Gratitude : Glut-Temp

266 19 2
                                    

Chessey Cringey Warning!

---------

'Dingin'.

Dari semua kata yang ada, cuma kata itu yang terlintas di benak Gluttony. Iris jingga nya menatap salju yang turun tanpa henti, seperti kapas lalu bergabung menjadi gundukan salju. Beda jauh dengan kerajaannya dulu yang dimana-mana adalah daging dan darah, suasana ini lebih mirip kerajaan Envy. Meski sejujurnya dia juga belum pernah ke sana.

Dan tenang, berbeda dengan semua kerajaan dosa dulu, yang isinya jeritan dan rasa sakit. Matanya kembali melirik salju yang tertahan di ranting pohon sakura, membatin seharusnya dia masuk ke dalam dan tidur dibawah kotatsu.

Tapi dia menyukai suasana ini. Dingin dan di koridor luar rumah mereka, meski hoodie yang biasa ia kenakan tak sanggup untuk menahan angin dingin yang berhembus sepanjang malam.

Langkah kaki di belakangnya tidak mengalihkan perhatiannya karena ia tau partnernya yang ada disitu. Sebelum sempat mengatakan apapun, sebuah selimut tebal disampirkan ke bahunya dan sesuatu yang hangat menempel di pipinya. Mendongak dan mendapati ternyata Temperance datang membawa selimut dan segelas teh.

"Kamu tu, kalau mau diluar gini bawa selimut kek, kalau demam aku yang repot," omel Temperance saat sang rival menerima gelasnya.

"Tumben perhatian haha," kata Gluttony membenarkan selimutnya dan menggenggam gelasnya dengan kedua tangan, mencari kehangatan.

"Bukan perhatian, aku cuma ga mau repot," menggembungkan pipinya dan duduk disebelah Gluttony, wajah Temperance memerah antara karena dia tsundere atau kedinginan. Dibalik selimutnya Gluttony tau kalau hoodie yang dipakai Temperance adalah hoodienya, karena lengannya terlalu panjang sehingga hanya ujung jemari Temperance yang terlihat.

"Hei tempe,"

"Jangan panggil aku tempe!" Protes Temperance memukul punggung Gluttony.

"Terus apa? Cerewet? Serigala? Mak-mak rempong?" Goda sang kerakusan.

"Ih yang normal kek."

"Itu udh normal oi," dalih Gluttony tergelak.

"Tempe itu saudaranya tahu, dah ah, kenapa manggil?"

Melihat Temperance yang merengut, Gluttony melanjutkan tawanya, bukan malah menjawab. Meneguk tehnya sebentar sebelum diam mengatur napasnya selepas tertawa, Gluttony nyengir dan bilang, "Terima Kasih sudah ada untukku."

Iris olive Temperance memantulkan bayangan Gluttony yang tersenyum memandang pantulan wajahnya sendiri di permukaan teh,

"Terima kasih sudah menerimaku apa adanya, mengahadapiku yang berlebihan, berusaha memahamiku meski kita-"

"Stop, stop, kamu terlalu berlebihan. Aku paham maksudmu. Tapi kenapa tiba-tiba?"

Sebetulnya enggak ada alasan khusus untuk menjawab kenapa. Sesuai sifatnya yang berlebihan, ia terkadang suka bicara kebablasan bahkan tanpa perlu alasan. Tapi dengan Temperance yang ada disini dengannya, menyampirkan selimut untuknya, dengan wujud manusia mereka, adalah satu jalan cerita yang tak pernah terpikirkan olehnya.

bahkan oleh roh manapun.

Gluttony selalu berpikir, baik Wrath yang berakhir jatuh hati pada manusia, Greed yang memilih untuk hidup membantu manusia lain dengan keserakahannya, Envy yang memilih menunggu ketidakpastian Kindness daripada jadi raja atau roh lainnya yang diberi pilihan untuk memilih takdir mereka, memilih cerita yang tak pernah mereka mimpikan satu kalipun.

Termasuk takdir pilihannya.

Hidup bersama dengan rival masing-masing mungkin mimpi buruk untuk semua roh, setidaknya 9 abad lalu. Namun kenyataannya enggak seburuk itu dan dia berterima kasih pada Temperance yang mau hidup bersamanya, menyingkirkan semua ego dan kesalahan masing-masing di masa lalu.

"Gak ada alasan khusus, aku cuma kepikiran aja," jawab Gluttony menghembuskan nafas, melihat bagaimana nafasnya berubah menjadi uap lalu embun. Satu hal yang tidak mungkin terjadi di kerajaannya dulu.

"Kamu jangan overthinking terus napa," keluh Temperance mengernyitkan dahi sedangkan Gluttony terkekeh menanggapi tuduhan Temperance. Meski tau tidak mungkin Gluttony bicara seperti itu tanpa alasan, dia berniat untuk membiarkannya. Toh, kalau memang penting alasannya Gluttony juga bakal ngomong sendiri.

"Aku ga overthinking, kamunya aja terlalu sederhana mikirnya," ujar Gluttony bergeser mendekati Temperance dan mencubit pipinya.

"Ih, tanganmu dingin," tangan Temperance dengan spontan memegang pergelangan Gluttony untuk menyingkirkan dari wajahnya. Namun, dengan cepat Gluttony menarik lengan Temperance dan mendekatkan wajah mereka. Saking dekatnya, mereka berdua bisa melihat nafas satu sama lain yang mendingin menjadi embun.

Tangan Gluttony yang lain menyingkirkan gelas yang di pegang Temperance supaya tidak tumpah. Karena dia sang kerakusan, dia enggak suka buang-buang makanan.

"Hehe, kena."

Gluttony memiringkan kepalanya untuk mencium singkat Temperance, berniat untuk enggak berlebihan. Tapi rangkulan tiba-tiba Temperance di lehernya membatalkan niat Gluttony. Bergeser untuk memeluk pinggang Temperance, Gluttony memperdalam ciumannya, mencoba berbagi kehangatan dengan sang rival.

Tapi tentu saja yang menarik diri duluan adalah Temperance, karena kehabisan nafas. Kedua tangannya mendorong bahu Gluttony, "Nanti tehnya dingin."

"Ya punyamu, punyaku kan udah abis dari tadi," kata si surai putih-item sambil menunjuk gelasnya yang terguling kosong.

Gluttony tertawa pelan. Masih memeluk pinggang Temperance dan menarik sang kesederhanaan ke arahnya. Dari dua selimut menjadi satu selimut untuk dua orang. Temperance menyandarkan kepalanya ke arah sang rival, mendengarnya bersenandung salah satu lagu favorit mereka.

'What if we rewrite the stars?

say you were made to be mine,'

"Ayo tidur," bisik Temperance pelan.

Menengok ke belakangnya untuk mengecek jam dinding, Gluttony menjawab singkat, "Ayo, mau kugendong atau jalan sendiri?"

Temperance memukul punggung Gluttony yang tertawa dan berdiri menarik selimutnya sebelum berdecak kesal, "Jalan sendiri lah."

Mencium singkat pipi sang kerakusan dan berpesan, "Aku duluan, jangan lama-lama."

"Bilang aja ga bisa tidur tanpaku."

"Ga gitu! Kan udh kubilang kalau kamu sakit aku yang repot!" seru Temperance menghentakkan kakinya dan pergi masuk sambil membawa gelas teh mereka.

"Iya iya cerewet," kekeh Gluttony, untung saja Temperance tidak mendengar, atau mereka bakal pisah futon.

Melipat selimutnya dan berdiri, Gluttony melihat ke arah langit dan bintang yang berpendar di dalamnya. Senyum tersungging di bibirnya selagi ia berterima kasih pada langit yang telah membiarkan ia memilih takdirnya sendiri dan 'menulis ulang' bintang di dalamnya, sebelum menggeser pintu dan menutupnya.

.

.

.

.

okay jadi ini random muncul di otak saya setelah mendengar lagu rewrite the stars karena autoplay.

Rewrite the stars bisa diartikan sebagai mengubah jalan takdir, dan akhir dari webtoon desime sendiri adalah para karakternya yang memilih takdir mereka. Pada awalnya dosa dan kebajikan semacam 'tidak' ditakdirkan untuk bisa hidup bersama tapi pada nyatanya bisa.

Saya mengibaratkan itu sebagai hal yang sama dengan mengubah jalan takdir dan 'menulis ulang' bintang.

Tolong masukkan dan votenya kawan!! :D

Desime Random Drabble, Headcanon, etc.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang