15 : Naresh yang meresahkan

66.5K 12.6K 14.4K
                                    

***

Tak ada yang istimewa. Semua masih lah sama, walau ada beberapa yang berbeda.

Jendral terbangun seperti biasa. Kali ini matanya sembab, semalam Naresh menunggu di sampingnya hingga Jendral tertidur. Sang pemuda tak tahu, yang ia lihat kemarin malam hanya samar-samar kelambu kamar yang terbuka beserta siluet Naresh yang keluar dari balkon kamarnya. Tak bisa Jendral mencegah pemuda itu, ia sudah terlalu kantuk kemarin.

Sang pemuda terbangun akhirnya, saat pintu kamar terketuk. Mempersilahkan Jaka masuk begitu Jendral membukakan pintu untuknya.

"Mandi dulu, ayah sudah masak air hangat buat kamu." Pinta sang ayah pada Jendral yang berdiri di hadapannya. Tak bodoh Jaka untuk tahu bahwa mata sembab Jendral mengalihkan atensinya. Jaka juga pasti sudah jelas mengetahui penyebabnya-pertengkaran Jaka dengan Tanaka kemarin.

"Ayh hah, Jen drlal ma u bhi cha ra sha ma ayh hah." [Ayah, jendral mau bicara sama ayah]

"Bicara apa?"

Jendral dengan wajahnya yang masih terlihat lesu, berjalan pelan menghampiri sang ayah lantas memeluknya, menyembunyikan wajahnya di balik dada bidang sang ayah, "ayh hah jha ngan pher nhah bher bhi ca ra pe ri hal pher phi sha han dhe ngan bun dha." [Ayah jangan pernah berbicara perihal perpisahan dengan bunda]

Jaka menghela nafas panjang. Tak ia sangka Jendral sudah mengetahui semua. Tangannya kemudian terulur untuk membelai surai Jendral lembut. "Kamu masih belum sepenuhnya pulih, istirahat saja ya? Ayah hari ini pulang telat. Kak Bara mu mau baksos, jadi mungkin dia nggak akan pulang nanti."

"Jen drlal thi dhak ma u me li hat phe ri jen dral me ne tes khan air mha ta." [Jendral tidak mau melihat peri Jendral meneteskan air mata]

"Jendral..." Jaka memejamkan mata frustrasi. Ia arahkan tangannya kemudian untuk merengkuh tubuh sang putra, "kalau bunda kamu nggak menginginkan kehadiran kamu, untuk apa kamu menganggap bundamu itu manusia paling berharga buat kamu?"

"Jen drlal thi dhak ing ngin ayh hah dan bun dha ber phi sah." [Jendral tidak ingin ayah dan bunda berpisah]

"Bundamu udah keterlaluan jendral.. dia bahkan mendoakan kamu untuk mati. Apa kamu nggak sakit hati?"

"Jha ngan meng ngor bhan kan pe ra saan ayh hah dhan bun dha.. dhe mi mem bhe la jend drlal yang su a tu sa at bhi sa pher gi kha pan sha ja." [Jangan mengorbankan perasaan ayah dan bunda.. demi membela jendral yang suatu saat bisa pergi kapan saja]

"Jendral kamu ini ngomong apasih nak?!"

"Jen drlal ma u se ko lah ayh hah." [Jendral mau sekolah ayah] Jendral melepas pelukan dari sang ayah.

"Tapi kondisi kamu belum pulih. Kamu istirahat saja di rumah."

"Bun dha ak khan se mha kin ma rah nan thi ka lau me li hat jen drlal di ru mha, le bhi bha ik jen drlal ber se ko lah sa ja." [Bunda akan semakin marah nanti kalau melihat jendral di rumah, lebih baik jendral sekolah saja]

"Kamu yakin?"

Jendral mengangguk.

"Ayah nanti pulangnya malam, apa kamu nggak papa pulang sendiri?"

"Thi dak ap pha - ap pha." [Tidak apa-apa]

"Yasudah." Jaka tersenyum seraya mengusak surai legam milik sang putra. Terdapat gelenyar aneh-mengingat ia jarang sekali memperhatikan anak-anaknya sedekat ini. Pikirannya sela ini hanya tentang bagaimana Jaka mengurus hal-hal yang berhubungan dengan pekerjaannya.

Membuka pintu kemudian, Jaka berniat untuk pergi dari kamar Jendral, namun pergerakannya segera tertahan saat sang anak tengah memberikan pelukan dari belakang.

Anargya | Jaeyong & Nomin [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang