our way (pt. 2)

1.7K 145 19
                                    

Jimin mengetuk-ngetukkan jemarinya sepanjang rapat berlangsung. Maniknya nampak tidak fokus, menerawang entah pada hal apa. Tak ada satu pun materi presentasi dari tim marketing yang berhasil melekat di rungunya.

"Manager Park?"

Kepala Jimin terdongak mendadak. Sejenak ia menatap penuh kebingungan sebelum akhirnya berhasil menyadari apa yang sedang terjadi. "O-oh, maaf. Bisakah kita lanjutkan rapat ini esok hari? Saya mendadak tidak enak badan."

Tanpa mendengar sahutan dari yang lain, Jimin segera meninggalkan ruang rapat dan melangkah cepat menuju ruangannya. Ia rebahkan tubuhnya di atas kursinya di balik meja dan memejamkan mata.

Aku tidak pernah punya pikiran untuk menikah

Nyeri yang semalam ia rasakan kembali datang menghampiri relung. Rasanya seperti ada sesuatu yang remuk di dalam batinnya kala menyadari bahwa Yoongi tidak pernah memikirkan pernikahan mereka.

7 tahun, dan laki-laki itu tidak pernah membayangkan mereka melangkah ke jenjang yang lebih serius.

Jimin bukanlah seorang yang gila status. Jujur saja, ia tidak terlalu memusingkan hal seperti itu.

Namun, ia juga tidak ingin berakhir dalam hubungan tak berujung ini. Ya, ia mencintai Yoongi dan Yoongi pun mencintai dirinya, tapi sampai kapan mereka bertahan seperti ini tanpa melangkah ke tingkatan yang lebih tinggi?

Jimin tidak bisa berbohong bahwa ia memiliki banyak impian bersama Yoongi. Membayangkan bagaimana mereka berbulan madu, memamerkan cincin pernikahan mereka kepada teman-teman, mengadopsi anak dengan resmi di bawah naungan mereka sebagai orang tua, membesarkan anak bersama-sama, dan menghabiskan waktu tua di sisi satu sama lain.

Namun, bisakah semua itu terwujud jika salah satu dari mereka menolak untuk melangkah lebih serius?

Ponsel yang mendadak berdering itu menyadarkan Jimin dari benaknya. Ia membuka sebelah mata dan meraih ponselnya dari atas meja. Seulas seringai hadir setelah ia membaca nama yang tertera di atas layar.

"Oh, Yoongi."

"Kau sibuk?"

Jimin menggeleng. "Tidak juga. Aku baru saja selesai rapat. Kenapa meneleponku?"

"Aku ada di dekat kantormu. Mau makan siang bersama?"

Jimin terdiam sesaat, mendadak pikiran menyeretnya untuk memikirkan perbincangan semalam. Ia mengulum bibirnya, lalu berkata, "Baiklah, aku juga ingin bicara denganmu."

"Tentang apa?"

"Nanti saja. Makan siang di mana?"

"Restoran Jepang kesukaanmu, bagaimana? Mau dijemput?"

Jimin mengangguk kecil di tempatnya. "Tidak perlu. Aku akan jalan kaki, aku butuh sedikit olahraga karena seharian duduk di ruangan."

◽◽◽

Jimin tak henti-hentinya melirik Yoongi yang sedang sibuk menyantap sushi dan hidangan lain yang tersaji untuk mereka. Merasa canggung, Jimin meraih segelas air dan meneguknya hingga habis.

"Mau bicara?"

Kepala Jimin terangkat. "Hm?"

"Kau bilang ada yang ingin kau bicarakan denganku," jelas Yoongi menghentikan acara makannya. "Ada apa?"

Jimin menggigit bibir bagian dalamnya. Untuk sejenak, ia merasa ragu membicarakan masalah di tempat umum seperti ini meskipun mereka menyewa satu ruang VIP yang tertutup. Namun tak lama, Jimin berhasil menemukan keberaniannya.

"Perbincangan kita semalam ..." ujar Jimin membuka suara. "Bagaimana jika aku menginginkannya?"

Yoongi mengernyit. "Apa?"

"Menikah."

Jimin merasakan perubahan dalam tatapan Yoongi. Suasananya mendadak kaku dan mencekik. Jimin bungkam, seakan menanti respon dari Yoongi.

Beberapa menit Jimin menanti sahutan Yoongi, tetapi laki-laki itu tetap diam tanpa suara. Jimin menarik napas panjang. "Bagaimana jika aku ingin kita menikah?"

"Jimin."

Yang dipanggil berdeham pelan. "Hm?"

"Apakah hubungan kita tidak cukup untukmu?"

Jimin mendesah. "Siapa yang bilang tidak cukup?"

"Lantas, kenapa kau ingin menikah? Bukankah seperti ini saja cukup untuk kita?"

Jimin terdiam seraya menatap tak percaya kepada Yoongi yang menghela napas panjang. Yoongi menjauhkan tubuhnya dari meja dan bersandar ke belakang. "Aku bahagia dengan kita yang seperti ini, Jimin. Dan aku tidak merasa kekurangan sama sekali. Apa pernikahan masih dibutuhkan ketika kita berdua sudah merasa cukup dengan apa yang kita lakukan? Hubungan ini cukup untuk kita, Jimin."

Jimin menarik napas dalam. "Aku tahu, tapi tidakkah kau pikir bahwa kita harus melangkah lebih serius? Sampai kapan kita berkutat dalam hubungan seperti ini tanpa ujung yang jelas?"

"Ujung yang jelas?" tanya Yoongi ulang. "Jimin, kau tahu pasti ke mana akhir hubungan kita. Aku akan selalu bersamamu sampai maut memisahkan. Ujung seperti apa yang kau harapkan?"

"Yoongi, aku butuh kepastian," lirih Jimin.

"Apakah pernikahan bisa menjamin bahwa kita akan selalu bersama? Apakah itu menjamin bahwa tidak ada satu pun di antara kita yang akan melangkah pergi? Menikah tidak memberimu kepastian, Jimin. Hal itu tidak memberikanmu jaminan apa pun."

Jimin memejamkan matanya rapat. "Yoongi, aku ingin keseriusan darimu."

"7 tahun aku bersamamu, apakah itu tidak cukup membuktikan bahwa aku serius denganmu?" tanya Yoongi tajam. "Kenapa harus menikah yang menjadi bukti keseriusan? 7 tahun aku berada di sisimu dan kau masih mempertanyakan keseriusanku."

Jimin menjilat bibirnya yang kering sementara matanya tak lepas dari Yoongi yang kini membuang muka. "Yoongi, aku ingin menjadi suamimu," aku Jimin. "Aku ingin mengakuimu sebagai milikku di depan Tuhan dan hukum. Aku ingin memilikimu seutuhnya."

"Kau sudah memilikiku seutuhnya, Jimin," bisik Yoongi dalam. "Tanpa pernikahan, aku sudah menyerahkan seluruh diriku. Aku memercayakan seluruh hidupku kepadamu."

"Yoongi ..."

"Pernikahan tidak menjamin apa-apa, Jimin. Pernikahan hanya memberimu ilusi, tidak ada satu pun kepastian di baliknya. Kau mungkin berpikir jika kita menikah, maka kau memiliki jaminan bahwa aku akan selalu bersamamu. Tapi tidak. Pernikahan adalah hal yang semu. Semua hal bisa terjadi bahkan ketika kau sudah terikat pernikahan. Seperti ibuku yang meninggalkan ayahku."

Jimin mendengus. "Yoongi, we won't be like your parents. No one will leave."

"That is what my parents think before their marriage. But in the end, they left all the things they had, Jimin," sergah Yoongi. "Now tell me, what is the used of marriage?"

Jimin terdiam di kursinya. Ia sadar, pembicaraan ini tidak akan memiliki akhir.

"I thought we both same, Yoongi. I really thought that may be, one day, we could have such a fairytale ending. But I was wrong. It seems we both walk in a different path," ungkap Jimin.

"What's the point of holding on in this relationship if in the end we have different goals?"

▫️▫️▫️

(tbc.)

A/N: halo, ini crunchyoongi. udah lama banget aku gak nulis dan jadinya canggung. maaf jika tulisannya tidak bagus.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: May 04 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

just a storyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang