Bab 24. Bayu: Mendapatkan Restu Papa

1.1K 30 0
                                    


“Pak Bayu, Mbak Ayu datang lagi ke rumah membesuk Bu Ratna.” Aku membaca pesan di ponselku. Sebuah senyuman terukir di bibirku. Kekasihku itu memang luar biasa.

“Ya sudah lakukan sesuai perintah saya, yah.” Aku membalas pesan itu kemudian mematikan layar ponselku.

Rencanaku terlihat berjalan dengan lancar. Baik Mama maupun Ayu tampaknya belum menyadari rencanaku.  Mengetahui karakter Ayu yang keras kepala, aku yakin kalau Ayu akan secara diam-diam membesuk Mama.  Oleh sebab itu, aku mengatur strategi supaya Mama bisa luluh hatinya dan menyukai Ayu. Kupikir Mama pasti akan menyadari Ayu wanita yang baik jika dia sering bergantung pada Ayu.

Jadi aku meminta Mala untuk sering pergi meninggalkan mereka berdua jika Ayu datang. Aku ingin membuat Mama mau tidak mau harus meminta tolong pada Ayu untuk memenuhi kebutuhannya, contohnya mengambilkan obat, mengantarkan ke toilet dan entah apa lagi.

Awalnya Mala enggan memenuhi permintaanku tapi aku berusaha membujuknya dan menawarkan kenaikan upah. Dengan berat hati Mala memenuhi permintaanku yang hampir membuatnya dipecat. Mama betul-betul murka saat hari pertama Ayu datang dan Mala menghilang. Mama terpaksa meminta tolong Ayu untuk mengantarkannya ke toilet. Untung saja kekasihku itu memang baik hatinya. Ayu membela Mala dan mengatakan akan membantu Mala merawat Mama saat Mala butuh beristirahat.

Aku juga tidak berpangku tangan dalam meluluhkan hati Mama. Aku menemui Mama di hari pertama Ayu datang. Aku mengantarkan Ayu pulang ke apartemennya lalu kembali lagi.

“Ma,” panggilku pelan saat melihat Mama sedang menonton TV sambil bersandar di kepala kasur.

“Eh, kamu balik lagi, Bay?” tanya Mama bingung.

“Iya, Bayu masih kangen sama Mama,” ucapku sambil mengambil tempat duduk di sebelah Mama.

“Halah, gombal kamu. Ada-ada saja. Jangan bilang kamu ingin membujuk Mama untuk menerima Ayu,” tembak Mama.

Aku meringis saat mendengar kata-kata Mama. Sungguh insting seorang ibu memang begitu kuat. “Mama tahu saja.”

“Tidak ada gunanya membujuk Mama. Sekali Mama bilang tidak ya tidak,” ucap Mama ketus dan tidak mau melihatku. Mama terlihat fokus melihat ke arah TV yang sedang memutar film perselingkuhan.

“Tapi Ma, Bayu sangat mencintai Ayu. Saat Siska meninggal hati Bayu begitu hancur.” Aku mengambil jeda sejenak untuk melihat reaksi Mama. Ekspresi wajahnya tidak berubah tapi juga tidak menghentikan ucapanku. “Mama tahu sendiri kalau Bayu susah untuk jatuh cinta pada seorang wanita. Hanya Ayu, Ma, yang bisa membuat hati Bayu bergetar kembali setelah kepergian Siska untuk selamanya,” ucapku sendu.

“Tapi Bay, kenapa harus dia orangnya? Dia mandul, Bay,” teriak Mama marah.

“Dari mana Mama mendengar informasi salah itu? Ayu tidak mandul, Ma.  Dia hanya tidak ingin memiliki anak di dalam hidupnya,” jelasku pada Mama berharap dia mau mengerti pilihan hidup Ayu.

“Tapi, Bay sudah kodrat wanita untuk menghasilkan keturunan bagi suaminya,” kekeh Mama.

“Ma, sejujurnya Bayu mendukung pilihan hidup Ayu-”

“Kamu sudah gila, Bay! Atau jangan-jangan dia sudah meracuni pikiranmu?” ucap Mama memotong ucapanku.   

“Ma, dengarkan Bayu dulu. Bayu mohon,” ucapku dengan suara memelas. Melihat Mama yang tidak berespon, aku melanjutkan ucapanku. “Mama tahu kenapa Siska meninggal? Itu salah Bayu, Ma.”

Mama terlihat bingung mendengarkan ucapanku. “Apa maksudmu? Siska meninggal di meja operasi, Bay. Bagaimana bisa kamu yang salah?”

Teringat kembali masa lalauku dengan Siska membuatku bersedih kembali. “Bayu yang memaksanya untuk memiliki anak, Ma. Sebetulnya Siska belum ingin memiliki anak saat itu, tapi atas desakan Bayu dia menurut. Saat itu kalau Mama ingat, Mama dan Papa meminta Bayu untuk segera memiliki anak-“

“Jadi maksudmu Siska meninggal karena Mama?” tanya Mama tidak terima.

“Bukan, Ma. Semuanya salah Bayu. Kalau Bayu tidak memutuskan untuk menuruti permintaan Papa dan Mama tentu tidak akan berakhir setragis itu. Seandainya saja Bayu mengikuti permintaan Siska untuk menunda memiliki anak lebih lama. Semuanya salah Bayu, Ma. Siska meninggal karena Bayu!” ucapku sambil menjambak rambutku keras hingga sakitnya mengalahkan sakit di hatiku. Luka yang dulu berdarah kini kembali menimbulkan rasa sakit.

“Itu bukan salah kamu, Nak. Siska meninggal karena memang sudah jalan hidupnya demikian,” ucap Mama lembut sambil memeluk bahuku yang sedang menundukkan kepala. Aku tidak kuasa menahan laju air mata yang menuruni pipiku dengan deras. Rasanya kejadian itu seperti baru terjadi kemarin. Aku masih mengingatnya dengan jelas.

“Tapi Bayu yang memintanya untuk hamil. Seandainya dia tidak hamil pasti dia masih hidup, Ma,” teriakku pilu.

“Bukan, Bay. Itu bukan salah kamu. Kita tidak bisa melawan takdir,” ucap Mama yang kelihatannya ikut menangis bersamaku.

Aku hanya diam saja karena sesak yang memenuhi dadaku. Kami berdua menangis bersama dalam hening.

Setelah beberapa lama akhirnya aku mengangkat kepalaku dan menarik kedua tangan Mama. “Tolong, Ma. Aku tidak ingin kehilangan orang yang aku cintai lagi. Tolong restui hubunganku dan Ayu. Ijinkan kami menikah tanpa seorang anak yang hadir di dalam pernikahan kami,” ucapku lirih.

“Tapi. Bay, kamu tahu kan kalau Papa mengharapkan keturunan dari kamu?”

Aku menganggukkan kepala. “Aku tahu, Ma. Tapi aku betul-betul tidak sanggup melihat wanita yang kucintai kembali meregang nyawa hanya karena dia harus hamil dan melahirkan anak kami. Aku tidak sanggup, Ma.” Kehilangan wanita yang kucintai sungguh membuat hatiku hancur berkeping-keping. Sekarang hadirnya Ayu dalam kehidupanku membuat hatiku kembali terekat dengan sisa jejak-jejak luka. Rasanya aku tidak yakin hatiku akan bisa pulih jika kembali hanur saat aku harus kehilangan Ayu. Membayangkan dia hamil dan melahirkan membuatku bergidik ngeri.

Kulihat Mama diam termangu setelah mendengarkan penjelasanku.

“Tolong pertimbangkan permohonanku ini, Ma. Bayu pulang dulu. Bayu sayang Mama,” ucapku sambil mengecup lembut wanita kesayanganku itu. Aku sungguh sangat berharap Mama bisa mengabulkan permintaanku setelah mendengarkan curahan hatiku yang terdalam.

Setelah hari itu, aku mendengar dari Mala kalau sikap Mama mulai melunak kepada Ayu. Ucapan Mama masih sering ketus tapi sudah tidak terlihat aura kebencian di matanya. Semoga saja Mama betul-betul bisa menerima Ayu.

Hari ini tepat seminggu Ayu membesuk Mama. Aku yang kebetulan tiba di rumah berbarengan dengan Papa berjalan sambil mengobrol ke kamar Mama. Kulihat Ayu sedang mengobrol dengan Mama. Seperti biasa Papa diam saja saat melihat Ayu berada di kamar Mama. Rasanya Papa belum bisa menerima kehadiran Ayu di dalam hidupku, terutama karena Ayu tidak bisa memberikanku anak.

“Udah lepas bebat nih kayaknya,” ucapku melihat kaki Mama yang sudah tidak dibebat lagi dengan kain coklat. Kulihat Mama juga sudah bisa berjalan sedikit-sedikit walaupun terlihat agak pincang.

“Tadi bersama Santi ke prakteknya dokter Arif,” ucap Mama dengan muka berbinar-binar bahagia.

“Wah, perlu dibuat syukuran nih,” ujar Papa sambil memeluk Mama.

“Sabtu malam saja. Kakiku pasti sudah semakin membaik tiga hari ke depan,” sahut Mama setelah mereka selesai berpelukan secara singkat.
Setelah itu aku, Mama dan Papa mulai merencanakan bentuk acara yang akan diadakan dalam rangka syukuran atas semakin membaiknya Mama. Tanpa sengaja aku melihat Ayu mengambil tas seperti hendak pergi.

Aku segera mencegah kepergiannya dan memintanya untuk menungguku. “Sebentar, Yu.” Aku bangkit dari dudukku dan pamit kepada Mama untuk mengantar Ayu. “Bayu antar Ayu dulu ya, Ma.”

Ayu terlihat berpamitan kepada Mama dan Papa saat aku sedang menunggunya di pintu. Secara mengejutkan Mama berkata, “Yu! Jangan lupa Sabtu malam, makan malam di sini. Saya enggak ngundang siapa-siapa. Covid. Dilarang kumpul-kumpul. Selain itu, saya juga ingin mengulangi acara makan malam kita yang gagal kemarin.”

Ayu terlihat mematung mendengar ucapan Mama. Akhirnya restu dari Mama sudah kami dapatkan. Sekarang tugas terakhir kami adalah memperoleh restu dari Papa.

**

“Mas, aku sudah rapi belum?” tanya Ayu untuk kesekian kalinya sejak aku menjemputnya di apartemen tadi.

“Sudah, Sayang. Duh, kenapa sih nanyanya sampai berulang-ulang? Kayak mau ketemu presiden saja. Ini hanya makan malam keluarga saja, Yu,” godaku.

Ayu terlihat merengut. “Mas, ih, aku kan tegang. Jangan sampai restuku dicabut kalau bajuku berantakan,” jawabnya sambil merapikan gaun batik selutut yang dikenakannya.

“Kamu sudah cantik, Sayang,” ucapku sambil mengelus puncak kepalanya lembut. “Sudah siap?”

Ayu dengan gugup menganggukkan kepalanya sambil melihat pintu rumah Mama yang tertutup.

“Yuk,” ucapku sambil menggandeng tangannya untuk menyalurkan kekuatan melalui tautan tangan kami dan meredakan kegugupan Ayu.

“Eh, Bayu sama Ayu sudah datang,” ucap Mbak Santi yang membukakan kami pintu. “Masuk, yuk. Sudah ditungguin dari tadi lho.”

“Tante Ayuuuuu...,” teriak Dhani, Dimas dan Desta secara bersamaan sambil berlari merentangkan tangan minta digendong.

Ayu tertawa-tawa mendapatkan serbuan dari makhluk-makhluk kecil yang menggemaskan itu. Tiba-tiba terdengar tangisan, yang ternyata berasal dari Desta. Seperti biasa Desta, Si Bungsu, tertinggal di belakang karena badannya yang paling kecil.

“Sini sama Om Bayu saja, ya,” ucapku membujuknya sambil mengangkatnya dalam gendonganku.

Desta menangis semakin kencang. “Ma-mau Tan-tante A-Ayu,” ucapnya terbata-bata di sela tangisnya.

“Dhani, Dimas, ayo gantian dulu sama Desta. Tante Ayu enggak kemana-mana kok. Nanti saja main lagi sama tantenya, ya. Sekarang giliran Desta.” Mendengar titah dari ibunya, Dhani dan Dimas terpaksa mundur dengan wajah merengut tidak rela.

“Yuk, kita masuk ke dalam saja, ya,” ucap Ayu yang sedang menggendong Desta dan mengajak Dhani dan Dimas masuk ke dalam rumah.

Aku hanya bisa menggelengkan kepala sambil tersenyum maklum melihat kedekatan Ayu dengan ketiga anak Kak Santi.

“Kekasihku memang luar biasa pesonanya. Anak-anak saja takluk,” bisikku di telinganya setelah Ayu menyerahkan Desta ke pelukan ibunya.

“Ih, apaan sih, Mas,” ucapnya tersipu sambil mencubit pinggangku.

Aku pua-pura mengaduh untuk membuat Ayu senang dan merangkul bahunya untuk mengajak Ayu berjalan ke ruang makan.

Aku senang makan malam dapat berjalan dengan baik walaupun kulihat Papa masih menutup rapat mulutnya saat yang lain mengobrol dengan Ayu. Aku sangat berharap Papa bisa menerima Ayu seperti Mama yang kulihat sudah mau beramah tamah dengan Ayu. Sesekali juga kulihat Mama mengambilkan Ayu lauk yang membuat Ayu terlihat sungkan.

Aku mengembuskan napas pelan sambil berdoa di dalam hatiku. Buatlah Papa menyukai Ayu, ya Tuhan. Kabulkanlah doaku. Amin.

“Bay, setelah makan temui Papa di ruang kerja Papa,” ucap Papa tiba-tiba yang membuat semua yang sedang makan langsung terdiam. Tak terkecuali Ayu yang langung terlihat tegang dan sedikit pucat. Aku meremas tangan kirinya di bawah meja untuk menenangkannya walaupun sejujurnya aku juga tegang sama sepertinya. Namun, aku tahu kalau aku akan baik-baik saja karena dari sejak kecil Papa bahkan tidak pernah memukulku.

“Iya, Pa,” jawabku pelan.

Setelah makan, aku meminta Ayu duduk di ruang keluarga bersama yang lain sedangkan aku mengikuti Papa ke ruang kerja. Kami duduk berhadapan dalam diam selama beberapa saat sebelum Papa membuka suaranya.

“Kamu sudah yakin dengan Ayu?” tanya Papa tegas.

“Iya, Pa. Bayu mencintai Ayu. Tolong berikan restu kepada kami, Pa,” mohonku.

Papa terlihat diam seperti sedang menimbang-nimbang sesuatu sebelum kemudian mengembuskan napasnya pelan. “Mama sudah bilang kepada Papa pembicaraanmu tempo hari dengan Mama. Apa benar kamu selama ini merasa bersalah atas kematian Siska, mantan istrimu?” tanya Papa dengan suara pelan.

“Iya, Pa. Bayu merasa kematian Siska adalah salah Bayu. Seharusnya Bayu tidak memintanya memiliki anak di saat Siska belum siap. Bayu yang sudah membunuhnya, Pa,” ucapku sedih.

“Maafkan Papa dan Mama, Nak. Kami yang mendesakmu untuk segera memiliki anak saat itu.” Aku kaget saat Papa tiba-tiba sudah berdiri di samping tempat dudukku dan menepuk pundakku beberapa kali. Kenanganku akan Siska telah membuatku tidak menyadari keadaan sekitar.

“Bukan salah Mama dan Papa. Seandainya aku tidak menuruti desakan Mama dan Papa, Siska tidak akan mati,” ucapku sambil menundukkan kepala. Betul mereka yang sudah mendesakku untuk memiliki anak secepatnya tapi bisa saja aku menolaknya saat itu. Belum lagi pengabaian yang kulakukan pada Siska saat kehamilannya yang membuatnya dia sempat stres dan tekanan darahnya naik. Oleh sebab itu, aku memutuskan saat ini akan memperjuangkan Ayu dan tidak membiarkan siapapun mengaturku lagi. Aku tidak mau menjadi anak durhaka dengan melawan kedua orang tuaku, tapi aku akan terus mengusahakan restu mereka hingga mereka menyutujui hubunganku dengan Ayu.

“Sebetulnya Papa sangat menginginkan keturunan darimu, Bayu. Papa membangun usaha Papa dari nol dan sekarang Papa ingin mewariskannya pada anak dan cucu Papa. Namun, kamu bahkan tidak mau meneruskan usaha Papa,” ucapnya sedih.

Aku melihat ke arah Papa yang sudah duduk kembali di bangkunya semula. “Kan ada anak Kak Santi, Pa.”

“Tapi mereka tidak meneruskan nama keluarga Papa,” ucap Papa bersikeras.

“Mereka tetap cucumu, Sayang,” ucap Mama yang tiba-tiba masuk ke dalam ruang kerja Papa. “Mereka memang tidak mewarisi nama keluargamu tapi mereka mewarisi sesuatu yang lebih penting daripada nama.”

“Apa itu?” tanya Papa dengan kening berkerut bingung.

“Mereka mewarisi darah kita, Sayang. Darah lebih penting daripada nama. Mereka anak Santi, artinya mereka cucu kita juga,” ucap Mama lembut sambil menepuk pundak Papa pelan.

Papa menepuk lembut tangan Mama yang berada di pundaknya sambil melihat Mama dengan pandangan mata penuh cinta. “Iya, Sayang, kamu benar. Tidak seharusnya aku membeda-bedakan anak kita. Maafkan aku sayang.”

“Baiklah Bayu, Papa memberikan restu untuk kamu menikah dengan Ayu.”

Aku langsung menghambur ke arah Papa duduk dan memeluknya erat. “Terima kasih, Pa.” Sesudah itu aku memeluk Mama. “Terima kasih, Ma.”

Dengan hati ringan dan bahagia, aku pergi ke ruang duduk keluarga dengan Mama dan Papa berjalan bersama. Kulihat wajah Ayu sudah tegang melihat kedatangan kami. Aku memilih duduk di sebelahnya dengan memasang wajah serius.

“Bagaimana, Mas?“ bisik Ayu dengan suara tegang yang tidak bisa ditutupi.

“Santi,” panggil Mama.

“Ya, Ma?” tanya Kak Santi bingung.

“Mama mau minta maaf selama ini berusaha meminta cucu perempuan darimu. Mama harusnya bersyukur sudah memiliki Dhani, Dimas dan Desta sebagai cucu kami.”

Kak Santi terlihat menangis terharu sambil dipeluk suaminya karena akhirnya Mama bisa menerima kondisinya yang tidak bisa memberikan Mama cucu lagi. Kemudian Kak Santi menghampiri Mama dan mereka berpelukan.

Mata Ayu terlihat berkaca-kaca melihat Mama dan Kak Santi yang sudah melakukan rekonsiliasi.

“Ayu,” panggil Papa yang langsung membuat Ayu melihat ke arah Papa dengan wajah tegang.

“Y-ya, O-om?” ucapnya tergagap karena grogi.

“Beri tahu ibumu kalau kami akan segera bertamu ke rumahnya untuk melamarmu.”

Mata Ayu terlihat berkaca-kaca dengan senyum lebar tersungging di bibirnya. “Baik, Om.” Sesudah itu Ayu langsung memelukku.

“Terima kasih, Sayang, sudah mau memperjuangkan hubungan kita,” bisikku di telinganya lembut.

Ayu menganggukkan kepalanya pelan di dalam pelukanku.

Akhirnya malam ini hubungan kami direstui oleh kedua orang tuaku. Dari yang kudengar, Ibu Ayu sudah merestui hubungan kami sejak kami berpacaran. Artinya sudah tidak ada penghalang lagi dan kami bisa hidup bahagia bersama selamanya berdua.

TAMAT

❤❤❤❤❤

Hany

Jakarta, 30/11/20








Childfree (END) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang