Part. 6

316 3 0
                                    

Part 6
Tergoda Janda

Seminggu sudah berlalu sejak kejadian malam itu. Dan selama itu, kabar dari Mas Heru tidak ada. Aku membiarkan saja.
Biarlah memberi kesempatan padanya untuk berpikir.
Sebuah hubungan membutuhkan kepercayaan dan komitmen.
Kalau sudah hilang kepercayaan, mau apa lagi?Rasanya percuma untuk dilanjutkan.
Biarlah, aku tidak mau mendahului, tidak ingin memulai bertanya, seolah-olah sangat mengharapkan. Huh...
Padahal jujur, aku ingin mendengar kejelasan hubungan ini.
Masih mau lanjut, atau putus?
Kalau dia lebih memilih Linda, ya, apa boleh buat, harus jujur pada bapak ibu, dan pertunangan ini, batal.

Tapi kalau Mas Heru masih ingin mempertahankan hubungan ini, percayakah aku bahwa Mas Heru tidak akan berhubungan lagi dengan Linda? Kayaknya kok tipis, kemungkinan bisa percaya.
Aku mulai ragu.
Akankah tetap bertahan dengan Mas Heru yang jelas-jelas tidak jujur?

****

Hari Sabtu siang, seperti biasa aku sudah sampai rumah dari kostan.
Biasanya kalau pulang aku akan menyalurkan kerinduan pada orang tua dengan bercengkerama di meja makan, atau di kebun, atau bahkan di dapur, masak bersama.
Namun kali ini aku berencana pergi ke rumah Rina sahabatku. Sengaja menghindari Mas Heru ceritanya.
Setelah mandi sore aku pamit bapak ibu.

"Bu, Pak, Putri mau ke rumah Rina, sudah lama tidak ketemu. Sudah janjian, kok,"pamitku pada mereka.

"Lho, bagaimana kalau Heru ke sini, sudah pamit?"tanya Ayah.
Aku diam saja, bingung mau menjawab.

"Put, kok diam saja ditanya ayahmu,"kata Ibu mengagetkan.

"Sudah, Yah, nanti biar telepon saja,"jawabku singkat.
Aku mencium punggung tangan ayah ibu terus keluar dengan sepeda motorku.
Bapak ibu terlihat heran dengan sikapku, tapi biarlah aku segera berangkat.

Rina sahabatku sejak SMA dan kuliah. Dia membuka usaha butik melanjutkan usaha orang tuanya.

"Halo Neng, tambah cantik saja,"ujar Rina begitu melihatku datang.
Langsung Rina mengajakku kelantai dua butik ini. Sementara dua karyawannya siap menjaga.

"Minum orange jus dulu, minuman kesukaanmu,kan? baru cerita,"candanya.

"Hebat, masih hapal minuman favoritku," jawabku sambil meneguk sedikit minuman kuning menyegarkan ini.

Rina masih menjomblo sejak putus dengan Denis setahun yang lalu. Jadi kedatanganku tak mengganggu malam minggunya.
Aku menceritakan masalahku dengan Heru padanya.

"Kalau aku jadi kamu, Put, justru segera nikah saja dari pada berlarut-larut, dekepin tuh, Mas Heru, biar gak digoda si Linda. Kalian toh sudah tunangan. Tunggu apa lagi?"usul Rina

"Ah, bagaimana kalau nanti setelah nikah masih saja begitu?"balasku.

"Oh, kamu tidak mau mempertahankan Mas Heru?"tambah Rina geram karena ceritaku.

"Aku mau melihat kesungguhan Mas Heru dulu, Rin,"ujar ku.

"Kalau gak buru-buru takutnya malah bisa kehilangan dia, lho Put. Musuh orang nekad seperti dia, harus dengan strategi nekad juga. Jangan slow, atau ngalah,"sambung Rina.

Tak berapa lama, ponsel Putri berdering, telepon dari Heru.

"Tuh, yang baru diomongin, nelpon,"bisik Putri sambil berdiri menjauh.

"Ya, Mas, ada apa?"

"Kamu di mana? Aku ke rumah katanya kamu ke rumah temanmu,"balas Mas Heru dari seberang telepon.

"Mas ke mana saja tak berkabar?"ujarku sengit.

"Ayah sakit, masuk rumah sakit, gulanya tinggi," tambahnya.

"Kok gak ngasih tau?"

"Kamu masih sibuk, nanti malah repot, sekarang sudah pulang kok,"jelas Heru lagi.

"Sekarang di mana? Rumah temanmu di mana?" cecarnya penuh tanya.

"Tidak jauh kok, aku mau pulang, aku bawa motor."

"Ya sudah, aku tunggu di rumah," Mas Heru menutup teleponnya.

Bagaimanapun aku tidak bisa lari. Tidak apa-apa, akan aku hadapi. Semakin cepat permasalahan selesai, semakin baik, pikirku.

"Rin, aku pulang, minimal aku sudah lega, cerita ke kamu. Karena kalau di rumah takut ditanya bapak ibu tentang Heru. Aku jadi bingung. Mana sebel, lagi. Gak mungkin kan bohong sama bapak ibu?"pamitku sambil menghabiskan minumanku.

"Ya,udah, kabari kelanjutannya, ingat, jangan kalah sama pelakor," katanya penuh semangat.

"Semoga aku kuat,"balasku.

"Harus, rebut, lawan," ujarnya dengan gerakan seperti pencak silat. Kami berdua tertawa berpelukan.

****
Aku sampai rumah. Tampak bapak tengah ngobrol dengan mas Heru. Aku menyalami bapak dan mas Heru, lalu ke kamar mandi sebentar kemudian ikut duduk di sebelahnya, diam, mendengarkan saja.

"Kok tidak bilang sama bapak, kalau Mas Broto masuk rumah sakit, Her," Kata bapak

"Ayah di rumah sakit cuma dua hari, sudah kembali normal gulanya. Hanya perlu menjaga pola makan saja biar gulanya stabil, tidak naik turun."jawabnya.

"Meskipun kita ini sudah berumur, tetap saja harus menjaga pola makan, olah raga teratur meskipun hanya ringan sebatas jalan kaki, harus tetap kita jalankan,"jelas bapak. Aku membenarkan saja dalam hati.

"Ayo,Nak, diminum dulu sama pisang gorengnya itu dicoba, ibu sendiri yang goreng lho,"kata ibu.

"Put, ajak nak Heru, mencoba pisangnya, kok malah diam saja."sela Ayah.

"Sudah lama,Mas,"ku sapa mas Heru dengan santai, pura-pura tak ada apa-apa.

Bapak ibu merasa agak janggal melihat sikapku pada mas Heru, namun hanya sebatas merasa aneh saja lalu segera pergi ke samping rumah melihat kolam ikan.
Diambilnya kantong tempat makan ikan koi, segera ditebar, dan muncul ikan koi yang sudah besar-besar merah loreng putih.
Pemandangan kolam ikan sungguh menghibur bagi bapak yang sudah pensiun tidak ada kerjaan. Memelihara ikan, berkebun sayur dan bunga sudah menjadi pekerjaan yang sangat menyenangkan kini.

"Mas, bagaimana kelanjutannya?"tanyaku tanpa basa-basi dulu.

"Kelanjutan apanya, maksudmu?" jawab mas Heru merasa tidak tau.

"Bagaimana, sih, masih nanya?"aku mulai jengkel.

Maklum kemarahanku masih terbawa sejak menceritakan masalahnya dengan Rina, dan itu masih terasa sampai saat ini.

"Put, sudahlah, tidak usah dipermasalahkan lagi. Aku kan sudah tidak ada hubungan lagi dengan Linda," jawabnya memelas.

"Yakin, sudah tidak berhubungan lagi? Aku gak percaya. Mana ponselnya Mas, Putri pinjam,"pintaku
Dan mas Heru memberikan hapenya.
Segera aku periksa kontak tak ada nama Linda di sana. Namun bukan jaminan kalau namanya sudah diganti.

"Nih, Mas,"ujarku sambil mengembalikan ponselnya

"Kita jalan yok, makan ke mana kek, suntuk, pusing mikir kamu marah melulu," ajaknya.

"Gak, aku males keluar. Tar diajaknya ketemu Linda lagi," jawabku cemberut.

"Ya, ampun gak percaya banget sih sama aku. Aku udah blokir dia. Kita cuma mau makan. Ayo dong, kamu pengin makan di mana?"rayunya

"Oke, tunggu dulu, aku ganti baju." Bagaimanapun aku masih menjaga bapak ibu, kalau aku marah, mas Heru juga ketahuan bersitegang denganku malah jadi runyam.
Wajah cerah tergambar di raut muka mas Heru.

Akankah hubungan ini masih bisa dipertahankan?

Bersambung.
Follow dan subscribe ya..

Tergoda JandaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang