Ternyata ini cerita udah dianggurin begitu lamanya yak ehehe, hampir dua tahun cuy. Ya ampun. Pas dibaca lagi malu gw ternyata banyak bgt typo-nya. Maka, karena alhamdulillah sekarang aku udah lulus--uhuhuhu terharu--pengin mulai berbagi tulisan lagi di wattpad. Tapi sebelum berbagai cerita baru, ada baiknya apa yang udah dimulai, diselesaikan dulu.
Cuma mau kasih disclaimer dulu, karena selangnya ada dua tahun, dan selama dua tahun ini ada banyak hal yang aku pelajari dan aku dapet kemungkinan besar gaya bahasa dan cara penyampaianku pun sedikit banyak ada yang berubah. Tapi ya semoga nggak terlalu melenceng dari benang merah aslinya.
So, happy reading!
***
"Kon yo ojo lali maem, Le. Ora apik nunda-nunda maem. Eling ndisik tau keno gastritis lho goro-goro lali maem. Yo wis, Ibu arep Mbak Mar disik, arep kongkon rewang dinggo setahun e simbah."
"Inggih, Bu. Galih nyuwun ngapura ya, Bu, ora iso melu ngajike setahun e simbah. Nitip dungo lan salam mawon kanggo keluarga nang Surabaya. Assalamualaikum."
Galih mematikan sambungan telepon dengan ibunya dan kembali memandangi rintik-rintik hujan di depannya. Kintan yang duduk di sebelah Galih melihat perubahan dari raut wajah Galih. Galih ini memang bukan cowok yang ramai seperti Rama, bukan pula cowok yang suka merenung sambil menatap hujan begini.
"Tadi Ibunya yang telepon, Kak?"
"Eh, iya, tadi Ibuku yang telepon. Ya cuma tanya kabar anak lanangnya aja sih karena lama nggak pulang."
Kintan mengangguk, tapi kok nampaknya Kintan merasa ada hal selain itu yang bikin Galih jadi mendadak diam begini. "Ada kabar kurang mengenakkan kah kok Kak Galih kayak muram gitu kayaknya."
"Enggak kok. Everything is alright. Cuma ya suka mendadak mellow aja kalo dapet telepon dari rumah. Padahal udah 10 tahun merantau, tapi nggak bohong kalo masih suka mendadak kangen pas teleponan. Apalagi sama ibu. Kamu di Jepang juga gitu nggak, kangen sama orang tua di rumah?"
Kintan jadi terkekeh mengingat bulan-bulan pertamanya hidup di Jepang. "Aku malah hampir tiap malem nangis mulu, Kak, di Jepang."
"Tiap malem?" tanya Galih membelalakkan matanya.
"Ya nggak tiap malem juga sih, tapi sering. Kayak campur aduk gitu semua jadi satu. Antara kecapekan, terus nggak ada temen yang bisa diajak bicara, kesusahan adaptasi di lingkungan baru, kangen sama mama papa. Kan aku anaknya emang nggak pernah jauh dari orang tua, Kak, sebenernya. Dulu pas kuliah aja hampir seminggu sekali pulang ke Bekasi. Terus ini langsung pisah yang pisah pulau pisah negara tuh kayak langsung kerasa aja bedanya."
Dilihatnya dari ujung mata, Galih menganggukkan kepala sambil menyeruput minuman.
Mereka berdua ini ceritanya tadi mau jalan ke Kokas, mau nonton film yang memang lagi hype banget di sosial media. Tapi mendadak hujan turun cukup deras yang mau nggak mau membuat Galih menepikan motor di minimarket paling dekat. Galih juga nggak persiapan bawa jas hujan karena ya saat ini memang sedang musim kemarau.
Hujan di tengah-tengah musih kemarau ini ibarat kedatangan Galih dan Rama di kehidupan Kintan kalau dipikir-pikir. Setelah putus dari Tobi, Kintan sama sekali kehilangan harapannya untuk memulai hubungan dengan laki-laki, lalu mendadak dua lelaki ini hadir di hidupnya. Yang satu tingkah lucu dan selalu sukses bikin Kintan tertawa. Yang satunya adalah first love yang kadang masih sering bikin Kintan panas dingin karena tindak tanduknya.
Ya kayak yang kali ini, Galih mendadak melepas sweaternya dan mengangsurkannya pada Kintan yang sore itu hanya memakai blus tipis berwarna lilac. Saking terburu-burunya, Kintan tadi sampai lupa untuk membawa jaket atau baju lain yang lebih hangat.
KAMU SEDANG MEMBACA
101 Steps to Fall in Love in a Proper Way
RomanceSURAT TANTANGAN TERBUKA Dear, Rama Masih ingat Kintan? Anak temen Mama yang pernah Mama kenalin ke kamu satu tahun lalu? Harusnya masih ingat sih, anak kesayangan Mama ini kan IQ-nya kayak pohon kelapa, tinggi. Ternyata Kintan udah lama putus dari p...