Step 6: Maju Tak Gentar

332 51 7
                                    

Pukul sebelas adalah jam-jam rawan untuk orang-orang semacam Galih yang sudah duduk di hadapan layar laptop sejak tiga jam sebelumnya. Pukul sebelas adalah saat di mana mata mulai pedas, punggung mulai pegal, leher mulai kaku, dan perut mulai protes. Lalu saat sebuah gambar ice cream tak sengaja mampir di layar ponsel yang sedang Galih tekuri, otaknya melanglang buana pada wajah cantik perempuan yang beberapa jam kebelakang menghabiskan malam bersamanya. Tunggu, maksudnya menghabiskan malam sambil mengobrol dan makan ayam goreng. Pikirannya jangan jalan-jalan dulu. Galih masihlah suci sejak lahir. Maksudnya suci lahir, kalau batin sih nggak tau.

Lalu dengan otak yang setengahnya jalan-jalan menyambangi kedai-kedai es krim yang lezat menggoda dan setengahnya lagi mengingat-ingat senyum manis Kintan, Galih dengan lancangnya mengetikkan pesan untuk Kintan. Saat sadar, niat hati ingin menekan tombol hapus, tapi malah ikon kirim yang disentuh. Padahal ikon untuk menghapus dan mengirim berjarak jauh. Memang dasarnya Galih saja yang pengin menyapa Kintan.

Tak disangka tak nyana, jawaban Kintan muncul dengan cepat. Matanya yang pedas dan lelah akibat cahaya biru gawai langsung membulat melihat balasan Kintan muncul cepat.

Nurul Kintani Irmana
Belum ada sih, Kak. Ini lagi di daerah pancoran. Kenapa ya?

Mulanya sih Galih ragu ingin melanjutkan niat awalnya atau berbelok, tapi sekali lagi Galih ingat tujuannya menanyakan kontak Kintan hari itu. Ia tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan. Maka dengan rentetan kata-kata doa, Galih ketikan balasan untuk Kintan tersayang, eh?

Abisatya Galih
Makan bareng yuk? Kalau kamu nggak keberatan sih, Kin. Saya lagi di deket-deket sana juga.

Bohong! Siapa bilang Galih ada di sekitar Pancoran? Lihat saja siapa dan apa yang ada di sekitarnya. Layar laptop yang mulai meredup karena terlalu lama diabaikan serta orang-orang senasib dengannya yang mulai merenggangkan otot. Galih jelas masih berada di kantornya, dan itu ada di Semanggi for God's sake!

Tapi memang apa sih yang bisa melawan semangatnya mau bertemu pujaan hati? Bahkan kalau harus menyeberangi samudra pasifik, mungkin bakal Galih jabani.

Nurul Kintani Irmana
Wah, boleh, Kak. Kebetulan banget nih lagi laper banget. Mau makan di mana, Kak?

Abisatya Galih
Terserah kamu deh. Aku ngikut aja.

Obrolan kemudian berlanjut pada berbagai tempat yang memungkinkan dikunjungi saat makan siang. Dan tentunya Galih berusaha mengajak Kintan bertemu di tempat yang nggak begitu jauh dari kantornya secara terselubung. Tapi jelas itu nggak berhasil. Lima belas menit kemudian, Galih yang sudah benar-benar melupakan profil nasabah yang tadinya ia tekuri segera mengenakan jaket jeans belel yang tersampir di punggung kursi tempatnya duduk.

"Buru-buru amat, Pak, mau ke mana?" tanya Kris yang kebetulan melintasi meja Galih.

"Pancoran."

"Buset, lo mau maksi apa berkelana?" Kris terlonjak tak percaya.

Galih hanya mengabaikan ucapan Kris. Segera meraih kunci motor di ujung meja dan menepuk pundak Kris beberapa kali dan berlalu pergi.

Untungnya Galih ini belum punya mobil dan kendaraan satu-satunya yang ia miliki adalah motor yang bisa digunakan untuk menyalip dan meneyelinap di sana sini. Saat tiba di tempat bertemu, napasnya memburu dan kelelahan. Ia baru saja menggadaikan nyawa di jalanan ramai Jakarta dua puluh menit terakhir.

Kintan sudah duduk manis dengan satu es krim dalam gelas berkaki tinggi di hadapannya sambil memainkan ponsel. Iya, akhirnya keinginan Galih keturutan juga untuk menikmati es krim sebagai penyegar siangnya yang sebenarnya sudah cukup segar karena kehadiran Kintan. Hari itu Kintan tampil cantik dengan blus bahan rajut tanpa lengan berwarna cokelat susu, skinny jeans, heels, dan rambutnya yang ia jadikan sanggul di atas kepala yang ditali dengan scraf kecil berwarna putih. Duh, cantiknya. Galih sampai bingung ini Kintan apa matahari kok kilaunya menyilaukan mata sekali.

101 Steps to Fall in Love in a Proper WayTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang