Tiga; ingat

23 6 0
                                    

Menyesal tidak menyelesaikan pengejaran Genta kemarin lusa, sekarang di sinilah aku. Muka masam, tatapan kosong tertuju pada Bu Jane bersama papan tulis kelas. Tidak bersemangat sama sekali.

Tepat di sebelahku, Mentari tak henti-hentinya memakan camilan secara diam-diam.

"Cie yang habis ngobrol sama gebetan. Ini pertama kalinya, 'kan? Senyum dong, masa murung begitu?" godanya di sela-sela memakan keripik. Aku mengerucutkan bibir. Jujur memang agak disayangkan, tetapi ya sudah. Mungkin lain waktu.

"...tapi memang kaget sih. Gue nggak expect sama sekali dia bakal jawab. Gue kira dia secuek itu bahkan sama yang baru dikenal," ucapku mengingat-ingat.

"Coba datengin lagi aja hari ini, siapa tahu bisa," saran Tari tanpa menoleh padaku. Oh, fokus gadis itu memang sudah tersita kalau ada makanan. Aku sudah terbiasa.

"Pas istirahat aja kali ya? Feeling gue dia bakal ke taman lagi hari ini,"

"Boleh, tapi gue nggak bisa temenin nih. Cowok gue ngajak makan siang," kata Tari, bisa kulihat ia sedikit menyesal. Namun, aku mengatakan tidak apa-apa, karena aku sendiri tidak berniat untuk menjadi "nyamuk penganggu" di tengah-tengah mereka.

Selesai kelas Bu Guru Cepol, aku benar-benar mendatangi taman belakang sendirian. Aku menyalakan lagu di headset agar merasa lebih santai.

Sampai. Kuputar kepalaku ke mana pun yang kubisa. Aneh. Firasatku kuat sekali mengatakan dia ada di sini. Demi memastikan diri, aku berjalan agak masuk ke dalam. Tepat di balik satu tembok pembatas, kulihat seperti dua orang sedang berdiri berbincang, tetapi mereka memunggungiku. Hanya saja yang seorang bisa jadi familiar bagiku.

"Bis!" Yang kutepuk pundaknya terlihat kaget setengah mati. Matanya melotot menatapku. Aku heran kenapa dia sekaget itu.

"Sumpah! Ngagetin tau nggak lo!" omel Bisma sambil mengelus dada.

"Ya elah lebay banget. Biasanya gue kagetin biasa aja," ledekku iseng terhibur melihat wajahnya. Kemudian aku sadar bahwa yang di sebelahnya adalah orang yang sedang kucari-cari.

"Loh? Kalian saling kenal?" Dan tak kusangka mereka berdua mengangguk. Kesal, tanganku refleks memukul lengan Bisma. Sambil tersenyum paksa aku berbisik,

"Kenapa lo nggak bilang dari dulu kalau kenal?" Cowok itu hanya meringis kesakitan memohon ampun. Kuhela napasku mencoba sabar. Dasar cowok, tidak peka.

"Oh iya, kebetulan banget ada Kak Genta juga. Aku dari kemarin cariin kamu. Um... maaf nih sebelumnya. Kalau boleh aku mau pinjem catatan kelas 11 kamu, kayak kemarin yang dibilang Pak Dirman. Boleh nggak, Kak?" tanyaku straight kepada inti tujuanku.

Mungkin bicaraku terdengar santai. Aslinya bibirku bergetar tiap berucap.

Dia menatapku tetapi masih diam. Aku menunggu beberapa detik menunggu tanggapannya. Sungguh, hal sekecil ini saja membuatku senam jantung. Dia kemudian mengangguk,

"Boleh. Besok gue bawain," jawabnya membuatku bersorak dalam hati. Aku melampirkan senyum,

"Oke, Kak Makasih banyak," kataku berseri-seri, mengabaikan Bisma yang menatapku aneh. Terserah dia mau menganggapku centil atau apa.

"...tapi sorry, kayaknya gue nggak bisa lama-lama, ada urusan lain. Gue duluan ya, Bis, Bel," pamitnya sopan. Gantian Bisma yang membalas,

"Yo. Tiati, Gen," Bisma lalu menatapku yang termangu. Cowok itu pasti akan meledekku setelah ini.

Genta ingat namaku!

Beyond (+ Acrimonious) | SHORT STORIESTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang