Bab 18. Bayu: Masa Lalu & Masa Depan

383 27 0
                                    


“Apa kabar, Sayang?” ucapku sambil membersihkan batu nisan yang bertuliskan nama Siska Putri Wijaya. “Sudah lama aku tidak ke sini. Bukan karena aku tidak merindukanmu, tapi karena aku masih belum sanggup menerima kenyataan kamu pergi mendahuluiku bersama anak kita.”

Aku bersimpuh di samping nisan dan memeluknya. “Maafkan aku, Sayang. Seharusnya aku tidak memintamu untuk segera hamil hanya karena desakan orang tuaku. Seharusnya aku bisa lebih mengerti dirimu,” ujarku dengan suara bergetar menahan tangis.

Masih kuingat kejadian saat itu dengan jelas.

“Sis, orang tua Mas minta kita memiliki anak,” ucapku pada suatu malam setelah kami sama-sama berbaring di tempat tidur.

“Tapi, Mas, aku belum siap. Aku masih ingin berkerja,” rengek Siska.

Aku mengelus lembut kepalanya, ”Setelah hamil kan masih bisa bekerja. Mas tidak akan halangi keinginan kamu. Mas sebetulnya paham perasaanmu, tapi Mas enggak enak sama orang tua Mas. Lagipula sebelum menikah, kita sudah sepakat untuk memiliki anak, kan? Hanya saja Mas mengalah saat kamu meminta untuk menundanya. Sekarang sudah 2 tahun kita menundanya, Sis.”

“Tapi mas-“

Aku menggenggam kedua tangannya dan mengecupnya, “Waktu berjalan terus dan usia kita terus bertambah. Jadi mau, ya?” tanyaku dengan suara selembut dan semanis mungkin untuk membujuknya.

Siska terlihat berpikir sejenak lalu mengembuskan napas, “Baiklah, aku turuti permintaan Mas.”

Aku langsung menerjangnya hingga tubuhnya terkurung di bawah tubuhku. “Terima kasih, ya. Jadi bagaimana kalau kita buat sekarang anaknya?” tanyaku sambil mengecupi seluruh wajahnya.

Siska tertawa geli lalu menangkup wajahku dengan kedua tangannya untuk menghentikan aksiku. “Tapi Mas janji, nanti kalau Siska hamil, Mas juga harus luangin banyak waktu buat Siska, ya. Enggak boleh sering-sering lembur,” ucapnya sambil memandangi wajahku dengan serius.

“Iya, Mas janji,” ucapku kemudian mengulum bibirnya lembut dengan tangan yang sudah sibuk menyentuh titik-titik sensitif Siska untuk meningkatkan gairahnya. Terdengar desahan Siska dan malam itu kami akhiri dengan pergelutan panas sepanjang malam.

Tuhan rasanya begitu baik hingga tidak berapa lama kemudian Siska hamil. Ternyata malam itu adalah masa subur Siska. Aku memberitahukannya pada orang tuaku yang disambut dengan sukacita. Namun, sayangnya kehamilan Siska bermasalah. Suatu hari di usia kandungan 4 bulan terdapat bercak darah di celana dalam Siska. Ternyata kata dokter kandungan Siska lemah sehingga harus banyak istirahat. Jika terus terjadi flek maka akan beresiko pada keguguran.

Begitu Mama mendengar kabar itu, dia langsung mendesakku meminta Siska berhenti bekerja. Setelah menimbang-nimbang kupikir saran Mama benar dan aku pun meminta Siska untuk berhenti bekerja. Awalnya Siska menolak tapi belakangan dia menurut juga setelah terjadi flek yang kedua. Siska kemudian menagih janjiku untuk jarang melakukan lembur di perusahaan Papa.

Aku pun menurutinya. Aku mengurangi jam lemburku di kantor demi menemani Siska. Aku juga menemaninya untuk membeli perlengkapan bayi ketika usia kandungannya semakin besar. Siska pun menjadi bahagia walaupun aku tahu dia masih sering merindukan pekerjaannya.

Namun, kembali terjadi hal yang di luar perkiraanku. Terjadi korupsi di anak perusahaan Papa yang kukelola sehingga aku terpaksa menjadi sering lembur di kantor untuk menangani masalah ini dan memastikan perusahaan tetap bisa berdiri. Papa sempat marah besar karena dia merasa ini salahku sehingga bisa kecolongan seperti ini.

“Mas, hari ini pulang malam lagi?” tanya Siska saat lagi-lagi aku pulang mendekati tengah malam. Dia berjalan keluar dari kamar kami dengan susah payah sambil memegangi pinggang belakang karena perutnya yang sudah membesar dan duduk di sofa panjang.

Childfree (END) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang