Prestep 1: Obrolan Mama-Mama

687 78 6
                                    

"Rama beneran nggak bisa jemput lho, Ma. Nanti Mama bareng temen Mama aja atau naik taksi deh. Ok?" ujar pemuda yang siang itu sudah rapi mengenakan setelan pakaian untuk futsal.

"Iya, sayang. Nanti mama bareng sama Tante Ia aja. Tadi mama juga udah bilang kok," jawab perempuan paruh baya yang dipanggil 'Mama' oleh Rama.

"Ya udah. Hati-hati. Jangan banyak makan yang manis-manis. Inget gula darah tinggi."

Plak! Tiba-tiba saja pundak Rama ditampar oleh ibunya. Lalu tanpa berkomentar apapun Rama hanya tertawa dan memeluk sang ibu erat. Rama membiarkan ibunya keluar dari mobil dan berpeluk-peluk ria  bersama teman-teman beliau yang super rempong itu. Dia hanya bisa mendengus melihat perkumpulan ibu-ibu yang malah nongkrong di depan rumah itu. Ck! Ck! Ck!

Maka setelahnya, Rama buru-buru menginjak pedal gas waktu lihat sang ibu menoleh ke belakang. Dari gerak-gerik yang bisa dia baca, sudah dapat dipastikan Rama bakal dikenalkan pada teman sang ibu yang rempong-rempong itu. Beneran, rasanya Rama belum mampu dan sanggup menyerahkan diri jadi samsak tangan-tangan keriput yang bisa aja mencubit atau menabok punggungnya ini.

Sedangkan itu, Monica, perempuan 54 tahun yang baru saja turun dari Fortuner putih milik anaknya cuma bisa mendengus saat tahu Rama kabur darinya. Dasar! Padahal Monica mau memamerkan anaknya yang sangat ganteng itu--menurutnya sendiri--ke teman-temannya ini. Utamanya pada Sosia atau yang biasa dipanggil Ia. Dari dulu Monica pengin banget bisa berbesan dengan Sosia.

"Sudah-sudah. Ayo, jeng, lebih baik sekarang kita ke dalam. Makanan-makanannya udah nunggu ini." Kemudian empat perempuan--they so called--sosialita itu mulai berjalan menjauh dari gerbang dan memasuki rumah bergaya tropis dua lantai itu.

Monica tentu saja melancarkan aksinya untuk selalu nempel dengan Sosia yang sejak tadi cuma tertawa-tawa ringan saja. "Ia, nanti aku beneran bareng sama kamu lho."

"Iya, santai. Nanti sekalian kamu temenin aku ke tempatnya Mbak Tari deh kalau gitu."

"Wah, udah siap nikah nih anaknya? Kok tumben main ke tempatnya Tari? Mau pesen kebaya nih ceritanya?"

Sosia tersenyum simpul mendengar pertanyaan dari Monica yang sedikit lancang itu. Apalagi kalau ingat jalinan kasih anak perempuan satu-satunya yang sangat miris itu. Sosia tidak menjawab, justru dia mengajak Monica segera masuk ke dalam.

Setelah satu jam berkumpul--saling pamer, saling sanjung dan sindir--agenda yang ditunggu-tunggu pun tiba. Ketika Amy yang berperan sebagai bendahara di perkumpulan arisan itu mengeluarkan sebuah botol yang isinya adalah nama-nama setiap anggota arisan dalam lintingan kertas.

"Duh, saya beneran deg-degan ini, jeng."

"Eh, saya juga. Jangan-jangan saya nih yang keluar namanya."

"Wah kalau saya yang keluar, duitnya mau langsung tak belikan tas aja deh. Kemarin jalan-jalan di PS nggak sengaja lihat Longchamp ada yang bagus banget gitu."

"Duh, aku mah udah nggak deg-degan. Arisan kemarin namaku yang keluar."

Kira-kira seperti itulah sahut-sahutan obrolan di ruang tamu siang itu. Basa-basi busuk dan saling timpal kata sampai suara pekikan dan tepuk tangan terdengar sewaktu Amy mengumumkan sebuah nama beruntung yang dapat arisan kali ini.

"Waduh, Ia, selamat deh. Akhirnya keluar juga nama kamu."

"Lumayan bisa buat tambah-tambah ya, Ia," timpal Monica tidak mau kalah saat teman-temannya yang saling menyelamati Sosia.

Dan begitu perkumpulan ibu-ibu. Terlihat tulus namun satu waktu saling berebut simpati satu sama lain untuk kepentingan pribadi.

Binar bahagia Sosia masih bertahan sampai Sosia dan Monica berada di dalam mobil dalam perjalanan menuju Tebet untuk mendatangi designer kebaya kenalan keduanya. "Anakku itu belum mau nikah, Mbak," mulai Sosia sambil masih menatap jalanan lengang di depannya.

101 Steps to Fall in Love in a Proper WayTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang