3. (Bukan) Calon Mantu

13.1K 1.7K 189
                                    

Ayo, ayo! Ramaikan lapak Pelakor Ajaib kita ini

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Ayo, ayo! Ramaikan lapak Pelakor Ajaib kita ini. Selamat membaca.

🌸🌸🌸


Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


"Mama kamu di rumah?"

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Mama kamu di rumah?"

Itu pertanyaan pertama dari Seno sepanjang perjalanan hingga mobilnya kini berhenti di depan rumahku. Kepalaku menggeleng. "Mama masih di toko jam segini. Pulangnya sekitar jam tujuh malem. Aku tiap hari sendirian setelah pulang kerja. Paling anterin makan malam buat mama ... papa."

"Siapin makanannya. Aku anter kamu ke toko orangtuamu."

Aku menatap Seno--memastikannya tak bercanda. "Serius, Om?"

"Kamu bilang motor kamu lagi di bengkel. Terus kamu mau anterin makanan buat mereka pake apa?"

Ternyata dia mendengar ceritaku. "O-oke," jawabku, lalu keluar mobil dan bergerak cepat masuk rumah.

Di dalam rumah, aku menyiapkan makan malam untuk kedua orangtuaku. Aku tidak membuatnya karena ketika siang hari, mamaku akan memasak untuk makan siang dan makan malam. Tak ingin orangtuaku terlambat makan karena sudah bekerja keras, aku selalu mengantarkan makanan pukul enam sore. Setidaknya mereka pulang dengan perut kenyang.

Aku keluar rumah tanpa mandi atau mengganti pakaian. Kasihan orangtuaku jika menunggu makanan terlalu lama karena aku makan dimsum di rumah Seno. Aku masuk mobil dan menyebut alamat toko papaku. Menyenangkan juga punya sopir gratis.

Seperti perjalanan pulang, aku yang lebih banyak bicara. Kali ini, aku menceritakan tentang usaha orangtuaku. Papaku memiliki toko yang menjual makanan kering dan mama membantu usahanya. Aku anak tunggal dan orangtuaku tak melarang ketika aku ingin bekerja di hotel sebagai staf purchasing. Mereka tak banyak menuntut hingga setahun yang lalu, mereka ingin aku menikah dan mulai menjodohkanku dengan pelanggan atau kenalan mereka.

Mobil berhenti persis di depan toko. Aku melepas sabuk pengaman dan berterima kasih. Terkejut saat Seno turut keluar mobil.

"Aku mau ketemu orangtua kamu."

Seno ingin mengakrabkan diri? Bagus juga! Senangnya mereka bisa berbesan nanti.

"Ma," sapaku.

Mamaku meletakkan nota penjualan dan melihat ke arahku. "Ta, tumben ke sini maleman?"

"Ehm, Ma, ini ...."

"Seno," sebut pria itu, seraya mengulurkan tangan.

Mamaku bangkit dari duduknya dan menerima uluran tangan Seno. "Alia. Saya mamanya Rita. Udah lama sama Rita?"

Loh, kenapa Mama bilang gitu, sih?

"Rita." Suara Papa membuatku menoleh.

"Eh, ada siapa ini?" tanya papaku dengan nada ramah.

Seno segera berjalan ke arah papaku. "Seno, Om. Apa kabar?"

"Baik," jawab Papa. "Baru kali ini, loh, Rita mau ngenalin pacarnya ke orangtua. Semoga langgeng, ya."

"Mudah-mudahan, ya, Pa," dukung Mama.

"Ngobrol sebelah sini aja. Di situ banyak barang. Ayo," ajak Papa pada Seno, lantas mereka ke sisi toko yang agak lapang.

Aku mengusap wajah dan mengerang dalam hati.

"Mama suka, kok."

Seketika aku menoleh ke arah mamaku dan berkata pelan. "Ma, tapi dia bukan cowok aku. Aku lagi deketin keponakannya."

"Udah, nggak usah cari yang lain. Ini aja. Dia berani, tuh, ketemu Mama ... Papa. Gentleman."

Aku mengerang panjang. Aduh, Mama, Papa, dia bukan calon mantu!

****

19/11/20

SenoRitaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang