3.| Siksaan Manis

5K 297 13
                                    

Disini lah Nauka berakhir, di atas brankar ruang UGD rumah sakit

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Disini lah Nauka berakhir, di atas brankar ruang UGD rumah sakit. Dia sedang ditangani oleh salah seorang dokter. Di luar, kedua orangtuanya dan kelima abangnya tengah menunggu dengan harap-harap cemas.

"Luka ko parah juga ternyata, butuh lima jahitan. Lo gak ditabrak kan dek?" tanya dokter Vian, dokter yang menanganinya dan juga salah satu sahabat abangnya, jadi wajar dia berbicara kelewat santai padanya.

"Kalo gua ditabrak bakal pingsan gua, ini mah cuman dilempar cermin doang dari si Mak lemper, eh Mak Lampir maksudnya." jawab Nauka asal.

Kedua mata Vian membola, "Gua butuh boneka tambahan nih dek, gua bisa ambil si Mak Lampir kan?" Terdapat sebuah senyum mencurigakan di wajah Vian.

Nauka menggeleng. "Gua gak mau, dia masih labil buat ngehadepin gue, jadi jangan coba-coba!" Ancam Nauka.

Dia sangat-sangat tau maksud dari sahabat abangnya itu, menjadikan manusia sebagai tikus percobaan di lab rumahnya. Jangan tanyakan mengapa dia tau, karena dia sudah sangat sering melihat penyiksaan para manusia yang bergelimang dosa berakhir mengenaskan di lab pribadi Vian, di rumah pria itu.

"Udah selesai. Biusnya bakal ilang dua jam kedepan, jangan banyak gerak dulu." Ucap Vian menasehati.

Nauka mengangguk kemudian menyusul dokter muda itu keluar dari sana. Dia sudah siap dengan berbagai pertanyaan dari orang-orang yang menunggunya di luar sana.

"Nauka gimana?"

"Dia baik-baik aja kan?"

"Berapa jahitan yang dia dapat?"

Nauka menggeser tubuh Vian yang menghalangi dirinya, "Nauka gak apa-apa semuanya, tenang aja, Nauka bukan anak cengeng yang dilempar pisau langsung mewek." Ucapnya Santuy.

Ami dengan wajah garangnya berjalan mendekati sang putri satu-satunya itu, setelah sampai dihadapan Nauka dia langsung menarik tubuh mungil anaknya, memeluknya dengan sangat erat.

"Jangan buat bunda khawatir, kamu tau gak bunda sampai nekat balapan sama polisi karena kaget kamu masuk rumah sakit!" omel Ami yang masih tetap memeluk Nauka, bahkan pelukannya semakin erat saja.

Mendengar penuturan Ami, Nauka, Ayah dan kelima Abang berdecak tak suka saat wanita yang mereka jaga membahayakan dirinya dijalan.

"Lain kali bunda selow aja, jangan kebut-kebutan dijalan, bunda udah tua udah gak jaman yang namanya balapan, apa lagi sama polisi, itu tugas Nauka kalo telat berangkat sekolah, bunda jangan."

Pletakk!

"Kamu ini yah! Siapa yang ngajarin kamu kek gitu, Nauka?!" tanya Ami.

Dengan tatapan polosnya, Nauka menunjuk Bagas, Nico, Edward, Edwin dan juga Saguna.

"Mereka yang ngajarin, Nauka." ucapnya polos.

"Udah, udah, jangan berantem disini, kalo udah sampai rumah baru dilanjutin!" ucap Tara menghentikan keributan yang mereka ciptakan. "Vian, terima kasih. Kami pamit pulang, jangan lupa untuk berkunjung ke rumah kalau ada waktu luang." tambahnya.

Vian mengangguk dan menyalimi kedua orang tua Nauka, kemudian beralih pada kelima Abang tak lupa untuk memeluk Nauka dan mengelus pelan kepala gadis itu.

"Thanks kak pertolongannya, jan lupa mampir ke rumah!" Kata Nauka sambil berlalu dari sana.

Sampai di parkiran, tangan Nauka langsung digenggam oleh Nico, membawa adiknya itu masuk ke dalam mobilnya untuk pulang bersama.

Nauka perlahan menyandarkan tubuhnya di kursi samping kemudi, menutup mata dan kembali mengingat kejadian beberapa waktu yang lalu. Gagal sudah rencananya untuk menjadi murid baru yang teladan di hari pertamanya masuk sekolah.

Nico, pria itu tidak menjalankan mobilnya membuat kening gadis disampingnya mengerut. Dia sengaja melakukannya untuk menanyakan beberapa hal.

"Bang, kenapa gak dijalanin mobilnya?" Tanya Nauka.

Nico menggeleng pelan lalu menarik lengan Nauka agar tubuh gadis itu masuk ke dalam pelukannya. "Jangan buat Abang khawatir, dek!"

Nauka tersenyum dan mengelus pelan rambut belakang abangnya yang satu ini. Ini baru Nico, belum abangnya yang lain dan kedua orangtuanya jika sampai di rumah nantinya.

"Abang gak usah terlalu khawatir, Nauka baik-baik aja," ucapnya menenangkan.

Nico perlahan mengurai pelukannya, dia menatap lekat mata adiknya dan mengecup pelan kening Nauka. "Darah harus dibalas dengan darah, Sayang." Terdapat seringaian di wajah tampannya membuat Nauka seketika mendelik kesal.

"Jangan sampai dia mati atau Nauka mogok ngomong sama Abang selama seminggu!" Yup, ancaman Nauka selalu berhasil membuat Nico merubah ekspresi wajahnya dari yang awalnya menyeramkan berubah menjadi anak kucing yang takut pada majikannya.

🍁🍁🍁

Ruangan luas yang hanya diterangi oleh beberapa lampu dan juga cahaya bulan membuat kesan menyeramkan untuk sebuah ruangan diantara ruang bawah tanah kediaman keluarga Megantara.

Beberapa orang bodyguard dan enam orang pria tengah menikmati permainan yang mereka lakukan diruangan pengap itu dan jangan lupa teriakan dan tangisan seseorang yang menjadi target mereka.

Seorang gadis sudah terkapar dengan luka-luka disekujur tubuhnya. Tanpa rasa kasihan, pria paling tua diantara mereka maju dan menjambak rambut gadis itu hingga beberapa helai ada yang rontok.

"Berani mengusik keluarga Megantara, berarti mati dengan sukarela," bisik Tara tepat ditelinga gadis itu.

"Kirimkan dia pada Vian agar lukanya terobati!" Titah Tara lagi dan langsung diangguki oleh para bodyguard nya.

"Mengapa ayah membiarkannya hidup?!" Saguna berdecak kesal saat target mereka dibiarkan lolos walau telah sekarat.

Tara menepuk pelan pundak Saguna, "Kau tau kan bagaimana reaksi dua singa betina kita jika tau kita membunuh, hm?"

Saguna menghela napas kesal begitu juga dengan keempat lelaki disampingnya, jika bukan karena ancaman Ami dan Nauka agar mereka berhenti membunuh, maka sudah dipastikan banyak nyawa yang telah melayang ditangan mereka.

🍁🍁🍁

🍁🍁🍁

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

TBC...



My Possessive GuardiansTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang