Selamat membaca, chapter ini agak pendek sih, tapi semoga dapet pesan moralnya ya. Nggak nyuruh vote kok-kesadaran dari diri aja masing-masing, terimakasih, sehat terus kalian, bahagia selalu ;)
"Seperti seorang kekasih pada pasangannya, ayah ingin mengucapkan sebuah kalimat yang membuat hati Bara sebagai seorang anak luluh karena ayahmu...
.... maaf. "
- Jaka Lungit Wiraksa -
***
[ Nadine Amizah - Seperti tulang♪]
Hari sudah beranjak malam, Bara dan Jaka masih setia menunggu Jendral tersadar dari alam mimpinya.
Dokter mengatakan, kalau Jendral sudah dalam kondisi normal, walau saat dilarikan ke rumah sakit tadi denyut jantung Jendral sempat melambat dan tekanan darahnya yang turun karena air yang terlalu banyak masuk ke dalam tubuhnya, namun kondisi Jendral sudah ditangani dengan segera oleh dokter tanpa ada kata terlambat sedikit pun.
Di sini Bara sekarang. Duduk di sofa panjang yang tersedia di dalam kamar ruangan Jendral. Menautkan kedua tangan, memejamkan mata erat seraya merapal bait-bait doa berharap kesadaran sang adik kembali pulih dengan segera.
Disisi lain, Jaka berdiri di dekat jendela, memandang langit kota Malang yang saat itu dihiasi rintik kasar air hujan. Tak ingin sang putra yang terbaring di atas ranjang diterpa hawa dingin, ia berinisiatif mengambil selimut tambahan di meja loker yang ada di samping ranjang Jendral, menyelimuti dengan segera tubuh ringkih itu.
"Dek, kamu belum makan kan? Makan dulu saja, biar ayah yang jaga Jendral."
Bara menggeleng segera, menolak perintah sang ayah.
"Nanti kamu sakit, ayo makan."
"Ayah kenapa? Tumben." Seumur-umur, Bara tidak pernah diperlakukan seperti ini oleh sang ayah. Yang ia tahu, Jaka sang ayah adalah seorang bersifat dingin-jarang memerhatikan anak-anaknya secara gamblang.
"Salah ya ayah nyuruh kamu makan?"
Bara menggeleng, "biasanya ayah hanya nyuruh Bara belajar, belajar, dan belajar."
Jaka menunduk, bersamaan dengan perasaan bersalahnya yang terus membebani pikirannya akhir-akhir ini. Diusapnya gusar punggung telunjuk sang pria, merasa tertampar dengan ucapan yang baru saja dilontarkan putra sulungnya. Bara benar-benar sudah dewasa.
"Kapan terakhir kali ayah menyuruh Bara makan?"
"Nggak pernah." Ucap sang sulung.
"Begitu ya?"
"Bara manusia, bisa laper, nggak disuruh pun juga Bara tetep ambil makan sendiri," Bara menatap nanar Jendral yang terbaring damai di hadapannya, "yang harusnya ayah tanyai itu Jendral, bukan Bara."
KAMU SEDANG MEMBACA
Anargya | Jaeyong & Nomin [✓]
Fanfiction[ DIBUKUKAN - PART TIDAK LENGKAP ] "...anargya berarti tak terhingga nilainya, namun bagi mereka aku bahkan tak punya nilai sedikit pun..." © shnaxxya, 2020