Photo: Kursi Dinner Keluarga Dewangga.
Cc: http://gaia-indonesia.com----
Lift telah mencapai lantai 46.
Seorang laki-laki dengan kemeja hitam berdiri membelakangiku sambil memainkan handphone, sepertinya itu Adrian. Di lihat dari postur tubuhnya.
Aku berjalan menuju arahnya perlahan. Setiap langkah terasa semakin berat. Jantungku berdetak satu tempo lebih cepat dari biasanya.
Langkahku terhenti saat ia membalikkan badannya.
Memang benar, ia sangat-sangat tampan.
Tapi kalau melihat caranya bersosialisasi? Ilfeel.
"Athena?" tanya Adrian, wajahnya datar. "Lo ngaret 2 menit. Kan udah gue bilang jangan ngaret"
Aku menatapnya sewot lalu mencoba mengambil handphone dari tangannya. Tapi aku kurang cepat. "Ya jangan salahin gue lah. Salahin tuh, jalanan Sudirman kenapa bisa sepadat itu"
Adrian menatap sekitar, lalu mencondongkan tubuhnya mendekat, membuatku sedikit mundur menjauh. "Gua butuh bantuan lo. Sekarang gua lagi dinner bareng keluarga, gue mau lo ngenalin diri sebagai temen gue"
Aku mengernyitkan kening. "Kok jadi gini sih? Nggak, nggak mau gue. Sini balikin handphone dulu" pintaku sambil menadahkan tangan.
"Terserah kalo gak mau, tapi handphone lo gak balik"
Adrian mulai berjalan masuk ke dalam restaurant.
"Eh!! Yaudah iya iya gue bantu"
Kemudian aku menyusulnya.
"Jangan ngomong apa-apa nanti. Kalau di tanya, senyum aja. Ada ortu, nenek kakek, kakak gue dan suaminya. Gua manggil nenek dan kakek gue dengan Yangkung dan Yangti. Nama kakak gue Alyssa, suaminya Reva. Act natural, kesan-nya kita udah akrab"
"Lah? Nggak sopan dong, masa di tanya terus cuma senyum doang?"
Adrian terus berjalan, mengabaikan pertanyaanku. Ia memperlamban langkahnya saat kami berjalan dekat keluarga yang duduk di sudut ruangan.
Jantungku berdetak tidak karuan. Tarik nafas, keluarkan, tarik nafas, keluarkan.
Aku pasti bisa melakukan ini.
Adrian semakin berjalan mendekat, lalu keluarganya langsung menatap kearah kami berdua.
Hal pertama yang aku sadari adalah aura elite yang luar biasa terpancar dari keluarga ini. Para wanita memakai dress berwarna putih, sedangkan para laki-laki memakai kemeja berwarna hitam. Semua on-point. Untung saja tadi aku memilih dress putih terbaikku.
"Um.. Semuanya, ini Athena. Temen Adrian" Sedetik kemudian, aku di sambut dengan senyuman.
Aku segera memasang senyum terbaik di wajahku.
Setelah selesai bersalaman dan berkenalan, aku duduk di antara Yangti dan Ibunda Adrian.
Senyum tidak meninggalkan wajah Yangti semenjak aku duduk.
"Yangti apa sih ngeliatin pacar Adrian sambil senyum-senyum gitu daritadi"
Kebetulan aku sedang minum air, dan kata-kata yang di ucapkan oleh kakak Adrian berhasil membuatku tersedak. "Sorry" ucapku.
"Gak jelas lo, mbak" Adrian menatap kesal sang kakak yang duduk tepat di sebelahnya.
"Athena, kamu di panggil Cece?" Tiba-tiba Yangti bertanya kepadaku.
Aku segera menatap Adrian, ia menganggukkan kepalanya sedikit. Tanda menyetujuiku untuk berbicara.
"Iya, eyang" jawabku singkat.
"Sama keluarga kamu bukan?" Aku mengangguk. Keluargaku memang memanggilku dengan 'Cece'.
"Nama keluarga kamu Winata?"
Semua anggota keluarga memberhentikan aktivitas mereka, melihat kearahku, kecuali Adrian.
Um, awkward...
"Iya, Yangti. Kok.. tau? Yangti kenal atau tau salah satu keluargaku?"
Yangti tidak menjawab, tetapi senyuman di wajahnya menjadi semakin lebar.
"Kamu gak tau seberapa dekat pertemanan kami berempat. Sampai kami ingin menjodohkan cucu-cucu kami."
Kali ini, bukan aku yang tersedak.
Adrian tersedak.
~*~
"Athena, kamu habis ini ke hotel Yangti bentar ya. Yangti habis dari Jepang, ada oleh-oleh"
"Iya, Yangti"
"Kamu satu sekolahan ya sama Adrian?" Sekarang giliran Ibunda Adrian yang bertanya.
"Enggak tante, beda" Aku saja tidak tau dimana anak tante bersekolah, tan.
"Kamu kelas berapa sekarang?" Ayahnya Adrian menimbrung percakapan kami.
"Athena kelas 11, om. Beda setahun sama Adrian"
"Kalau pacar? Kamu udah punya? Eh iya lupa, kan kamu pacar Adrian" ucap Mbak Alyssa tiba-tiba.
Kata-kata mbak Alyssa lagi-lagi membuatku terkejut. Sepertinya wajahku sudah merah semerah kepiting rebus.
"Mbak Aly daritadi ya" Ekspresi kesal bercampur malu menghiasi wajah Adrian. Telinganya berubah warna menjadi merah muda.
"Telinga Adrian merah tuh, ciee, cucu Yangkung sudah besar ya"
Kemudian seluruh keluarga Adrian tertawa, kecuali kami berdua pastinya.
Jam di dinding menunjukkan pukul 8 lewat 25 menit. Sebelum pergi, mama berpesan agar aku tidak pulang malam-malam. Lagipula besok hari senin.
Aku menatap Adrian lalu memiringkan kepalaku cepat, memberi signal untuk bicara di luar.
"Athena, bisa keluar sebentar?" Adrian berdiri dari kursinya. Ternyata ia mendapat signalku.
"Ada apa?" tanyanya dengan wajah datar setelah kami keluar dari restaurant.
"Udah jam segini, kasian supir gue nunggu di basement. Tapi gue juga gak enak sama Yangti"
"Mau ngomong gitu doang?" Adrian membalikkan badannya, kembali ke dalam restaurant.
Bisa nggak sih Adrian ini sabar dan dengar dulu apa yang mau aku bicarakan?
Menyebalkan.
Aku menarik ujung kemejanya. "Adrian, dengerin gue dulu bisa gak sih?"
Adrian menatapku sinis, tapi ia berhenti di tempatnya berdiri.
"Kasian supir gue. Tapi gue gak enak sama Yangti, kasih solusi kek, apa kek"
"Yaudah, nanti lo gua anter pulang aja"
Kali ini, Adrian langsung masuk ke dalam restaurant tanpa menunggu responku terlebih dahulu.
Meninggalkanku yang berdiri mematung, entah harus merasa kesal atau senang.
Adrian mengantarku pulang?
Hidup memang penuh kejutan.
----
Enjoying the story?
Don't forget to vote and comment please :)
Thanks,
Author.

KAMU SEDANG MEMBACA
Untitled
Teen FictionMenceritakan seorang yang di tinggalkan, tapi terlalu enggan untuk meninggalkan.