Empat; tidak, terima kasih.

22 5 0
                                    

Tidak bisa. Ia harus segera pergi dari situ. Bagian dada kirinya terasa semakin panas dan perih.

Genta berdiri di depan urinoir toilet pria. Dikeluarkannya tongkat itu dari kantong jas sekolah. Benda itu menjadi merah lagi.

Genta tidak paham. Belakangan ini tongkatnya sering berubah menjadi merah dan sepanas bara api. Hal ini belum pernah terjadi sebelumnya. Ia sudah khawatir apakah tongkatnya rusak padahal ia belum menyelesaikan misinya. Tahu artinya pun belum. Bagaimana bisa benda ini rusak sebelum selesai kompetisi?

Ia meletakkannya di atas kusen urinoir. Tak lama warnanya kembali menjadi normal.

Pria itu mencoba menggunakan tongkatnya dan ya, masih berfungsi dengan baik.

"Apa masalahmu, buddy?" ia mengamati benda itu saksama. Anehnya, hal ini sudah dua kali terjadi. Pertama kali adalah kemarin lusa, ketika Genta baru balik dari taman. Yang kemudian membuatnya terpaksa teleportasi ke kelas untuk segera menyimpan di tas karena tongkat itu semakin memanas.

Genta melangkahkan kaki keluar toilet. Di depan ia berpapasan dengan Ditya dan Bisma, teman sesama penyihirnya yang juga tengah menjalankan misi di bumi. Bisma yang menggandeng Ditya melambai ramah. Sementara gadis itu segera melepas gandengan Bisma dan memberi Genta senyum lebar,

"Eh, hai!! How is it going?" tanyanya berseri-seri. Dari wajahnya Genta tidak melihat adanya kekhawatiran Ditya akan misi sihirnya.

"On process. Bagaimana kalian?"

"Hampir selesai gue. Misi gue ngumpulin bukti-bukti skandal salah satu petinggi ini sekolah. Karena bentar lagi dia bakal dicabut dari jabatannya," jelas Bisma dengan aksen manusia yang lebih fasih dari mereka berdua.

"Dan dicabutnya gara-gara lo?" Ditya berusaha menebak. Lalu Bisma mengangguk sambil nyengir.

"Keren 'kan gue," Bisma mulai menyisir rambutnya ke belakang berlagak sok keren.

Seketika itu juga seseorang tiba-tiba mucul di hadapan mereka. Tatapannya yang penuh rasa angkuh yang pertama kali merka sadari. Dewa, si penanggung jawab kompetisi yang hobi menjatuhkan mental peserta.

"Udah selesai misinya? Makanya nyantai-nyantai di sini?" Lagi-lagi nada menyebalkan itu. Genta tidak merespon apa pun. Dilihatnya Bisma yang mengulum bibirnya tanda malas menanggapi.

"Bukan begitu, Kak. Cuma kebetulan papasan tadi," Giliran Ditya yang menanggapi. Dewa terlihat tak banyak membantah. Dia melipat tangannya di dada,

"Kuingatkan kalian sedang berkompetisi di sini. Jangan terhasut oleh manusia. Kodrat kalian lebih tinggi dari mereka. Mengerti?" ujarnya. Mereka bertiga pun mengangguk tanda mengerti.

"Sana, kembali selesaikan misi kalian," ucapnya sebelum berteleportasi. Tepat ketika Dewa hilang, mereka bertiga masing-masing menahan tawa.

"Mengintimidasi ya, Bun," sahut Bisma. Ditya menghela napasnya,

Ngeselin banget tiap dia dateng tuh," katanya. Bisma pun menambahi,

"Banget sih. Eh, tapi bener yang dibilang tadi, jangan lupa selesaiin misi,"

"Ditya kayaknya udah selesai. Tenang banget kelihatannya," tebak Genta. Ditya memasang raut seolah-olah berpikir,

"Bisa dibilang. Misi aku menaklukan dua manusia menjadi budak kemarin, dan... berhasil. Ya... meskipun mereka sekadar untuk mentraktirku setiap hari dan mengerjakan tugas sekolahku," ucapnya percaya diri. Ia menyedekapkan tangannya santai seraya memainkan jari tangan.

"Gila lo, Dit," kata Bisma tak percaya. Genta menaikkan alisnya, agak takjub mendengarnya.

"Good for you," balasnya sedikit merasa tersaingi. Meski dia tahu Ditya menyukainya, tetapi dalam hal kompetisi, gadis itu temasuk lawan yang berat.

"Kamu tenang saja. Saat aku yang dinobatkan jadi ketua, akan kujadikan kamu wakilku," ucap Ditya penuh percaya diri. Genta tertawa,

"Tidak, terima kasih. Aku yang akan jadi ketua," tutupnya.

Beyond (+ Acrimonious) | SHORT STORIESTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang