"Setiap melihat wajahmu, kenangan itu kembali berputar. Masa buruk itu kembali datang. Tidak tahukah saya membencimu?"
-Martin Agibran-Pagi yang baik untuk Natha. Ia sudah sampai di sekolah sepuluh menit sebelum bel masuk. Untung saja tidak terlambat.
Sekarang dirinya sedang duduk manis di tempat kesayangannya. Terlihat Zenna yang sedang asik bermain game di ponselnya. Sedikit melirik ke arah sahabatnya lalu menegakkan tubuhnya.
"Mau kemana lo?" tanya Zenna yang menyadari pergerakan di sampingnya. "Bentar lagi bel masuk, nih."
"Gak mood. Gue mau ke rooftop." Natha langsung melangkahkan kakinya keluar dari kelas. Ia tak peduli dengan jam pelajaran yang sebentar lagi dimulai. Kakinya terus melangkah menaiki puluhan anak tangga.
Entah mengapa sejak tadi malam tepatnya setelah Rafa mengantarkannya pulang, dirinya sangat merasa gelisah. Seperti akan terjadi sesuatu. Natha tidak mengerti maksud dari perasaannya ini, tapi yang pasti ia merasa risih.
Saat tangan mungilnya hendak membuka pintu rooftop Natha merasa seperti diperhatikan dari jauh. Namun, ia mencoba untuk mengabaikannya dan membuka pintu itu.
Terpaan angin langsung menerpa wajah Natha. Rambut yang ia biarkan tergerai membuat wajahnya sedikit tertutup. Gadis itu berjalan ke arah tengah dan mendudukkan bokongnya ke semen.
Kenapa ia mengantuk? Padahal masih pagi.
Gadis itu memejamkan matanya dan menikmati angin yang terus menerpa wajahnya. Rasanya sangat menenangkan.
Brak
Natha terlonjak saat mendengar suara pintu yang tertutup keras. Gadis itu menoleh menatap seseorang yang baru saja menutup pintu.
Itu?
"Kok, gak masuk?" tanya laki-laki dengan wajah datar. "Takut sama gue?"
Dengan cepat Natha menegakkan tubuhnya dan menatap takut laki-laki itu. "Martin."
"Ternyata lo tau nama gue," ucapnya terkekeh pelan. Laki-laki itu menyandarkan tubuhnya dengan santai pada pembatas pintu dan menatap Natha dengan tatapan yang sulit diartikan.
"Ngapain ke sini?" tanya Natha mencoba untuk menghilangkan rasa takutnya.
Tampak laki-laki yang bernama lengkap Martin Agibran itu menaikkan sebelah alisnya. "Tempat umum, kan, just say I'm afraid there is me, right?"
Akhirnya. Setelah sekian lama Martin hanya diam dan memperhatikan gadis itu dari jauh. Sekarang ia bisa bertatap muka dan berbicara. Cukup menyenangkan, ternyata.
"Ngapain takut sama lo," jawab Natha menguatkan dirinya. Jujur saja. Menatap mata coklat gelap milik laki-laki itu membuat Natha merasa sedikit gugup.
KAMU SEDANG MEMBACA
Riddles Of Boy [COMPLETED]
Fiksi Remaja⚠️WARNING⚠️ CERITA BUKAN UNTUK DITULIS ULANG! TOLONG HARGAI IDE DARI PENULIS. JADILAH PENULIS YANG BERKARYA DENGAN HASIL OTAK SENDIRI BUKAN DARI ORANG LAIN. BERANI BERKARYA ITU BAGUS! YUK, KURANGI POPULASI PLAGIAT. Blurb: "Hanya menjalankan se...