2. Abram

7K 1.5K 260
                                    

Vote dulu yuuuks ✨

Dress berwarna ungu itu melekat indah di tubuh ramping seorang wanita yang berpasrah saat wajahnya dirias oleh seorang MUA. Beberapa kali ia mendengar pujian tentang betapa indah kulit wajahnya, betapa cantik dirinya meski belum terpoles make up sempurna. Luna yang sering mendengar pujian itu hanya tersenyum dan berterima kasih. Ia hanya wanita beruntung yang diberi kelebihan kecantikan oleh Tuhan.

"Saya dengar, katanya pak Adnan mau lihat proses syutingnya. Mbak Luna sudah tau?"

"Oh ya?"

Kabar mengejutkan yang menggembirakan. Matanya yang terpejam karena sedang dipakaikan eye shadow hampir saja terbuka. Untungnya masih bisa dia tahan, kalau kebuka beneran, bisa kecolok tuh mata.

"Iya. Jarang-jarang loh, mbak."

"Jarang-jarang?"

"Iya. Saya kan sering jadi MUA yang dipake buat model atau artisnya perusahaan pak Adnan. Soalnya sekretaris pak Adnan sahabat baik saya. Yang saya tau, selama ini pak Adnan jarang lihat proses syuting. Biasanya yang ngawasin Renita, Pak Adnan mah mau lihat langsung hasil syutingnya aja. Kalau ada yang kurang dia suka, paling suruh edit."

Entah kenapa mendengar bahwa dirinya menjadi salah satu yang dilihat oleh Adnan, membuat hati Luna berbunga-bunga. Dia bahkan tidak bisa menyembunyikan senyumnya yang terpantul di depan kaca rias.

"Tapi saya rasa ini bukan kabar baik."

Mata Luna yang sudah terbuka beralih menatap Romi, MUA yang mendandaninya. Tidak perlu heran, sejauh ini selama menjadi artis, kebanyakan MUA memang seorang laki-laki.

Baik, mari kembali beralih ke topik yang membuat Luna keheranan.

Kenapa kehadiran Adnan malah menjadi kabar yang tidak baik?

"Memang kenapa?"

"Nanti juga tau sendiri."

Senyuman Romi sungguh menimbulkan banyak pertanyaan di benaknya.

Memangnya hal buruk apa yang akan terjadi?

***

Akhirnya pertanyaan yang mengganjal sampai proses syuting berlangsung mendapat jawaban. Ini benar-bener kelewatan.

"Ulangi lagi!"

Itu adalah perintah ketujuh yang Luna dengar dari sutradara karena SEORANG ADNAN tidak pernah puas dengan hasilnya. Padahal Luna yakin kalau dia sudah sempurna. Bahkan sebelum syuting ini dimulai pun, Luna sudah berlatih tiga kali. Sekarang saja wajah sutradara itu menyiratkan raut merasa tidak enak kepadanya.

Luna pun hanya bisa tersenyum, seakan mengatakan tidak papa. Mau bagaimana pun, semua yang ada di ruangan ini hanyalah seorang bawahan. Mereka hanya bisa menuruti permintaan seorang pria yang duduk dengan kaki bertumpu di atas lututnya itu dan kedua tangan bersilang di bawah dada. Bos besar itu duduk di kursi khusus miliknya.

Menghela napas panjang, Luna meminta izin untuk istirahat sebentar. Ia haus. Make up nya juga perlu di touch up. Bersama asistennya yang membawakan minum untuknya, Romi terkekeh berjalan ke arahnya sambil membawa tas berisi make up.

"Apa saya bilang, ini bukan kabar baik."

"Apa dia memang selalu kaya gitu?" tanya Luna sambil melirik Adnan yang terlihat sedang mengobrol dengan sutradara. "Atau memang saya yang gak becus?" tanyanya lagi yang mulai insecure terhadap talentanya.

Romi dan asistennya, Lala, langsung menggeleng.

"Enggak, kok. Mbak Luna tadi udah keren banget. Energik. Langsung hapal koreografinya. Pokoknya udah top," puji Lala diakhiri dua acungan ibu jari.

Past, Present, Future [SEGERA TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang