TLFF 3

11 9 0
                                        

Siapa coba yang gak tegang kalau sudah berhadapan dengan kepala sekolah. Hal itu juga dirasakan oleh Fatih, setenang-tenangnya dia, bila ada posisi seperti ini pasti ia tegang.

Telapak tangannya mulai basah, ia tak bisa menebak pasti apa yang akan dibicarakan oleh kepala sekolah, yang hanya ada dipikirannya adalah tentang mencontek itu.

Fatih kini sudah duduk berhadapan dengan pak kepala sekolah, Pak Hendra namanya. Fatih tak bisa menatapnya tenang, wajah Pak Hendra mendadak menyeramkan, padahal bila diperhatikan biasa-biasa saja.

"Fatih," ucap Pak Hendra membuka gerbang obrolan.

Fatih mencoba menatapnya, "iya pak?" tanya Fatih.

"Apakah benar kamu membawa contekan?"

Ya! Dugaan Fatih benar obrolan ini pasti menjerumus ke arah sana.

"Pak! Jujur saya nggak bawa contekan apapun, dan saya juga nggak tau soal kertas itu. Di ruangan itu ada cctv kan pak? Kita liat aja." Fatih mencoba membela diri.

Pak Hendra menghela napas sembari membuka kacamatanya dan meletakannya di meja. Tatapannya semakin maju.

"Memang benar ada cctv. Namun, sangat disayangkan cctv itu mati. Tau salahsatu aturan murid beasiswa disini?"

Fatih menghela napas, "tidak boleh melakukan kecurangan dalam pembelajaran dan saat ujian," jawab Fatih sendu.

"Lalu apa sanksinya?"

Fatih menggelengkan kepalanya pasrah.

Pak Hendra lalu membuka laci meja dan mengambil kertas yang berisikan aturan murid beasiswa, kemudian ia menyodorkannya pada Fatih.

Tangan Fatih sedikit bergemetar saat menerima selembar kertas itu. Dan sanksi yang harus diterima Fatih adalah beasiswa yang diterima akan dicabut. Kejam sekali bukan sanksinya?

Fatih membuka matanya lebar-lebar ia sangat terkejut setelah mengetahui sanksi yang harus ia terima, Fatih langsung menaruh kertas itu di atas meja, lalu memegang tangan Pak Hendra, dan menatapnya dengan tatapan memelas.

"Pak beri saya satu kali lagi kesempatan, saya janji tak akan mengulanginya. Dan demi Allah pak, saya tidak pernah membawa contekan apapun itu pak," ujar Fatih dengan nada lirih, matanya pun berkaca-kaca.

Pak Hendra sempat memalingkan wajahnya untuk berpikir sejenak. Setelah menemukan keputusan, Pak Hendra melepas pegangan Fatih dan mengangkat jari telunjuknya untuk memperingati Fatih.

"Okeh, kali ini saya percaya sama kamu, tapi hukumanmu tetap berjalan. Kalau pun kamu berbohong itu urusanmu dengan tuhan, karena kamu telah membawa nama tuhan," tutur Pak Hendra, "sekarang kamu keluar!"

Senyuman mekar diwajah Fatih, "Baik pak! Terimakasih banyak!"

***

Hari ini Luna pulang tak dijemput oleh supirnya, sengaja ia lakukan untuk bisa pulang bersama dengan Fatih, walaupun harus naik angkot.

Seperti biasa Fatih harus berjalan beberapa meter terlebih dahulu agar menjumpai angkot, namun kali ini ia ditemani Luna.

Tiba-tiba perut Luna demo sehingga ia refleks memegang perutnya, Fatih yang menyadari hal itu langsung menghentikan langkahnya.

"Laper?" tanya Fatih

"I-iya," jawab Luna dengan cengiran canggungnya.

Fatih melihat di sebrang jalan ada pedagang soimay, tapi apakah seorang Luna ingin makan di pinggir jalan?

"Lun, itu ada tukang soimay, mau makan disitu?"

Luna mengangguk dengan semangat, bukan kenyang yang ia incar sepertinya, melainkan makan bersama Fatih yang ia utamakan.

The Love From FatihTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang