Aku memutar-mutar cangkir berisi kopi instan yang barusan kuseduh sambil menatap hujan yang masih menyisakan rintik dari jendela lebar di ruangan devisi marketing. Jam sembilan malam dan aku masih berada di sini, di Bank ICA menunggu Ressy yang masih sibuk berkutat di depan komputer dengan dokumen yang masih berserakan di mejanya. Menjelang akhir bulan load pekerjaan di kantor memang sedang gila-gilaan. Semua menuntut untuk segera diselesaikan secepatnya. Sama sepertiku, staf yang lain juga baru selesai dengan pekerjaan mereka dan memutuskan cepat-cepat pulang sementara aku memilih menunggu Ressy.Suara denting halus tanda pesan masuk terdengar dari saku blazer-ku. Pesan dari Rindi yang mengatakan bahwa kondisi Ibu semakin membaik. Setelah membalas dan memberikan beberapa pesan aku memasukkan ponselku ke saku. Aku menarik napas lalu mengembuskannya secara perlahan. Keterangan dokter tentang kondisi Ibu membuat aku benar-benar khawatir. “Gejalanya masih cukup ringan. Tetapi memastikan Ibu tidak jatuh lagi perlu sekali untuk mengantisipasi serangan lanjutan,” pesan dokter sambil memberikan catatan resep untuk segera ditebus.
Aku tahu persis bagaimana ketatnya Ibu menjaga pola makannya. Jadi, Penjelasan dokter tentang kemungkinan serangan darah tinggi yang dialami Ibu karena faktor stres benar adanya.
“Ada yang Ibu sembunyikan dari Ayu?” tanyaku hati-hati saat kami pulang dari rumah sakit, khawatir Ibu tersinggung, terus stres dan membuat penyakitnya kambuh lagi.
“Enggak. Ibu enggak menyembunyikan apa-apa dari kamu,” jawab Ibu cepat.
“Dokter Adi bilang kondisi Ibu hari ini bisa saja disebabkan stres.”
“Ah, dokter Adi pasti salah. Sekarang semua jenis penyakit memang sering dibilang gara-gara stres. Banyak pikiran. Tetapi Ibu merasa enggak banyak pikiran apalagi sampai membuat Ibu stres.” Aku tidak mengatakan apa-apa lagi sampai mobil yang kubawa berhenti di depan rumah. Namun, permintaan Ibu sebelum aku meninggalkan beliau saat aku pamit pulang membuat aku membenarkan dugaan dokter Adi Subrata.
“Yu!” Teriakan Ressy di telingaku membuat aku terperanjat. Hampi saja aku melemparkan cangkirku karena terkejut.
“Apa-apaan sih? Kaget tahu!”
“Salahmu sendiri. Dipanggil dari tadi enggak menjawab, ya kuteriakin lah,” jawab Ressy santai.”
Aku memajukan mulutku mendengar penjelasan Ressy sambil mengikuti langkahnya keluar dari ruangan yang sudah semakin sepi karena hanya tersisa beberapa orang lagi yang masih berkutat di depan laptop dan berkas-berkas di meja. Mobil Ressy melaju meninggalkan parkiran Bank ICA. Tadi pagi Ressy menawarkan diri menjemputku untuk berangkat sama-sama ke kantor. Aku yang memang masih merasa lelah karena baru sampai dari Bandung langsung menyetujui tawaran itu.
“Kamu enggak buru-buru banget sampai rumah kan?” Ressy bertanya.
“Enggak. Kenapa memangnya?”
Ressy menunjuk sebuah kafe yang terletak di pinggir jalan tidak jauh dari posisi mobil kami. “Kita mampir ke sana dulu ya. Selain kopi, kafe itu menyediakan menu lain. Nasi gorengnya juga lumayan enak. Ardi pernah ngajak aku mampir ke sana.”
Aku yang juga lapar langsung menyetujui ajakan Ressy.
***
Ressy mendorong piring nasi gorengnya yang sudah kosong ke tengah meja. Cara makannya yang super kilat menunjukkan kalau dia memang sedang laper banget. Setelah menandaskan jus jeruk miliknya Ressy menatapku tajam.
“Berhubung perutku sudah nyaman karena sudah kenyang, sekarang aku menuntut kamu bercerita sekomplit-komplitnya perihal penyebab wajah tegangmu itu.”
Aku melotot mendengar kata-kata Ressy.
“Enggak usah melotot. Perlu kuambilkan cermin supaya kamu lihat sendiri wajah seriusmu itu, hah! Aku sih santai saja. Tiara sama Neta yang tuh yang sensi banget lihat wajahmu.”
Aku mendengus mendengar nama Tiara dan Neta disebut. Mereka mah memang begitu. Suka sekali menduga-duga keadaan orang lain. Padahal sejak tadi pagi aku tidak pernah bersinggungan dengan mereka.
“Vonis dokter tentang penyakit Tante parah banget, ya?” tanya Ressy dengan nada cemas yang begitu kentara.
Aku menghela napas lalu mengembuskannya perlahan. “Ibu bilang dia ingin sekali melihatku menikah lagi.”
“Bukannya itu permintaan Tante sejak dulu sama kamu?”
“Peringatan dokter Adi Subrata tentang stres yang menyebabkan serangan darah tinggi yang dialami Ibu, jangan-jangan karena terlalu memikirkan aku yang tak kunjung menikah lagi.” Aku menatap Ressy. “Selama ini, kupikir dengan mengiyakan permintaannya, sudah cukup. Tapi, nyatanya tidak. Ibu stres pasti gara-gara aku, Res,” ucapku frustrasi.
“Ya, udah kalau takut Tante kenapa-kenapa kamu nikah lagi, dong,” usul Ressy enteng dan kontan membuat aku ingin sekali menyumpal mulut tanpa bandrolnya itu.
“Enggak semudah itu lah. Memangnya nikah itu kayak cari casing ponsel. Lagian aku juga belum berniat menikah lagi. Aku sudah cukup bahagia dengan kehidupanku sekarang.”
“Kamu berani bilang gitu sama Tante?”
“Mana aku berani. Darah tinggi Ibu bisa langsung kambuh kalau sampai aku ngomong begitu. Jelas-jelas dokter Adi sudah memperingatkan jangan sampai serangan kedua terjadi bisa fatal akibatnya.”
Ressy terdiam beberapa saat sebelum akhirnya berucap. “Demi Tante, mencoba memulai hubungan dengan seorang pria, menurutku enggak ada salahnya.”
Ressy benar. Demi kesehatan Ibu apa salahnya memulai hubungan dengan seorang laki-laki. Pertanyaannya, siapa? Lingkaran pertemananku enggak luas-luas amat.
“Kalau kamu mau, aku bisa carikan. Ada beberapa nasabah singel, ganteng, dan mapan yang cocok banget dijadikan kandidat calon suami potensial. Kamu mau?” Ressy sebagai staf marketing pasti tahu betul tentang calon-calon nasabah singel yang disebutkannya tadi.
Dan entah kenapa ucapan Ressy tiba-tiba mengingatkan aku kepada Bayu, salah satu nasabah ganteng, mapan, dan masih singel.
“Bayu. Kayaknya dia pas banget deh untukmu.” Minuman yang belum sempat kutelan menyembur begitu saja dari mulutku. Ucapan Ressy sukses membuat aku terkejut. Jangan-jangan dia bisa membaca pikiranku. Bisa gawat kalau sampai itu terjadi.
“Kamu kenapa kaget begitu. Jangan-jangan... kamu naksir ya. Hayo, ngaku.”
“Apa-apaan, sih,” elakku. “Pulang, yuk. Sudah malam.” Aku berdiri dari dudukku namun ucapan Ressy menghentikanku.
“Eh, Itu Pak Bayu kan?” Pertanyaan Ressy membuat aku menoleh ke arah pandangannya. Dan benar saja, sosok jangkung yang namanya dari tadi disebut-sebut Ressy memang benar-benar berada di sini, di kafe tempat aku dan Ressy berada.
“Sepertinya kalian memang jodoh, deh, Yu. Barusan disebutin namanya eh, orangnya langsung muncul. Kamu tunggu di sini.”
“Eh, kamu mau kemana?”
“Mau nyamperin Pak Bayu.”
“Untuk apa?” tanyaku mulai was-was. Khawatir Ressy punya niat lain selain menyapa bos restoran The Djawa itu. Dasar Ressy, bukannya menjawab pertanyaannku, dengan langkah cepat dia berjalan ke meja tempat Bayu dan temannya berada.
“Hai, Bu Ayu,” sapa seseorang menghentikan kegiatanku menggeser-geser layar ponselku. Aku menoleh dan seseorang yang namanya tadi sempat muncul begitu saja di kepalaku, kini sedang berdiri di sampingku. Dan sukses membuat aku salah tingkah.
❤❤❤❤❤
Duh duh duh ga sengaja kok pas bener 😂😂😂
Hany
Jakarta, 12/11/20
KAMU SEDANG MEMBACA
Childfree (END)
Roman d'amourAyu memutuskan untuk tidak memiliki anak dalam hidupnya (childfree). Dia ingin bebas melakukan apa pun yang dia sukai. Kegagalan pada pernikahannya dengan Anton meninggalkan trauma yang cukup mendalam, sehingga ketika Bayu hadir di dalam kehidupann...