Bacalah di kala senggang.
Jadikan untuk hiburan. Jangan dibawa sensi terus emosi.
Kunjungi Intagram: vintariwp, untuk informasi seputar cerita.
Biar aku semangat menulis, kasih vote dan komentar-komentar, ya. Thank you!
🌸🌸🌸🌸
Tidak jadi dipecat membuatku bekerja semakin giat. Jika biasanya rambutku disanggul rapi atau sekadar diikat, kali ini aku mengepangnya. Tangan sampai pegal! Akan tetapi, itu sepadan karena gaya rambut berbeda membuat penampilanku segar. Tak lupa, riasan natural tersapu ayu di wajahku.
Sesampainya di hotel, aku segera ke kantor dan menyelesaikan segenap tugasku dengan cekatan juga hati yang riang. Hampir kehilangan sesuatu membuat kita lebih bersyukur pada apa yang kita punya. Aku benar-benar beruntung tidak menjadi tunakarya apalagi tuna cinta. Huaaahhh!
Ponselku berdering. Saat memeriksa layarnya, aku melihat panggilan dari nomor baru. Seingatku, semua tagihan yang telah jatuh tempo sudah dibayar. Siapa yang menagih lagi kali ini?
"Halo?" sapaku, seraya merapikan meja kerja. Sebentar lagi jam makan siang. Hore!
"Bentar lagi nyampe basement. Kamu turun sekarang."
Hah?! Ini masih bumi atau sudah di surga, sih? Kok, belum pesan makanan, kurirnya sudah sampai basement?
"Taruh aja makanannya di pos satpam. Bayarnya pake virtual, 'kan?"
Ada jeda sebelum suara berat terdengar menegurku. "Rita."
Aku menegakkan tubuhku. "Ini siapa, sih?"
"Seno."
Begitu mendengar nama pria itu, ponselku sukses terjatuh. Aku terhenyak dan buru-buru memungutnya. Layar ponsel retak kayak hatiku waktu melihat Tian pergi dengan Cindy. OMG!
"Aduh, aduh, aduh! Gimana ini?" erangku, mencoba untuk mendekatkan ponsel ke telinga.
"Halo? Halo, Om Seno?"
Tak ada jawaban. Aku mendengus panjang. Musibah banget, sih?! Ponselku saja ogah menerima panggilan Seno sampai dia menjatuhkan diri terus mati. Melirik ke arah jam digital di monitor, aku bergegas bangun karena ini waktunya makan siang.
Begitu sampai kantor, aku melihat rekan kerjaku. "Pergi dulu, Bu Citra."
"Eh, mau ke mana. Ta?" tanya wanita itu—di belakangku.
"Makan, Bu," sahutku, menoleh ke arahnya tanpa berhenti melangkah.
"Tumben. Biasanya juga pesen."
"Kurirnya masih baru, Bu. Butuh ditrainning," balasku, berjalan cepat ke arah lift.
Aku menekan tombol untuk ke basement saat berada di dalam lift. Tak lama aku berjalan di basement hotel, suara klakson terdengar di belakangku. Aku berjalan menepi agar mobil itu dapat melaju. Rupanya, mobil berwarna hitam itu berhenti di sisi kananku. Kaca pintu belakang terbuka. Nampak wajah Seno menoleh ke arahku.
"Masuk," perintahnya.
Mobilnya berbeda dengan yang kemarin. Aku segera masuk dan duduk di kursi penumpang. Kali ini, pria itu menggunakan sopir.
"Ngapain Om Seno ke sini?"
Pria itu menoleh ke arahku dan aku mengambil ponsel untuk ditunjukkan padanya. "Liat, deh. HP aku jatuh."
Seno menerima ponselku.
"Kacanya pecah. Nggak bunyi lagi. Mati total."
Ketika pria itu kembali memandangku, aku semakin meluapkan kekesalanku. "Tau ... nggak, gara-gara siapa? Gara-gara Om Seno telepon. HP aku baik-baik aja dari pagi dan siang ini wasalam."
Tangan Seno menunjukkan ponsel itu padaku.
"Mati ini. Aku nggak bisa cek orderan ke klien. Nggak bisa nelepon Mama. Nggak video call-an sama Tian. Nggak bisa ikutan live give away juga. Hampa hidup aku tanpa HP, Om. Hampa," tekanku.
Seno justru mengambil ponsel dan mengetik sesuatu di sana.
Aku mendengus kasar. "Om Seno, kok, malah chatting-an sendiri, sih? Udah tau HP aku mati. Aku gabut, dong, ini, nggak ada HP."
Wajahku menoleh ke arah jendela. Teringat sesuatu, aku menoleh ke arah kanan. Pria itu masih memainkan ponselnya.
"Om Seno," panggilku. "Jawab, dong. Om Seno ngapain ke sini? Ditanyain, kok, diem aja. Sariawan, bilang."
"Kamu udah selesai?" tanya Seno, membuatku kembali menatap kacamata hitamnya.
"Selesai apa? Kerja? Ya, belum, lah. Ini jam makan siang. Jadi, aku keluar. Biasanya juga makan di kantin atau pesen makanan. Tapi HP aku, kan, mati. Tadi aku jelasin juga, kan, matinya kenapa. Om Seno tinggal jawab aja, lama."
"Dari tadi saya mau jawab. Nunggu kamu selesai ngomong."
Aku melirik tajam pada pria itu. Menyandarkan punggung ke kursi, aku melipat tangan di depan dada. Wajahku menoleh ke arah kiri untuk melihat jalanan.
"Kita makan siang."
****
26/11/21
KAMU SEDANG MEMBACA
SenoRita
RomanceRita bersedia menjadi selingkuhan Tian. Suatu malam, Rita justru berakhir di ranjang hotel bersama Seno, paman Tian. *** Mendekati usia 27 tahun, Rita Delvina belum juga mendapatkan jodoh. Kini Rita percaya bahwa jodoh itu bukan ditunggu, tetapi dir...