Bab 7. Ayu: Pertemuan

408 36 1
                                    


Di sinilah aku sekarang. Di sebuah foodcourt di Mall Setaman. Tempat yang aku dan Bayu sepakati untuk bertemu. Sebuah permintaan yang akhirnya kusetujui hanya karena didorong rasa penasaran yang begitu kuat. Jujur saja aku ingin sekali bertemu langsung dengan sosok pemilik restoran The Djawa. Calon nasabah yang membuat Ressy mendiamkanku hanya karena aku menunda menandatangani berkas ajuannya. Restoran dengan sajian makanan tradisional khas Jawa khususnya Indonesia umumnya, yang pelanggannya berasal dari kalangan atas dan artis.

Itu sih berdasarkan info yang kudapat dari youtuber yang mereview restoran tersebut. Aku sama sekali belum pernah makan di sana. Suatu saat mungkin aku akan mencoba dan membuktikan, benarkah rasa makanannya sehebat yang digambarkan atau hanya promosi perlebihan semata. Terutama aku ingin menyicipi pempeknya. Aku akan memberikan bintang lima plus ke empat jempolku kalau nanti cita rasa makanan kesukaanku itu terasa luar biasa. Kalau tidak, ups, Sorry mungkin aku tidak akan datang lagi ke sana.

Berdasarkan telepon yang baru kuterima, teman janjianku itu mengabarkan kalau dia datang terlambat. Alasannya sih ada urusan mendadak yang harus tidak bisa dia tinggalkan. Dasar seenaknya saja. Memangnya aku enggak punya urusan. Jelas-jelas pertemuan kali ini atas permintaannya, bisa-bisanya dia membuat aku menunggu. Aku sempat menolak namun permohonan maaf sekaligus permintaan agar aku sudi menunggu, yang diucapkan berkali-kali dan rasa penasaran membuat aku memutuskaan mengalah. Aku memberinya waktu lima belas menit. Dan kalau dia tidak muncul di waktu yang sudah kuberikan, maka aku akan pergi.

“Ibu Ayu?”

What’s. Ibu Ayu. Siapa pula malam-malam begini yang menyapaku dengan sebutan begitu? Enggak mungkin nasabah juga kan. Aku jarang berurusan dengan mereka karena yang bersinggungan langsung adalah anak-anak marketing  Tak sabar aku mendongak dari ponsel di tanganku. Dan menemukan seorang pria berkemeja biru berdiri di depanku dan sedang menatapku.
Aku balas mengamati laki-laki itu dengan seksama. Garis wajahnya tegas, hidungnya mancung, dan rambut hitam berantakan, seolah-olah disisir menggunakan jemarinya dengan tergesa pula, membuat laki-laki yang juga sedang menatapku ini tampak begitu menarik. Oh, tidak. Kata menarik saja tak cukup. Sempurna. Yup, sempurna adalah kata yang pas untuk menggambarkan makhluk bertubuh jangkung, berdada bidang dengan bibir penuh yang tampak begitu... seksi. Kalau melihat dari sepasang lengannya  kokoh dapat kupastikan pria gagah ini suka ngegym. Beruntung sekali aku mau bersabar sebentar menunggu kedatangan pemilik restoran The Djawa ini.

“Saya, Bayu. Dari restoran The Djawa,” ucapnya, menyadarkan aku dari keterpukauanku. Terlalu asik menikmati ciptaaan Tuhan paling indah di depanku ini membuat aku tak sadar untuk menerima uluran tangannya. Cepat-cepat aku menjabat tangannya lalu menyuruhnya duduk.

“Maaf, sudah membuat Ibu menunggu. Tadi restoran ramai sekali membuat saya tidak bisa meninggalkannya begitu saja,” ujar Bayu memulai pembicaraan setelah menyebutkan menu pesanannya kepada pelayan yang menatapnya penuh minat.

“Tidak apa-apa. Masih ada lima menit lagi sebelum waktu Anda habis,” jawabku setelah berdeham beberapa kali, memastikan suara yang keluar dari mulutku saat berbicara nanti terdengar normal. Malu-maluin banget kan kalau sampai suaraku bergetar. Bisa-bisa sosok penuh percaya diri di depanku ini jadi tahu aku sedang mengagumi penampilannya.

“Bayu. Panggil saja Bayu. Sebutan Anda terlalu formal menurutku.”

“Oke. Sebutan Ibu Ayu juga membuat saya merasa sangat tua.”

Bayu tertawa mendengar ucapanku. Kata-kata penuh basa-basi yang kami ucapkan sejenak terhenti saat pelayan datang. Setelah menyedot lemon tea dinginku yang tinggal separuh, aku menatap Bayu, lalu “Kamu memaksa bertemu dengan saya pasti berhubungan dengan ajuan pinjaman itu kan?” tanyaku to the point.

Bayu menatapku. Senyum ramah tercetak jelas di wajahnya. “Saya ingin tahu alasan pihak Bank ICA masih menunda ajuan pinjaman saya itu. Semua syarat yang diminta sudah saya penuhi. Bahkan wawancara untuk informasi tambahan juga sudah saya lakukan. Namun, kenapa sampai sekarang masih belum terealisasi juga.”

Aku menatap Bayu sejenak sebelum akhirnya menjawab. “Hasil bea ceeking Bapak memang oke. Tapi, membuka restoran baru di jaman covid begini sepertinya butuh pertimbangan yang akurat. Disaat banyak restoran tutup, kenapa The Djawa malah nekad membuka cabang baru? Dan kami membutuhkan penjelasan yang meyakinkan. Tentu pihak bank tidak ingin menanggung risiko. Sudah terlalu banyak nasabah yang menunggak cicilannya,” jelasku panjang lebar. Sejenak aku tertegun melihat rahang Bayu yang berkedut-kedut. Seperti sedang menahan amarah. Tapi, marah sama siapa? Sama aku? Lantas apa pula alasannya dia marah. Aku kan menjelaskan apa yang dia tanya. Ah, terserah deh.

“Benar. Restoran memang banyak yang tutup saat covid menyerang. Namun, kesadaran masyarakat mengkonsumsi makanan sehat demi menunjang imunitas tubuh, adalah peluang bisnis yang sangat besar.  Demi terwujudnya keinginan menyediakan makanan bergizi, saya sudah menggandeng seorang ahli gizi untuk bekerja sama dalam pengembangan bisnis baru saya ini.”

“Saya juga berencana mengubah strategi penjualan dengan sistem delivery. Rencananya nanti karyawan saya yang biasa melayani di restoran akan saya alih fungsikan untuk menjadi kurir selama masa PSBB. Saya juga akan mengadakan promo potongan harga seperti beli 5 gratis 1, dan sebagainya. Saya juga sudah ada rencana membuat program member reward untuk pelanggan tetap supaya mereka tetap mau datang makan di tempat jika aturan pelarangan dine in dicabut.”

Sambil mendengarkan, aku memperhatikan Bayu. Suaranya. Cara berbicaranya. Senyumnya. Gerakan tangannya. Pancaran matanya. Semua terlihat begitu luar biasa dan menakjubkan. Gila. Belum sampai satu jam entah sudah berapa kali pujian yang kuberikan.

“Nah, setelah mendengar penjelasan saya secara langsung, saya berharap kamu bisa secepatnya merealisasikan ajuan pinjaman saya.” Bayu menatapku dengan senyum yang mengembang.

Sebelum menjawab aku menyedot habis sisa minumanku. “Saya tidak bisa berjanji lebih. Semua keputusan harus tetap dipertimbangkan oleh tim pemutus yang berwenang. Keterangan yang kamu berikan malam ini akan disampaikan oleh tim saya saat rapat nanti. Pihak bank ICA tidak akan mempersulit nasabah seperti Bapak.”

“Tapi saya perlu dana itu secepatnya.”

“Saya tahu. Tapi semua harus melewati prosedur yang telah ditetapkan.”

Bayu memajukan tubunya sambil menatapku tajam. “Saya akan memberikan tawaran yang luar biasa kalau Ibu bisa merealisasikan ajuan pinjaman saya segera.”

What’s! Tawaran? Bayu menawarkan sebuah imbalan yang luar biasa kepadaku! Gila nih orang. Berani sekali dia. Nyesel banget tadi aku muji-muji. Untuk apa penampilan sempurna kalau kepribadiannya minus.

“Maaf  tuan Bayu yang terhormat. Anda salah orang. Saya menolak tawaran luar biasa yang Anda janjikan. Apapun itu bentuknya,” ucapku tegas. Cepat-cepat aku berdiri lalu menyambar tas dan ponselku di meja. Ingin sekali aku menyiramkan minumanku ke kepalanya, supaya dia sadar saat ini dia sedang berhadapan dengan orang yang tidak tepat. Tapi sayangnya hanya tersisa es batu kecil-kecil di gelas.

Setelah menatap sekali lagi, aku pergi meninggalkan Bayu lengkap dengan sorot ingin mencekik dari mata tajamnya. Peduli amat. Kalau ada yang harus menyesal atas pertemuan enggak penting ini, akulah orangnya.

❤❤❤❤❤

Bab 7 launching juga. Thanks to liilaRie yang menulis part ini.

Bab 8 nanti giliran saya ya. Hari ini atau besok saya post. Ada beberapa bagian yg harus direvisi dl 😁

Apa sih pendapat Bayu saat pertama kali lihat Ayu?

Hmmmm...

Benci? Cinta? Atau benci tapi cinta?  #eaaaaa....

Tungguin yah 😊

Hany ❤

Jakarta, 29/10/20












Childfree (END) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang