"Apa... benar-benar belum ada kemajuan apapun?" Ucapku memberanikan diri untuk bertanya ketika aku telah menempatkan tubuhku di kursi meja belajar milikku yang berada di sudut bagian belakang kelas.
Evander ikut menempatkan tubuhnya di kursi kosong di sebelah kananku dengan menghadap ke arah ku dan menyandarkan punggungnya pada jendela.
Dia mengangkat bahunya, wajahnya kembali terlihat murung. "Sama sekali belum ada kemajuan apapun."
Aku mengangguk kecil. Tidak berani bertanya lebih jauh lagi. Sepertinya suasana hatinya sedang buruk sekali.
Aku melirik keadaan di sekelilingku, saat ini kelas sudah terlihat ramai dan juga ricuh, semua orang terlihat sibuk dengan urusannya masing-masing.
Aku melirik jam dinding, masih ada waktu sekitar sepuluh menit lagi sebelum jam pelajaran pertama dimulai.
Untuk menghindari rasa bosan, aku memutuskan untuk memutar musik pada ponselku, dengan earphone yang memang sudah sejak tadi berada di kedua telingaku. Aku memang sering menggunakan earphone di kedua telingaku meski sedang tidak mendengarkan apapun melalui kedua benda kecil itu, hanya saja aku mengenakannya hanya sekedar untuk berjaga-jaga agar orang-orang tidak akan curiga apabila aku sedang bercakap-cakap dengan Evander.
Baru sekitar sepuluh detik sejak suara musik mengayun lembut di telingaku, seseorang tiba-tiba saja berjalan mendekat dan duduk di bangku kosong di meja di depanku dengan menghadapkan tubuhnya langsung ke arahku.
"Hey!" Ucapnya menyapaku.
Aku menarik salah satu earphone di telingaku dan melirik sekilas ke arah Evander di sampingku. Diam-diam aku mendesah sebal dalam hatiku. Seharusnya manusia satu itu tidak mencoba untuk mendekatiku di waktu sepagi ini dan disaat suasana hati Evander sedang begitu buruk seperti saat ini. Dia pasti akan menjadi sasaran yang empuk untuk Evander melampiaskan kekesalannya.
Ini masih pagi, aku sedang tidak berselera untuk melihat kekejaman apapun yang bisa terjadi di depan mataku kapan saja.
"Dia... kelihatan agak 'beda' dari manusia-manusia menyebalkan yang sebelum-sebelumnya, apa kamu tertarik sama dia? Apa itu yg bikin kamu ngebela dia sebelumnya?" Tanya Evander dengan nada sinis.
Aku kembali mendengus dalam hatiku. Aku jelas tidak bisa membalas ucapannya saat ini.
Aku menatap pemuda di hadapanku itu. Evander benar, pemuda yang satu ini terlihat berbeda dari setiap siswa laki-laki yang sebelum-sebelumnya pernah mencoba mendekatiku.
Orang-orang memanggilnya dengan nama Dion, kulitnya putih bersih, terlihat terlalu mencolok untuk berada di tengah-tengah sekolah yang diisi oleh siswa laki-laki yang kebanyakan terlihat seperti berandalan yang senang membuat kekacauan, namun ukuran tubuh dan tingginya termasuk standar seperti kebanyakan pemuda yang seumuran dengannya, matanya sedikit sipit, ia memiliki pipi yang sedikit chubby dengan satu lesung pipi di pipi kirinya yang terlihat melengkung dalam setiap kali dia menyunggingkan sebuah senyuman, dia memiliki jenis sorot mata dan senyuman yang hangat yang membuat siapa saja akan berpikir kalau dia adalah pemuda baik-baik yang juga memiliki hati yang tulus.
Tentu saja meskipun Dion merupakan murid pindahan yang masih belum begitu lama berada di sekolah ini, Dion dengan begitu cepat telah menjadi siswa yang populer disini, karena dia juga terlihat sangat mudah bergaul dengan siswa-siswi lain. Dion bahkan sama sekali tidak terlihat kesulitan untuk beradaptasi dengan para siswa berandalan di sekolah ini, dia dengan begitu cepat diterima begitu saja dengan tangan terbuka oleh banyak orang.
Watak dan karakter Dion jelas sangat berbanding terbalik dengan ku. Aku juga tidak mengerti apa alasan dia mendekatiku sejak hari pertama dia masuk ke sekolah ini dan ditempatkan di kelas yang sama denganku.
"Kemarin aku gak masuk karena aku lagi kurang sehat, pulang sekolah kamu bisa ngajarin aku pelajaran Matematika kemarin gak?"
Aku mengangkat bahuku. "Aku juga gak begitu ngerti tentang pelajaran Matematika kemarin." Ucapku dengan nada datar lalu kembali memasang earphone di telinga kananku, berharap dia bisa mengerti jika aku tidak ingin diganggu.
Tapi sepertinya dia memang pemuda yang keras kepala, karena dia sama sekali tidak menyerah dan beranjak pergi begitu saja.
Di balik suara musik yang mengalun di kedua telingaku, samar-samar aku kembali mendengarnya berbicara. "Ayolah... kamu bisa ngajarin aku bagian yang kamu ngerti aja... gak masalah kok."
Aku mengabaikannya dan memilih untuk menunduk dan membaca sebuah buku bersampul hitam di tanganku yang baru saja kubeli kemarin sore.
"Ayolah Annabella... jangan acuhin aku kayak gini." Suaranya terdengar bersungut-sungut.
"Annabel—" belum selesai dia mengucapkan namaku, aku telah mendengar suara tubuh yang menghantam lantai dan suara teriakan terkejutnya. "ARGH."
Kelas seketika ricuh, beberapa orang berlarian mendekat untuk melihat kondisi Dion yang baru saja terjatuh dari kursinya yang tiba-tiba saja patah entah bagaimana caranya.
Aku meringis melihat darah yang mengalir dari pelipis Dion karena wajahnya yang mendarat di atas beberapa batu kecil yang bertaburan di lantai kelas di sekitar tempatnya terjatuh, yang entah dari mana asalnya.
Beberapa orang yang mendekat mencoba untuk membantu Dion bangkit. Aku hanya terdiam di tempatku dan menyaksikan semua orang yang ricuh berusaha membantu Dion bangkit dan mengantarnya ke UKS.
Samar-samar aku mendengar suara seseorang yang berucap pelan. "Kami udah peringatin kamu untuk jangan deketin dia lagi, udah banyak yang jadi korban Annabella." Beberapa orang lainnya terdengar menyahut setuju dan ikut menambahkan. "Sekarang liat kamu akhirnya kena juga kan?"
Dion terlihat menggeleng. "Bukan apa-apa, yang tadi itu karena kursinya aja yang emang udah gak kuat, makanya bisa patah." Dion membantah. "Mungkin memang aku nya aja yang terlalu berat." Ucap Dion mencoba berguyon yang diakhiri dengan tertawa kecil.
Sebelum melewati pintu kelas, Dion menoleh ke arahku, dia kemudian menyunggingkan sebuah senyuman kecil ke arahku seakan hendak menyampaikan kepada ku bahwa dia baik-baik saja. Aku hanya membalas tatapannya selama dua detik, kemudian kembali menundukkan kepalaku acuh dan kembali membaca buku di tanganku.
"Padahal aku udah bilang sama kamu untuk gak ngelakuin hal kayak gini lagi." Ucapku lalu menghela napas panjang. Aku tau dia sedang mendengarkanku saat ini. "Kalau kayak gini terus, orang-orang akan semakin berpikiran buruk tentang aku."
"Siapa yang peduli soal pikiran manusia-manusia menyebalkan itu ke kamu? Apapun yang mereka pikirkan tentang kamu itu sama sekali gak penting." Dia mendengus kecil. "Lagi pula sejak kapan kamu mulai peduli soal pikiran manusia-manusia menyebalkan itu tentang kamu?"
"Aku juga gak peduli soal pikiran mereka tentang aku, tapi aku cuma pengen hidup tenang tanpa terus-terusan dipandang aneh sama mereka." Aku menghela napasku panjang. "Kalau begini terus, semua orang akan semakin memperhatikan gerak-gerik aku dan berasumsi hal yang bukan-bukan tentang aku."
Evander mengangkat bahunya acuh. "Tetap aja gak penting." Ucapnya masih acuh tak acuh. "Yang penting itu, aku bakalan terus nemenin kamu kok, gak peduli apapun yang manusia-manusia menyebalkan itu pikirkan tentang kamu."
"Lagipula yang barusan itu cuma peringatan pertama, itu bukan apa-apa, kalau dia masih berani buat gangguin kamu lagi setelah ini, aku gak akan segan-segan buat ngasih dia hukuman yang lebih parah."
Aku mendengus kecil. Dia selalu saja seperti itu.
***
To be continued....
KAMU SEDANG MEMBACA
She's ANNABELLA
Horror"Annabella... kamu tau kenapa Mama kamu ngasih nama itu buat kamu?" Gadis kecil yang dipanggil dengan nama Annabella itu menggelengkan kepalanya. "Karena..." Gadis itu menyeringai lebar dengan gigi-gigi kecilnya yang terlihat membusuk dan dilumuri o...