🕊 || Expectations

5.9K 500 34
                                    

"Terus berharap ataukah berhenti mengharapkan sesuatu yang mungkin tak akan pernah menjadi bahagia kita?"
- Lalisa



🕊


Perlahan tapi pasti, ia memakai pakaian yang sudah disiapkan oleh Bibi Nam, asisten rumah tangga di keluarganya. Setelah selesai memakai pakaiannya, ia pun bergegas ke depan cermin untuk merapikan rambut serta sedikit memakai lip balm, hanya sekedar menutupi bibirnya yang kering.

Brak

Pintu kamarnya kembali dibuka dengan paksa oleh seseorang yang sangat ia rindukan, Eonnie-nya.

"Yaa! Kau ini mengapa lelet sekali? Bisakah lebih cepat sedikit? Sebenarnya aku tidak sudi, kalau bukan karena Appa yang memintaku untuk menemanimu.." ucapan itu kembali melukai Lalisa, ia juga tidak ingin seperti ini.

🕊

Lisa pun keluar dari kamarnya dengan susah payah, peluh kini memenuhi keningnya. Namun, saat ia hendak keluar rumah, seseorang menahannya agar tidak keluar.

"Jangan keluar!"

Lalisa hanya bisa menatap bingung sang kakak. Bukankah tadi ia yang menyuruhnya agar cepat bergegas, lantas mengapa sekarang ia malah menahannya agar tidak keluar rumah? Pikir Lisa.

"Waeyo Eonnie?" tanya Lisa.

"Kembalilah ke kamarmu!" perintahnya tanpa menatap Lisa, perintah itu justru membuat Lisa semakin kebingungan.

Lalisa diam tak bergerak, ia terus memandangi wajah kakaknya itu.

"Mengapa masih disini? Cepat ke kamarmu, aku tidak ingin teman-temanku melihat keberadaanmu disini. Kau memalukan!" Ujar Kakaknya  dengan nada sinis, Hati Lalisa seperti disayat-sayat oleh sebilah pisau tajam, tepat mengenai sasaran saat mendengar ucapan Kakaknya tersebut.

Airmata turun begitu saja tanpa menunggu persetujuan darinya, namun dengan cepat ia menghapusnya. Bagaimanapun ia tidak ingin terlihat lemah di depan sang kakak, kakak yang sangat ia sayangi.

"Palli!" teriak sang kakak, sontak membuat Lalisa kaget. Sebelum kakaknya semakin kesal dan marah, Lalisa bergegas kembali ke kamarnya.

Di dalam kamar, tangis Lisa pecah. Ucapan kakaknya kembali terngiang-ngiang, seakan ucapan itu tak mau pergi. Hatinya sakit, dadanya sesak kalimat yang di lontarkan kakaknya sangat membekas dan memberi efek buruk pada mentalnya. Sungguh rasanya dia ingin mati.

Suara ketukan pintu tiba-tiba terdengar, membuatnya tersadar. Dengan cepat Lisa menghapus air matanya dan menarik nafas menetralkan perasaannya yang campur aduk, dia tidak ingin terlihat lemah. Dia harus kuat.

Lisa lalu bergegas menuju pintu dan membuka pintu tersebut. Terlihat seorang wanita parubaya berdiri di depan pintu kamarnya, dia adalah wanita yang begitu berjasa atas hidupnya.

Setidaknya ada hal baik di dalam kehidupannya yang buruk, Lisa tersenyum.

"Bibi Nam.." sapa Lisa, gadis itu berusaha terlihat baik-baik saja dan seperti biasanya.

"Putri bibi, mengapa tidak jadi pergi?" Tanya bibi Nam, mendengar pertanyaan tersebut membuat senyum Lisa perlahan memudar, kalimat yang di lontarkan kakaknya kembali menggema di telinganya.

"Ah bibi tau, pasti Jennie eonnie tidak bisa mengantar karena ada urusan ya?" tanya bibi Nam lagi,  Lisa mengangguk pelan. Walau gadis itu sudah berusaha tapi dia tidak bisa berbohong.

Mianhae.. | JENLISA [Sistership] ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang