Step 5: Nostalgia

355 52 24
                                    

Kintan membaca baik-baik pesan yang muncul di layar ponselnya.

"Ini Mita ... seriusan?"

"Kenapa, Kin?" tanya Mbak Dian, manager ala-ala yang ditunjuknya, yang malam ini sedang melaksanakan meeting ala-ala juga dengannya.

"Eh, enggak, Mbak. Ini temen gue, mendadak minta gue ke rumahnya. Gue telepon dulu ya, Mbak?"

"Sure. Silakan."

Mendapatkan izin dari Dian, Intan segera keluar dari coffee shop. Ia berdiri di pelataran parkir sempit di sampingnya. "Halo, Ta," serunya langsung saat Swastamita mengangkat teleponnya.

"Hai," jawab suara di seberang sana lemas.

"Lo pindah ke apart? Sejak kapan?"

"Belum lama. Baru beberapa hari. Lo kalau mau numpang di sini boleh kok, Kin. Kalau lo males bolak-balik rumah lo-JakPus. Urusan lo banyak di Jaksel sama Jakpus kan?"

"Ya iya sih. Tapi ini lo nggak papa? Kok kedengeran lemes gitu sih?" tanya Kintan lagi. Mereka sudah kenal sejak masa SMA. Mengenali perubahan suara lewat telepon adalah hal yang sangat mudah. Apalagi untuk Kintan yang pintar mengendus hal-hal ganjil.

"Well, tadi Dika habis dari sini. Dan ya, gitu deh, gue sama dia sempet ada masalah. Makanya malem ini gue minta lo ke sini ya? Gue butuh temen curhat."

"Hah gitu? Oke-oke. Gue nggak bawa baju ganti tapi. Ntar gue pinjem baju lo ya?"

"Iya santai."

"Ya udah kalau gitu gue balik agak malem, Ta. Jangan ketiduran ya." Setelah menutup telepon, Kintan sempat terdiam sejenak.

Ia menatap layar ponselnya yang masih menyala. Kini menampilkan daftar obrolan teratas aplikasi WhatsApp. Baru mau menginjakkan kaki di undakan tangga, mata Kintan sempat menangkap pesan terbaru dari nomor yang belum disimpan yang datang satu jam lalu dan belum sempat ia baca.

Ada dua pesan. Dan pesan terakhir yang terlihat dari tampilan ini adalah sebuah emoticon senyum tiga jari. Dari avatar-nya saja Kintan nggak bisa mengindentifikasi. Karena masalahnya bukan foto si pemilik kontak, melainkan foto Chris Hemsworth yang sedang mengenakan kostum Thor-lah yang dijadikan avatar WhatsApp.

Sambil berjalan kembali menemui Dian, Kintan membuka pesan tersebut. Baru beberapa langkah masuk, ia kembali berhenti, membaca pesan di layar ponselnya dengan hati-hati.

Halo, Kin, ini aku Galih. Yang kemarin minta nomer kamu waktu di acara kantor. Well, semoga masih inget ya. Makasih sudah mau ngasih nomer kamu ke aku Kin.

😁

Jantung Kintan mendadak berdegup kencang. Sesuatu yang sudah lama tidak dia rasakan. Ia tepuk-tepuk pipinya. Rasanya semuanya terasa seperti di mimpi. Kemarin malam saja Kintan masih merasa kalau pertemuannya dengan Galih adalah sebuah ilusi. Karena sejak kelulusan Galih bertahun-tahun lalu, Kintan memang tidak pernah bertemu Galih lagi. Apalagi sejak kejadian yang membuatnya harus mengubur perasaan pada Galih, Kintan memilih agak sedikit menjauh dari seniornya itu.

Kemarin sih Galih mungkin melihat Kintan banyak berubah. Ia yang lebih percaya diri, yang lebih banyak bicara. Padahal Galih nggak tau saja gimana Kintan menggenggam kedua tangannya di bawah meja dengan erat karena gemetaran. Itu saja baru disapa dan mengobrol kasual dengan Galih. Lha ini sampai-sampai Galih mengiriminya pesan.

Masalahnya, Galih ini bukan sekadar senior atau tutor baginya. Lebih dari itu. Galih lebih dari itu. Meski bukan pacar pertamanya--well, Galih bahkan nggak pernah jadi pacarnya--tapi Galih ini kan cinta pertamanya. Sialan.

101 Steps to Fall in Love in a Proper WayTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang