Crossing Time

34 7 1
                                    

Hari ini untuk pertama kalinya aku pergi belanja sendiri. Besok adalah hari ulang tahunku, dan aku akan membuat makanan spesial untuk teman-temanku. Walaupun aku tak terlalu pandai memasak, setidaknya masakanku masih layak untuk dimakan.

Aku memasukkan beberapa sayuran, daging, hingga buah-buahan sebagai pencuci mulut nanti. Setelah membayar semua belanjaanku di kasir, aku bergegas pulang karena hari sudah semakin gelap. Sepertinya hujan akan turun sebentar lagi.

"Mago~ Mago~ Night is tic-tak tic-tak~ Feel so high~"

Ponselku berdering memperdengarkan reffrain dari lagu favorit teman sekamarku, Adit. Dia juga yang merubah nada dering ponselku tanpa sepengetahuanku. Dan kebetulan, namanya tertera pada layar ponselku sekarang. Menandakan dialah yang meneleponku.

"Mpin, kau di mana? Sepertinya hujan akan turun sebentar lagi,"

Adit sudah seperti saudaraku sendiri. Kami selalu bersama bagaikan sandal jepit. Tak heran jika ia mencemaskanku sekarang.

"Iya, sebentar lagi aku akan naik bus dan langsung pulang. Aku tadi pergi ke supermarket dan membeli beberapa bahan makanan untuk besok. Aku akan membuat makanan untuk kita!" balasku agar ia merasa lebih tenang.

"Kau tak harus melakukan itu, Vin. Aku tak ingin kau meledakkan tabung gas untuk yang kedua kalinya,"

"Tenang saja, aku sudah menonton video tutorial menghidupkan kompor gas di YouTube. Aku akan jamin, tak akan ada benda meledak di dapur lagi,"

Setelah pembicaraan kami selesai, aku langsung menutup ponselku dan menyeberang jalan. Namun, tak ku sangka sebelumnya bahwa lampu merah telah berubah menjadi hijau. Dari arah samping, sebuah mobil minibus melaju cukup kencang dan menghantam tubuhku.

Aku terpental dan mendarat di aspal jalanan yang kasar. Di detik-detik itu, aku merasakan darah segar mengalir dari pelipisku. Lalu secara perlahan, kegelapan mulai datang menguasai tubuhku. Apakah aku mati?

Aku terbangun di sebuah ruangan putih dengan tirai biru yang tergantung di sisinya. Sejenak kemudian, aku menyadari bahwa ini adalah ruangan rumah sakit. Kantung darah yang tergantung di sampingku meyakinkan asumsi itu.

Teman-temanku tertidur dalam posisi duduk menyandar di samping ranjangku. Aku dapat melihat setetes kilauan kecil di ujung mata mereka. Sepertinya mereka baru saja menangis.

Hal yang paling mengejutkanku adalah ketika aku menoleh ke belakang. Di sana, terbaring jasadku yang pucat dengan beberapa peralatan medis yang tak aku ketahui apa namanya. Apakah aku benar-benar sudah mati?

Aku menangis, namun tak ada orang yang mendengar tangisanku. Bahkan ketika teman-temanku terbangun, mereka seperti tak dapat melihatku. Aku benar-benar putus asa.

Saat waktu menunjukkan pukul 8 malam, beberapa petugas rumah sakit menyuruh teman-temanku untuk pulang. Akibat pandemi, rumah sakit hanya memperbolehkan satu sampai dua orang untuk menunggui pasien.

Adit dan Januar mengajukan diri untuk menungguiku. Sedangkan Ray, Farras, Satria, Zico, Mitsa dan Helvi terpaksa harus pulang sebelum petugas rumah sakit mengusir mereka lebih kasar.

Karena bingung harus melakukan apa, aku memutuskan untuk berbaring lagi. Perlahan mataku memberat dan aku pun mulai jatuh ke dalam tidurku.

"Happy birthday to you~ Happy birthday to you~"

Lantunan lagu yang begitu familiar di telingaku membangunkanku dari tidur. Adit dan Januar memegang sebuah kue dengan lilin berbentuk angka 20 di atasnya. Aku mencoba untuk meniup lilin itu, tapi usahaku sia-sia. Akhirnya, Aditlah yang meniupnya.

"Andai saja waktu itu aku tidak meneleponmu, Vin. Mungkin kecelakaan itu tidak akan pernah terjadi," lirih Adit dengan nada penyesalan.

"Sudahlah, Dit. Ini semua adalah takdir yang harus kita terima. Yang bisa kita lakukan sekarang adalah mendoakan Kevin agar cepat pulih," balas Januar menenangkannya.

UwU Family | DARK ICETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang