Jakarta sedang panas-panasnya siang itu. Tapi Kintan tetap menyempatkan diri, atau lebih tepatnya memaksakan diri keluar rumah dan minta diantar sopir ibunya ke daerah perkantoran Sudirman Central Business District.
Satu jam kemudian, Kintan berhasil sampai dengan selamat di lobi gedung 40 lantai di SCBD. Waktu di Arloji cokelat Charles Jourdan miliknya menunjukkan pukul 11. 52 WIB. Delapan menit menuju jam makan siang kantoran. Memikirkan ini Kintan jadi rindu masa-masa dia masih menjadi budak korporat megapolitan Jakarta. Biasanya di jam-jam segini Kintan sudah siap-siap berburu makan siang bareng teman-teman kantornya. Karena begitu pulalah yang terjadi di gedung ini. Karyawan-karyawan berbagai macam perusahaan sudah berhamburan keluar dan di antara ratusan manusia yang lalu lalang itu, Kintan menemukan seseorang yang sesekali pernah dia temui.
Orang itu juga sepertinya sadar dengan keberadaan Kintan, karena dia juga tersenyum pada Kintan.
"Hai," sapa Kintan ramah.
Mereka kemudian berjabat tangan. "Temennya Mitha kan kalau nggak salah?" tanya cowok ganteng di depannya. Serius, cowok ini bahkan bisa dibilang lebih ganteng dari mantan pacar Kintan yang gantengnya udah level Ksatria.
"Iya," balas Kintan, "Dika, kan?"
Lelaki berkemeja slim fit hitam itu mengangguk. "Ada urusan apa nih di sini? Atau kerja juga di area sini?"
"Oh enggak. Mau ketemu temen."
"Loh kenal?" Dan muncullah laki-laki lain yang penampilannya nggak jauh berbeda dari Dika.
Sama-sama pakai kemeja maksudnya. Kalau tingkat kegantengan sih, Rama masih kalah dari Senandika. Dika juga lebih tinggi--sedikit--dari Rama.
"Temennya temenku, Ram, Dika. Kalian saling kenal?"
"Janjian sama ... Rama?"
Kintan mengangguk. Senandika menatap Rama tak percaya. Rama yang tau apa yang ada di pikiran Senandika langsung mendorong Senandika menjauh. "Udah-udah sono, jangan ganggu gue."
Senandika akhirnya pergi setelah melambaikan tangan pada Kintan. Cowok itu pergi menghampiri perempuan langsing yang menunggu di sudut lobi. Perhatian Kintan teralih lagi ke Rama yang sekarang lagi batuk-batuk nggak jelas.
Sambil menahan tawa, Kintan bertanya, "Makan di mana, Ram?"
"Em, ngikut deh mau di mana. PP apa FX?"
Katanya ngikut tapi tetap ngasih pilihan juga. Ini berasa Rama yang jadi ceweknya aja, pikir Kintan. Sedikit banyak kepribadian Rama memang mengingatkan Kintan ke sifat mantannya yang sama konyol. Tapi segera dia buang jauh-jauh ke limbo pikirannya itu. Life must go on!
"Aku kangen jalan-jalan ke PP sih, Ram. Gimana?"
"Nggak masalah. Ayo!"
Rama menggerakkan kepalanya ke arah di mana Pacific Place berada nggak begitu jauh dari gedung ini. Ditempuh dengan jalan kaki pun mampu. Kalau dulu sih, Kintan rada malas jalan kaki di jalanan Jakarta yang panas. Apalagi budaya jalan kaki buat orang Indonesia itu masih bisa dibilang sangat rendah. Tapi selama hampir satu tahun di Jepang dan mengikuti kultur sosial di sana, jalan kaki seperti sudah jadi bagian dari keseharian Kintan. Karena dari tempatnya tinggal, dia harus jalan kaki sekitar lima belas menit baru sampai di stasiun kereta yang nantinya mengantar Kintan ke kampusnya.
Ini adalah siang pertamanya di Jakarta. Udara Jakarta yang panas tapi ngangenin dia habiskan bersama Rama. Entah kenapa Kintan mengiyakan tanpa pikir panjang ajakan Rama untuk makan siang bareng pagi tadi. Padahal kalau menuruti badan, Kintan rasanya masih pengin goleran di kamar. Memanfaatkan waktu liburan singkat bareng keluarga seperti biasanya. Entah pelet apa yang digunakan Rama di poninya itu sampai Kintan yang biasanya malas keluar rumah rela turun gunung jauh-jauh sampai Sudirman.
KAMU SEDANG MEMBACA
101 Steps to Fall in Love in a Proper Way
RomansaSURAT TANTANGAN TERBUKA Dear, Rama Masih ingat Kintan? Anak temen Mama yang pernah Mama kenalin ke kamu satu tahun lalu? Harusnya masih ingat sih, anak kesayangan Mama ini kan IQ-nya kayak pohon kelapa, tinggi. Ternyata Kintan udah lama putus dari p...