5. Petaka Atau Berkah?

1.3K 147 70
                                    

Kehadirannya membawa sebuah petaka atau malah berkah?

Happy reading!

||

Saat Lee Hyun memutuskan untuk menelepon Min Ho ketika Mama jatuh pingsan di ruang keluarga, pria itu sedang berada dalam perjalanan bisnis ke Eropa. Dia yang biasanya hanya akan merespon panggilan itu dengan: Jaga Mama. Nanti dokter akan memeriksanya. Tetapi, dua hari yang lalu justru dia membatalkan seluruh agendanya dan pulang ke Korea.

Ini tidak biasa. Setidaknya, itulah yang ada di pikiran Gon.

Untuk apa pria itu mau repot-repot kembali ke Korea? bukankah di sana dia bersama dengan wanitanya?

Huh.

"Kau tidak perlu khawatir. Aku akan menghilangkannya beberapa hari lagi." Gon menaikkan selimut sebatas dada tanpa menoleh menatap Min Ho yang sedang memandanginya dengan tatapan yang tidak bisa dia artikan.

"Jangan."

"Kenapa? apakah kau mau menambah luka lagi?"

Min Ho menggeleng. Dia mendekatkan diri ke tubuh Gon dan menelusupkan tangannya ke dalam. Mengusap perut Gon yang tertutup piyama satin berwarna hitam yang wanita itu pakai. "Jangan hilangkan dia. Kekayaanku tidak akan habis jika menghidupi satu orang lagi."

Gon mendengus.

"Kau jelas tahu itu bukan hal yang aku maksud," ungkap Gon.

"Ya, aku tahu maksudmu. Tetapi jangan buang bayi ini. Dia tetap anak kita."

"Aigooo. Kemampuan sandiwaramu meningkat rupanya."

"Aku tidak bersandiwara. Aku menyayanginya." Min Ho menatap Gon dengan pandangan lembut. Membuat Gon berdeham canggung dan melepaskan tangan Min Ho dari perutnya.

"Percuma saja. Dia hanya akan bersedih karena tidak diharapkan kedua orangtuanya. Ugh malangnya bayi ini."

Gon mengusap perutnya perlahan. Bayangan kalimat-kalimat Min Ho 12 tahun lalu terngiang-ngiang di otaknya.

"Cukup dua saja saja, ok? ingat, ini atas dasar kemauan papa dan mama kita. Kau dan aku tidak menginginkan mereka, 'kan?"

Aish. Gon mendesis dalam hati.

Hatinya masih saja sakit setiap kali mengingat itu. Bagaimanapun juga, Hyun dan Hana adalah putra dan putri Gon. Gon tetap menyayangi mereka meski pada saat itu Gon melakukannya dengan terpaksa.

"Aku menginginkannya. Sudahlah," Min Ho mengibaskan tangan lalu memutar tubuhnya memunggungi Gon. "Jangan coba-coba membuang anak itu."

Bola mata Gon berputar dan dia pun melakukan hal yang sama dengan Min Ho—memunggungi laki-laki itu. Sedangkan Min Ho berbalik kembali, menatap punggung mungil Gon dengan tatapan sayu.

Mianhae, Gon. Kata-kataku saat itu pasti menyakiti hatimu sebagai seorang ibu.

||

Morning sickness di trimester awal kehamilan bukanlah hal yang awam bagi orang-orang. Gon mendapati kebiasaan itu lagi sejak dirinya mengandung anak ketiga mereka.

Hyun dan Hana sangat senang ketika mengetahui mama hamil adiknya. Hyun bahkan sudah menyuruh Min Ho untuk membuatkan adik mereka nama, yang tentunya Min Ho tolak. Mengingat usia kandungan Gon baru berjalan 8 minggu.

"Apakah Mama mau minum teh hangat?" Hana menawari mamanya begitu perempuan itu sudah selesai membasuh mulut di atas westafel.

"Tidak usah. Kau berangkat lah. Nanti terlambat."

Gon memegangi lengan Min Ho selagi dia berjalan kembali ke meja makan. Laki-laki itu menatapnya dengan pandangan khawatir—perasaan yang akhir-akhir ini menyelimutinya ketika mendapati istrinya muntah-muntah di pagi hari.

"Mau kuantar ke kamar?" Min Ho bertanya. Dia menggulung lengan kemeja putihnya dan mengusap keringat yang mengalir di kening Gon.

"Tidak usah. Di kamar masih bau parfummu. Aku muak menciumnya." Gon menutup hidungnya dengan tangan.

Pagi ini, Min Ho sudah tiga kali berganti pakaian karena bau kemeja laki-laki itu yang tidak disukai Gon.

"Baiklah. Kau ingin di sini? kau ingin apa? akan aku ambilkan nanti." Min Ho setengah berjongkok demi menatap istrinya yang terduduk lemas di atas kursi.

"Tidak usah. Aku akan mengambilnya sendiri jika butuh. Sudahlah, kau berangkat!"

"Apakah tidak apa-apa jika kau sendirian?"

Gon memutar matanya dengan malas. "Aku tidak sendiri, kau tahu itu, Min Ho. Ada banyak pelayan di sini. Sudahlah." Gon mendorong dada Min Ho agar laki-laki itu menjauh darinya.

Min Ho menarik napas, dia merapikan pakaiannya dan mengambil tas kerja. "Aku berangkat, ya. Kalau ada apa-apa, telepon aku saja. Jangan lupa minum susu, vitamin, dan jangan—"

Gon menutup mulut Min Ho dengan sebelah tangan, "kau cerewet sekali."

"Aku peduli padamu."

"Ya. Sudahlah sana!"

Min Ho menatap Gon sebentar sebelum dia memutuskan untuk pergi. Kakinya melangkah meninggalkan meja makan dan berhenti, dia berbalik, kemudian mengusap rambut Gon dan mencium pipinya.

"Aku berangkat."

Min Ho berjalan menuju mobilnya dengan seulas senyum tipis. Sedangkan Gon, dia memegangi pipinya yang tiba-tiba panas dan menggeleng pelan.

"Aish. Laki-laki sialan." Tak urung, bibirnya tersenyum.

•••

—pangsit goreng—

Kamuflase |LMH×KGE| ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang