PROLOG

25 4 0
                                    

Deburan suara ombak saling mengadu dan menyerang tebing. Angin juga tak mau kalah. Mereka terus datang dan membelai rambutku. Dan aku disini. Berdiri di atas tebing, menghadap ke laut, melawan hembusan angin samudra, dan bersiap untuk terjun ke perairan asin itu.

Aku tidak tahu apa yang ada di dalam pikiranku saat ini. Aku hanya ingin hatiku tenang. Aku hanya ingin otakku jadi sejuk. Aku ingin merasakan kebahagiaan dan kenyamanan seperti orang lain. Aku ingin menjalani hidup seperti orang normal pada umumnya. Argh!
Aku? Orang spesial? Berbeda dan punya kelebihan? Selalu kalimat itu yang diucapkan oleh ibu setiap kali aku mengamuk. Bukannya aku menyangkal nasehat orang yang melahirkanku, tapi hati dan otakku terus menolaknya. Hal-hal menyakitkan selalu datang dan membuatku tak betah untuk tetap hidup. Aku ingin seperti orang normal!

Kakiku siap untuk meloncat dan ...
Lagi-lagi angin membelaiku dengan lembut saat badanku terbalik dan terjun dari tebing ke bawah. Terkadang aku masih bertanya, mengapa Tuhan memberiku perbedaan ini sehingga aku tak bisa menjalani hidup dengan normal? Mengapa ini terjadi padaku? Rasa sakit dan panas selalu menyerang kepalaku, terutama mataku.
Akhirnya badanku menyentuh air laut dan masuk ke dalamnya. Ku pejamkan mataku. Rasanya dingin dan sejuk merasuki setiap sudut tubuhku. Aneh, tubuhku malah terasa nyaman. Air itu dengan cepat memasuki liang mulut, hidung, dan telingaku hingga membuatku tak bisa bernapas dan ....

BYUR!!! “Sam, bangun Sam!” Terdengar suara panggilan keras dari seseorang bersamaan dengan guyuran air. Mataku langsung terbuka. Ada beberapa orang yang berdiri disekitarku dengan cemas. Aku kenal mereka, yang tak lain adalah teman-teman satu kosku dan keluarga pemilik kos tempat ku tinggal. Aku bertanya sambil mengerjapkan mata, “Ada apa ini?”

Salah seorang teman kosku, Ega menjawab, “Tadi dari kamarmu ada suara barang-barang dibanting. Kami jadi khawatir lalu ngintip ke kamar kosmu. Eh, ternyata kamu malah pingsan gini. Kami dah bangunin kamu dari tadi, tapi kamu gak bangun. Jadi maaf ya, jalan terakhir biar kamu sadar ya kita guyur pake air.”

Aku mengusap wajahku yang basah. Ternyata aku baru saja ketiduran. Berarti yang bunuh diri di laut tadi cuma mimpi. Syukurlah, bukan kenyataan. Soalnya ngeri juga kalau aku sampai melakukan hal gila seperti itu.

Tapi aku kaget. Sekarang aku baru sadar, kamar kos yang ku tempati dalam keadaan yang super berantakan. “Ada apa ini? Kok bisa begini?”

Ibu kosku malah balik bertanya, “Justru ibu yang mau bertanya, sebenarnya ada apa dengan nak Sam hingga semua barang dibanting begini? Ibu mohon jangan buat kerusakan di kos ini ya, nak.”

Aku menggaruk kepalaku sambil minta maaf pada pemilik kost ini. Padahal aku merasa tidak pernah berbuat onar disini.

“Oh ya, Kak Sam,” tambah Reza, anak dari ibu kos. “Lain kali ketika pakai softlense jangan lupa dilepas ya kalau sudah selesai dipakai. Takutnya ketiduran lagi kaya tadi, lalu jadi susah nyopotnya. Bisa bikin korneanya luka lo! Kalau dilihat, mata kakak jadi ngeri juga.”

Deg! Softlense? Tunggu, aku gak pakai ....

Ku pandangi mataku yang terpantul di bayangan cermin di kamarku. Iris mataku berwarna merah. Aku menepuk jidatku dan menutup mataku. Sial! Pantas saja kepalaku rasanya sakit sekali! Kekuatan EmoIndigo-ku sudah aktif kembali!

***

EMOINDIGOTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang