34

604 111 40
                                    

•••••

Mendengarnya membuat jantung Jihyo berpacu cepat, ia tidak menyangka bahwa semua yang telah ia lalui selama 9 bulan terakhir merupakan suatu kebohongan.

Jihyo ingin menangis, hatinya sangat sakit. Ia mengelus pelan perutnya. Walau pada awalnya ia tidak bisa menerima hal ini, tetapi lama kelamaan ia mencintai keduanya sepenuh hati.

Ia menyuruh pelayan untuk membawakan kembali gelas anggur yang sebelumnya ia ambil. Perlahan ia berjalan menuju kamarnya, mengambil beberapa keperluan yang memang ia butuhkan.

Ia mengambil keputusan spontan yang entah akan mendatangkan malapetaka atau tidak.

Jihyo berjalan kembali menuju ruang kerja Jungkook, mengetuknya pelan dan membuat atensi mengarah padanya.

"Jungkook, bolehkah aku pergi ke mart sebentar?"

Jungkook mengernyit. Ia menaruh kembali gelas alkohol yang ia pegang dan menghampiri Jihyo. Mengelus surai Jihyo dan menatap matanya.

"Mau kuantar?" Jihyo menggelengkan kepalanya.

"Tidak usah, aku hanya ingin membeli camilan." rengek Jihyo.

Jungkook menatap pamannya. "Paman, bolehkah kutinggal sebentar?" Jihyo menggelengkan kepalanya.

"Tidak usah Kook, aku bisa sendiri. Hanya sebentar saja, lagipula mart bisa kutempuh dalam waktu 2 menit dengan berjalan kaki." Jihyo mengerucutkan bibirnya.

"Lagipula, bukankah kau ada kepentingan dengan Paman Jeon?"

Ya, sebelum Jihyo mengetuk pintu, keduanya sedang membicarakan masalah perusahaan.

Jungkook pun mengangguk. "Bawa ponselmu, hubungi aku secepatnya jika kau memiliki masalah."

Ia pun mengantar Jihyo yang tertawa kecil. "Kau sangat protektif, aku tidak akan pergi Kook," kekehnya.

Jihyo pamit dan keluar dari rumah Jungkook. Ia berjalan pelan hingga melewati mart dan menghentikan taxi di penghujung jalan.

"Ke stasiun pak," ujarnya.

Sedaritadi ia menahan tangisnya. Hingga bayangan percakapan itu kembali lagi dan membuat air matanya luruh.

Mengapa ia sebodoh ini? Mengapa nasibnya harus seperti ini?

Ia kira cobaan itu berhenti, tetapi tidak. Malah yang mendatangkan rasa sakit itu berasal dari orang yang ia cinta.

Jihyo menatap ponselnya. Ia membuka jendela mobil dan melemparnya ke semak - semak sebelum mobil itu berlalu.

Sekarang ia tidak punya tujuan. Berbekal dengan uang yang ia pegang, akhirnya Jihyo memutuskan untuk pergi entah kemana. Sebisa mungkin menghilang dari pandangan semuanya.

Dalam hati ia meminta maaf pada neneknya karena tidak dapat menjenguknya sebelum pergi.

Saat dirinya berada di stasiun, dirinya merasa kehilangan arah. Ia tidak tahu kedepannya akan bagaimana.

Jihyo melihat papan jadwal, dan menemukan satu distrik asing di matanya. Memutuskan pergi kesana untuk menghilangkan presensinya.

Perjalanan tidak terlalu jauh, dalam hitungan jam kakinya sudah berpijak di stasiun distrik tersebut. Jalannya sempoyongan, tubuhnya sangat lemas, hingga pada langkah selanjutnya ia tidak bisa menopang tubuhnya dan berakhir pingsan di depan stasiun sepi tersebut.

Hell in HeavenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang