Step 4: Jangan Lewatkan Kesempatan

377 57 7
                                    

Galih menyugar rambutnya ke belakang seselesainya menunaikan salat dzuhur di mushola kecil kantor. Bersama dengan Bernad, ia berencana akan berburu diskon 50% dari kedai kopi instagramable yang baru buka di dekat kantor bank tempatnya bekerja. Tapi, baru juga empat langkah meninggalkan mushola, badai La Nina sudah keburu menyapu bersih harapannya.

"Mas Abiiiii!"

Galih memutar bola mata dan si kurang ajar Bernad terkikik geli.

"Tuh, pujaan hati. Disapa dulu. Diajakin kalau perlu," celetuk Bernad.

Dari caranya memanggil saja, Galih sudah tahu apa yang bakal terjadi selanjutnya. Tiga ... dua ... sa--dalam hati Galih langsung merapalkan ayat kursi seolah perempuan yang sedang menggelayuti lengannya kali ini adalah iblis yang menempeli badannya.

Tika, mantan pacarnya, yang sialnya satu kantor dengannya, yang sialnya ... masih mengejarnya. Galih cuma bisa memutar bola mata dan berusaha sekuat tenaga melepaskan tangan dari jeratan ular sanca semacam Tika.

"Tik, please, masih di kantor," ucapnya datar.

Tika mencibir, tapi tetep melepaskan cengkramannya dari lengan kokoh Galih yang rajin diajak workout dua kali seminggu. "Berarti kalau udah nggak di kantor boleh aku deketin kamu?"

"Nggak," jawabnya langsung.

Mantan pacar Galih itu hanya mencibir. Kemudian undur diri saat menemukan kawan karibnya. Ya meskipun jaraknya juga belum jauh-jauh amat dari Galih. Tapi tetap, Galih merasa benar-benar lega.

"Makan di mana ya, Nggit? Males ah gue di kantin. Kalo nggak soto ya ketoprak, kalo nggak ketoprak ya rawon, kalo nggak rawon ya nasi goreng. Gila, di dalam tubuh gue nih, bukan darah isinya, tapi minyak!"

Anggit segera menyahut. Galih sih diam-diam mendengarkan juga pembicaraan itu. "Bangke lo. Dah mateng itu paru-paru, kalau isi minyak semua. Tinggal makan doang pake kuah kuning. Ada coffee shop baru buka tau nggak lo?"

Galih dan Bernad langsung saling melempar kode lewat lirikan mata.

"Eh seriusan? Ah tapi coffee shop, cuy, gue butuhnya karbo nih."

"Ih, santai. Ada makanan juga kok di sana. Dan karena baru buka, gue liat di IG-nya tadi sih diskon 50% for all menu. Gila nggak? Ke sana yuk?"

Sungguh, sekarang ini Galih benar-benar terobsesi untuk mengikat bibir Anggit dengan karet gelang.

"Ih, boleh banget. Pas banget, pas tanggal tua juga kan. Yuk!"

Bernad dan Galih berhenti. Membiarkan Anggit dan Tika melewati mereka. Galih juga membiarkan Tika menendang betisnya dengan ujung sepatu. Biar-biar. Galih lebih pilih makan makanan penuh kolesterol di kantin dibanding makan makanan mahal dengan harga murah di coffee shop.

"Ketoprak enak nih, Ber," ujar Galih.

"Duh bener. Gue juga mendadak ngidam rawonnya Bu Yul nih."

"Ya udah. Ke belakang aja yuk."

Dan di sinilah mereka. Menunggu pesanan ketoprak, rawon, dan dua gelas es jeruk di salah satu meja kantin di belakang kantor. Sebenarnya nggak cuma berdua sih, ada Yuniar, Fariz, Riski, dan Putri yang sudah datang lebih dulu. Galih dan Bernad ceritanya numpang doang di meja mereka karena tidak ada lagi meja kosong tersisa.

"Nggak jadi berburu diskon, Mas? Tahu krispinya di sana enak lho. Latte-nya juga," celoteh Putri sambil mengaduk-aduk sotonya dengan tiga sendok sambal.

"Ada jenglot di sana. Males gue," jawab Galih asal-asalan.

Yuniar yang sedang mencicip kuah baksonya terbatuk. "Serius lo?!"

101 Steps to Fall in Love in a Proper WayTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang