Bab 21. Ayu: Bertemu Mami Bayu

317 22 0
                                    


“Mamaku bukan piranha kok, Yu,” bisik Bayu menenangkanku. Aku hanya bisa tersenyum menanggapi bisikannya, berharap  hal itu mampu membuat aku lebih tenang namun tetap saja rasa cemas tak mau enyah dari pikiranku membuat telapak tanganku yang berada dalam genggaman Bayu terasa lembap.

Jujur, meski pertemuan dalam rangka diperkenalkan dengan keluarga laki-laki yang menjalin hubungan serius denganku bukanlah yang pertama kali untukku, tapi tetap saja aku merasa canggung dan juga takut. Takut ditolak. Takut terluka lagi. Seharusnya aku memang tidak langsung menerima ajakan Bayu bertemu orang tuanya.

Tapi... ah, cinta memang suka begitu. Suka membuat kita nekat. Seperti aku saat ini yang nekat melanggar sumpahku tidak menjalin hubungan lagi dengan pria tampan, anak laki-laki satu-satunya, kaya, dan keturunan ningrat yang pasti mengharuskan adanya ahli waris yang akan menyandang nama keluarga dan tentu saja harta kekayaan mereka. Semoga aku tak termakan sumpahku sendiri, doaku dalam hati.

Sapaan hangat dan suara langkah tergesa berjalan ke tempatku dan Bayu duduk membuat aku menoleh. Aku hampir saja melompat dari dudukku ketika melihat sosok yang juga tiba-tiba menghentikan langkah tergesanya. “Kamu!” teriaknya sambil mengarahkan telunjuknya ke arahku.

Mama Bayu, sekarang dia menatapku dengan tatapan yang sulit dibaca, antara tidak percaya dan marah. Marah yang begitu sangat. Dibuktikan dengan wajah putih mulusnya kini sudah berubah warna menjadi sangat, sangat, sangat merah. Dan aku? Aku hanya bisa membelalak, terperangah dan kalau bisa secepatnya mengilang dari ruangan mewah dan luas yang tiba-tiba terasa begitu sempit dan menyesakkan. Aku memejamkan mataku berharap keberadaan sosok di depanku hanyalah ilusi.

Namun, ketika aku membuka mataku kembali, keberadaan sosok yang masih berdiri di depanku, menyadarkanku kalau yang kulihat saat ini bukanlah mimpi. Perempuan itu. Dia adalah salah satu teman dekat sekaligus teman arisan mantan mama mertuaku. Menyadari semua itu membuat tubuhku membeku dan wajahku terasa kaku. Tatapan tajam lengkap dengan sorot menghakimi membuat aku memaksa menelan ludahku yang tiba-tiba terasa begitu pahit.

“Apa ini wanita pilihanmu?” tanya Mama Bayu terdengar tidak suka sambil melihat ke arahku lalu menoleh ke ara Bayu.

“I-iya, Ma. Ada apa?” Bayu menatapku dan mamanya bergantian. Kelihatan sekali kalau dia belum menyadari apa yang sudah terjadi. 

“Dia adalah wanita mandul dan sampai kapan pun Mama tidak akan menyetujui hubungan kalian!” teriak Mama Bayu dengan nada penuh amarah.

Mandul? Kenapa Mama Bayu mengatakan aku mandul? Tuhan! Apalagi ini?

Sesuatu yang dingin tiba-tiba terasa mengguyur kepalaku mendengar kata-kata itu. Jadi, berita lain yang beredar bukan hanya tentang aku memilih childfree tetapi juga aku adalah seorang perempuan mandul. Bodoh! Bodoh! Bodoh! Teriakku dalam hati. Dunia memang hanya seluas daun kelor. Bandung-Jakarta itu tidak jauh. Dan kemungkinan bertemu orang-orang dari masa laluku besar sekali. Ah, seharusnya aku dulu dipindahkan saja ke Sumatera, Medan, misalnya. Jadi, kecil kemungkinan bertemu orang-orang yang pernah terlibat dengan keluarga Anton. 

Tidak ingin mendengar teriakan yang lebih menyakitkan lagi, aku memutuskan pergi. Pelan aku melepaskan tanganku dari genggaman Bayu kemudian berlari ke luar rumah. Meninggalkan Bayu dan maminya, yang aku tahu, sampai kapanpun tidak akan pernah sudi menerimaku sebagai menantunya. Perempuan mandul yang tidak akan bisa memberikannya cucu sampai kapanpun, meskipun pada kenyataannya kebenaran cerita itu adalah  nol besar.

“Ayu!” teriak Bayu mengejarku sementara aku semakin mempercepat langkahku melintasi halaman luas menuju pagar. “Yu....” Bayu menarik pergelangan tanganku sambil mengatur napasnya yang ngos-ngosan.

“Lepaskan Bay... Biarkan aku pulang,” ucapku sambil mencoba melepaskan cengkraman tangan besar Bayu di lenganku.

“Aku antar. Kamu tunggu di sini aku ambil mobil dulu.” Bayu berbalik tanpa menunggu jawabanku. Setengah berlari dia kembali masuk kebagian dalam rumahnya mungkin mengambil kunci mobil.

Aku melihat Bayu menghentikan langkahnya saat maminya menahannya di pintu. Meski tak mendengar secara jelas apa yang sedang mereka bicarakan, namun aku yakin terjadi perdebatan sengit antara Bayu dan mamanya. Gestur tubuh keduanya menunjukkan hal itu. Dan kesempatan itu kugunakan untuk secepatnya pergi.

***

“Hai...,” sapaku begitu pintu rumah Ressy terbuka. Setelah berputar-putar tak tentu arah menggunakan taksi, akhirnya aku memutuskan menemui Ressy.

“Hei... kemana aja sih kamu? Bayu nelepon aku sampai entah berapa kali nanyain kamu. Bentar, aku kasih tahu dia dulu kalau kamu ada di sini.”

“Jangan,” gumamku pelan sambil duduk di kursi di teras rumah Ressy. Tahu Bayu pasti menghubungiku, begitu memasuki taksi aku langsung mematikan ponselku. Dan Bayu, dia pasti menghubungi Ressy untuk mencari tahu keberadaanku.

Ressy mengawasiku. Keningnya berkerut. “Masuk, yuk. Kita ngobrol di kamarku,” ajaknya. Dengan langkah lemah aku mengikuti Ressy memasuki kamarnya.

“Ada apa? Bukankah seharusnya hari ini kamu ketemu keluarga  Bayu?” Ressy duduk di kursi meja riasnya menatapku bingung.

Aku mengangkat wajah menatap Ressy yang juga sedang menatapku. Ekspresi bingung tercetak jelas di wajah mulusnya Setelah terdiam dan mengembuskan napas pelan beberapa kali, aku menceritakan semua yang kualami tadi saat bertemu mama Bayu.

“Mama Bayu temen dekat sekaligus temen arisan mantan mertuaku, Res. Kami pernah bertemu sewaktu arisan di rumah dan pas menghadiri undangan ulang tahun pernikahannya.”Aku terdiam sejenak. Menarik napas lalu mengembuskannya perlahan. Berharap perbuatan itu bisa melegakan dadaku yang rasanya sesak banget. “Tante Ratna, aku benar-benar enggak menyangka kalau dia mamanya Bayu. Andai aku tahu... aku enggak akan menerima Bayu,” ucapku penuh sesal.

“Yu.” Ressy menggenggam tanganku.
“Bukan salahmu kalau kamu dan mama Bayu saling kenal.”

“Kalau kami enggak saling kenal mungkin semuanya enggak akan begini,” kataku sedih. “Res... hubunganku dengan Bayu harus berakhir. Mama Bayu, dia menginginkan cucu. Meski Bayu pernah bilang kalau kami memiliki pilihan hidup yang sama, tapi, dia pasti enggak bakalan bisa menolak kemauan mamanya.”

Sampai beberapa saat Ressy hanya mampu terdiam. Diraihnya tanganku lalu menggenggamnya erat. “Mutusin Pak Bayu hanya karena kamu dan maminya saling kenal, enggak adil banget buat dia. Toh, dia juga enggak tahu kalau kalian saling kenal. Kalaupun mama Bayu ngata-ngatain kamu kayak begitu tapi Pak Bayu kan tidak. Menurutku sih bukan Pak Bayu yang harus kamu hindari karena masalanya bukan sama dia.”

“Aku tahu Mama Bayu. Dia enggak jauh beda sama Mama Anton. Jangan-jangan Bayu juga sama kayak Anton. Di depanku dia ngakunya mendukung pilihan hidupku, nanti pas berhadapan dengan ibunya dia malah bertindak lain. Kayak Anton. Lagian, jelas-jelas istrinya dulu meninggal juga karena dipaksa hamil karena tuntutan keluarganya. Bodoh banget kan kalau sampai aku enggak pergi jauh-jauh dari Bayu. Tetapi aku memang bodoh. Bodoh karena mengabaikan kenyataan Bayu anak laki-laki satu-satunya dalam keluarga besarnya. Bahkan nama belakang Djadiningrat seharusnya suda cukup menjelaskan siapa Bayu sebenarnya.” Memikirkan kebodohanku sekuat tenaga aku berusaha menahan tangis. 

Ressy menghampiriku lalu memelukku lama. “Jangan ditahan. Kalau mau nangis nangis saja. Biar lega.”

Kata-kata penuh pengertian itu membuat tangis yang kutahan sejak tadi akhirnya lepas. Setelah puas menangis aku melepaskan pelukannya dan menatap tepat di manik mata sahabatku. “Enggak apa-apa kan malam ini aku tidur di sini? Malam ini aku belum mau ketemu Bayu.” Semakin mengenal Bayu aku semakin tahu betapa keras kepalanya dia. Dia pasti enggak akan tinggal diam sebelum mendengar penjelasan dariku.

“Enggak apa-apa. Tidak hanya tidur, tinggal sampai lama pun kamu boleh. Lagian Mama sama Papa juga baru balik Minggu depan dari Pekan Baru. Tapi, sebelumnya aku mau tanya sama kamu dan harus kamu jawab dengan jujur,” ujar Ressy tiba-tiba.
Aku menoleh ke arah gadis yang sedang membolak-balik ponsel di tangannya. “Kamu mau nanya apa?”
Ressy berdeham sekali sebelum bertanya. “Kamu cinta sama Pak Bayu?”

Bayangan Bayu muncul begitu saja di mataku saat Ressy bertanya tentang perasaanku terhadap pria itu. Senyumnya. Tatapannya. Sikap pantang menyerahnya. Caranya menikmati pempek yang pernah kubuatkan untuknya. Pelukannya yang hangat. Terutama, dia mengerti tentang prinsip yang kupegang. Secara keseluruhan tidak ada satu hal pun yang membuat aku tidak mencintai Bayu. Tidak statusnya sebagai anak laki-laki satu-satunya dalam keluarganya. Tidak juga garis keturunannya. Kecuali satu, mamanya.

“Kalau enggak cinta mana mungkin aku mau diajak ketemu keluarganya,” jawabku, pelan.

“Ya udah. Aku cuma mau tahu itu doang,” ucap Ressy pendek sambil mengetikkan sesuatu di ponselnya. “Aku mau ke kamar mandi dulu. Kebelet, nih.” Dia bangkit dari duduknya lalu melangkah cepat menuju kamar mandi di sebelah kanan ranjang miliknya.

Sambil menunggu Ressy aku membaringkan tubuh lelahku di tempat tidur berseprai gambar bunga mawar putih. Namun, aku harus bangkit lagi saat mendengar suara bel berbunyi dari pintu depan rumah Ressy. Menunggu Ressy membuka pintu sama saja membuat tamu yang sekarang sudah memencet bel untuk kedua kalinya itu menunggu lama.  Setelah merapikan penampilan sekadarnya, aku keluar kamar Ressy untuk membuka pintu.

“Bayu!” seruku terkejut melihat sosok berpenampilan kacau sekarang berdiri tepat di hadapanku.

❤❤❤❤❤

Hany, 

Jakarta, 30/11/20





Childfree (END) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang