djawa. Jelas-jelas si Bayu itu nasabah lama. Bayar cicilannya saja lancar jaya. Enggak pernah macet meski sehari.” Diam sejenak. “Padahal Ressy itu satu-satunya temen Ayu di sini. Percuma saja punya temen hebat kalau masih saja suka ngeribetin.” Lanjut Neta.

“Aku sih, paling sebel kalau melihat muka sok datarnya saat berhadapan dengan orang-orang seperti kita. Padahal dengan sesama petinggi dia ramah banget.” Itu suara Tiara.

“Aku baru tahu kalau Ayu itu janda.”

“Aku sudah tahu sejak awal dia masuk kemari. Kabarnya sih dia dicerai mantan suaminya karena mandul.”

“Masa sih? kok beda dengan kabar yang kudengar.”

“Memangnya kamu dengarnya gimana?”

“Ayu lebih memilih berkarir daripada memiliki anak. Jadi, suaminya yang menginginkan ada anak dalam rumah tangga mereka memutuskan menceraikannya saja.”

“Huh, gila banget tuh anak. Lupa apa kalau kodrat perempuan ya memberi anak. Kenapa tidak jadi laki-laki saja kalau tidak mau punya anak.”

Aku memilih batal menuntaskan keinginanku menyesap kafein. Dengan langkah pelan aku berbalik. Mang Ujang, cleaning service yang sedang berada di belakangku menatapku dengan ekspresi serba salah. Sepertinya pria paruh baya itu juga mendengar obrolan kedua insan tukang judge di dalam. Lewat sorot mata aku memohon kepadanya untuk tidak mengatakan apa pun kepada Tiara dan Neta. Setelah melihat anggukan pelan dari sosok kurus itu, aku pergi meninggalkan pantry, Neta, dan Tiara yang masih saja sibuk mengata-ngatai aku.

Tuhan, ternyata seperti itu mereka menganggapku.

Tak ingin ada yang melihat ekspresiku yang tegang, aku memilih naik ke rooftop lewat tangga. Saat ini aku butuh tempat yang tenang dan hening untuk menenangkan kembali perasaanku yang kacau. Setengah perjalanan aku tertegun melihat Ressy yang sedang turun. Sejenak aku tertegun melihat matanya yang memerah. Ingin rasanya mengajaknya berbicara, namun ekspresi enggan yang terpancar jelas dari wajahnya dan suasana hatiku yang sedang berantakan, membuatku memilih tidak melakukannya. Aku minggir dan membiarkannya lewat begitu saja.

❤❤❤❤❤

Hai... Hai... Saya kembali dengan bab 3 hasil buah tangan mbak liilaRie

Besok giliran saya ya utk Bab 4

Kalau kalian suka cerita ini, ajakin temen-temennya baca ya. Setiap hari akan kami update hingga 30 November nanti.

Doakan semua lancar hingga tamat 😍

See you guys, soon 😘

Hany ❤

Jakarta,  24/10/20

Childfree (END) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang