"Ben, ayok pulang!" Sudah tiga sore Elang selalu menggandeng Beno untuk pulang. Mereka berjalan menuju rumah sewaan di negeri rantau. Selepas bangun tidur, mandi dan rapi, Beno akan berangkat pagi-pagi sekali ke ujung kampung. Berdiri di sebuah tiang sambil menatap pucuk atap sebuah rumah. Mematung. Tak bergerak. Elang dan Beno adalah dua pemuda beruntung di antara jutaan pelamar kerja yang bisa digaji negara. Sayangnya mereka ditempatkan di kampung yang namanya tak tercantum di Peta.
"Dia tidak mau menemuiku, Lang!" Elang hanya bisa menggigit bibir dan menggaruk kepala. Beno yang dulu dikenal lucu berubah menjadi Beno yang kaku. Padahal sejak mereka bertugas di sini, Beno idola kampung. Ia pandai main gitar, suaranya bagus, senyumnya merontokan hati setiap pemuja, selalu saja ada ibu dan anak gadis yang menyapa atau melempar senyum padanya.
"Jangan terlalu tebar pesona!" Elang menyampaikan nasihatnya. Di kampung orang harusnya bisa menempatkan diri. Di mana bumi dipijak di situ langit dijunjung. Beno terlena ia lupa. Banyaknya penggemar membutakan matanya. Hampir tiap malam minggu ada saja perempuan yang diapelinya, hingga ia menolak anak perempuan demang kampung. Disitulah semua bermula. Beno mendadak kehilangan kehidupannya.
YOU ARE READING
Pentigraf - Kisah Kisah Pendek
General FictionTulisan tiga paragraf menggambarkan cerita tak banyak kata