EPILOG

377 47 2
                                    

“No, katanya kak Nadine, dia minta maaf gak bisa nemenin lu hari ini

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

“No, katanya kak Nadine, dia minta maaf gak bisa nemenin lu hari ini. Nay sakit.” Ucap Alena menuntun Revano masuk ke dalam rumah sakit. Revano tersenyum dan mengangguk.

“Gapapa kok, kan ada lu.” Balas Revano.

“Lagi kenapa gak sesuai jadwal aja? Bukannya seharusnya hari rabu?” Tanya Alena.

“Gua gak mau buat lu bolos lagi.” Jawab Revano diakhiri senyum simpulnya. Alena membulatkan kedua matanya kaget.

“Revano?! Alasannya itu? Kan bisa izin. Apa sih!” Kesal Alena, Revano tertawa.

“Gak ah, enakan hari libur. Dokternya juga bukannya waktu itu gak bisa?” Ucap Revano, Alena hanya mendengus.

“Gak tau, tanya aja.”

“Udah mau ujian sekolah, jangan galak-galak.” Ucap Revano.

“Gak ada hubungannya badut!”

“Kayak kita dong.” Celetuk Revano, Alena seketika terdiam.

“So-sorry.” Ucap Revano mengingat Alena yang tentu saja tidak memiliki perasaan yang sama untuknya.

“Gak salah kok minta maaf. Ayok kita masuk!” Ajak Alena semangat kemudian memasuki ruangan dokter yang sudah membuat janji.

Jantung Alena berdegup kencang walau Ia tahu ini bukanlah tentangnya. Tangannya yang kini menggenggam tangan Revano pun juga terasa dingin, membuat Revano yang kini sedang dibuka perban pada daerah matanya terkekeh.

“Perasaan gua dah yang seharusnya deg-degan.” Ucap Revano.

“Diem Revano ih, udah fokus, ikutin kata dokternya.” Omel Alena. Revano hanya terkekeh pelan.

“Nah, coba sekarang dibukanya perlahan. Pelan-pelan aja, slow but sure.” Ucap sang dokter diselingi hiburan.

Perlahan Revano membuka kedua matanya, jantungnya berdebar dua kali lebih cepat. Namun setelah matanya terbuka sempurna dan mengerjapkannya untuk beberapa kali dengan pelan.

Revano menatap ke arah Alena yang kini menatap ke arahnya tegang.

“Gimana?” Tanya Alena, Revano tersenyum kemudian mengangguk.

Alena berdebar, melihat ke arah mata Revano yang tersenyum, sangat manis. Namun
akhirnya Alena juga ikut tersenyum haru ke arah Revano.

“Syukurlah ini berhasil, selamat ya.”


***

7 tahun kemudian. .

Alena menyesap secangkir kopi yang Ia pesan tadi lalu menatap keluar jendela yang sedang hujan. Pikirannya kembali pada saat itu, masa yang tidak akan terlupakan olehnya.

Revano? Jevano? Keduanya sama-sama Aiden bukan? Yang membedakan hanyalah karakter, namun bagi Alena keduanya sama dan tidak ada perbedaan bagi hidupnya.

Baginya, Aiden adalah orang yang selalu membuatnya jatuh cinta, orang yang selalu membuatnya bahagia walau Alena tahu keduanya tidak pandai dalam menghibur, namun setidaknya kehadiran keduanya selalu ada. Revano yang akan datang kala Ia sedih, Jevano yang selalu di sisinya walau tak dapat Ia rasakan secara langsung kehadirannya.

Setahun setelah Revano pulih 6 tahun yang lalu, laki-laki itu menceritakan tentang Jevano lebih banyak. Saat itu juga Alena mengingat kembali Jevano yang bercerita tentang dirinya di UKS. Keduanya sama-sama menggemaskan.

"Alena, maaf aku terlambat ke sini."

Alena menolehkan kepalanya mendengar suara yang selalu Ia rindukan, Aiden, yang kini terlihat basah kuyup karena guyuran hujan di luar.

"Ini gimana deh sampe kuyup gini? Pulang aja deh yuk, biar kamu mandi, ganti baju juga." Omel Alena pada Revano yang kini malah tersenyum menatapnya.

"Pinjem aja ah, ada si Icalnya gak?" Tanya Revano, Alena menganggukkan kepalanya.

"Tadi sih ada, tapi kayaknya lagi jemput Joy dulu." Jawab Alena.

Oh ya, cafe yang Alena kunjungi saat ini merupakan cafe milik Haikal, dibangun bersama dengan Zoya. Keduanya menjalin hubungan sekarang. Untuk Jenar, Ia memilih untuk melanjutkan kuliah S2nya di Jepang, dan akan pulang, mungkin tahun depan?

"Kamu emang gak bawa baju cadangan di mobil?" Tanya Alena, Revano menggelengkan kepalanya. "Lupa." Jawab Revano dengan senyuman lebarnya.

"Yaudah tunggu dulu aja. Yang masuk angin ini kan kamu." Ucap Alena kembali duduk dan menyesap kopinya.

"Tega banget deh." Revano juga menjatuhkan tubuhnya di kursi kosong dekat Alena.

"Yaudah pake ini, padahal kan niatnya ini untuk kejutan." Ucap Alena menyerahkan paperbag ke arah Revano dengan malas. Revano sendiri hanya tersenyum ke arah kekasihnya itu.

"Bisa banget, jadi malu mau dikasih kejutan." Ucap Revano kemudian menerima paperbag dari Alena. "Terima kasih ya."

"Yaudah sana buruan ganti. Kamu mau dipesenin apa? Biar nanti tinggal minum." Ucap Alena, "Kayak biasa aja. Aku ganti dulu ya." Jawab Revano kemudian pergi menuju toilet cafe.

Alena hanya terkekeh pelan. Mana bisa Ia marah kepada Revano jika tingkahnya masih tetap menggemaskan di usianya yang sudah tidak bisa disebut anak-anak.

Perjalanannya tentu tidak akan hanya sampai di sini. Masih banyak cerita yang belum diceritakan. Ini hanya sebagian kisah dari pandangan kehidupan Alena di masa remaja. Sisanya, mungkin akan dijelaskan dari sisi Aiden tentang Aileen yang pernah mengisi harinya.

Selesai.


EPILOG
‘Aiden’
(Sampai Jadi Debu)

EPILOG ‘Aiden’ (Sampai Jadi Debu)

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

hehehehe. . .

AidenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang